Sunday, September 7, 2008

Teologi Pluralis: Membangun Sikap Keterbukaan Menggapai Masyarakat Harmonis

Oleh Abdul Rouf, Lc, MA.
Pada saat kehidupan manusia semakin pluralis, terasa se­ma­kin mustahil untuk menolak sebuah teologi pluralis. Teologi plura­lis dan inklusif untuk sekarang ini sudah harus segera dibumikan dalam tiap sanubari dan langkah umat Islam dan umat beragama umumnya untuk mendukung upaya mewujudkan sikap toleran dan inklusif. Bagaimana caranya? Tulisan ini mencoba memberikan jawaban. Tak dapat dipungkiri bahwa dalam paham pluralisme terdapat unsur relativisme, yakni unsur tidak mengklaim kebenaran secara sepihak. Seorang pluralis akan menghindari sikap absolutis­me yang hanya menonjolkan keunggulannya terhadap pihak lain. Al-Qur’an sendiri mengajarkan paham kemajemukan keagamaan. Ajaran itu tidak perlu diartikan secara langsung sebagai pengakuan akan kebenaran semua agama. Akan tetapi ajaran kemajemukan keaga­ma­an itu menan­daskan pengertian dasar bahwa semua agama diberi kebebasan untuk hidup, dengan resiko yang akan ditanggung oleh para pengikut agama masing-masing. Bagaimana dengan ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki karakter keras yang tentu tidak mendukung terwujudnya bangunan teologi prularis?

Abdul Rouf, Lc. M. Ag, Dosen Fak. Ushuluddin Institut PTIQ – Jakarta. Lulusan Universitas Al-Azhar Kairo-Mesir, Fakultas Ushuluddin, jurusan Tafsir, Program Diploma Tinggi (S-2) Institut Studi Islam, Kairo-Mesir dan Program Pascasarjana (S-2) UIN Syarif Hidayatullah - Jakarta.

A. Mukadimah
Wajah Islam jadi berbeda dari sebelumnya, pasca serangan WTC 11 September 2001 dan bom Bali. Konflik dan kekerasan yang mewarnai pergaulan dewasa ini ditengarai terkait dengan agama atau sikap kebe­­ragamaan tertentu, yang tentu saja merugikan citra agama dan kelompok agama terse­but. Dalam kaitan ini, menarik apa yang dikomentari Yusuf Qardawi ulama Mesir terkemuka, yang kini ber­mukim di Qatar, saat menanggapi peristiwa WTC.1

“Kami, Muslim Arab, adalah pihak yang paling dirugikan akibat serangan dahsat atas kemanusiaan dan kehidupan... (Jika) penyerangan tersebut dilakukan oleh seorang Muslim – sebagai­mana diklaim oleh sebagian kelom­pok - kita, atas nama agama, menolak aksi tersebut dan mengutuk pelakunya....(Islam) adalah agama toleran yang sangat menghargai nyawa manusia. Serangan itu sangat tidak manuiawi, apalagi melihat korbannya kebanyakan dari manusia yang tidak berdosa, dan benar-benar bertentangan dengan ayat al-Qur’an: “Barang­siapa yang membu­nuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau membuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh semua manu­sia. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan semua manusia.”2

Tanggung jawab yang dipikulkan kepada agama untuk ikut mewu­judkan perdamaian dunia membenarkan anggapan bahwa memang ada hubungan langsung antara agama dan perdamaian. Tidak mengherankan jika seorang teolog dan aktivis dialog agama seperti Hans Kung, menyatakan dengan sangat yakin bahwa “tidak ada perdamaian dunia, jika tidak ada perdamaian agama”. Karena­nya, ia mengajak umat beragama ―secara khusus ia menyebutkan Kristen dan Islam― untuk membangun cara pandang yang baru satu sama lain, dan melupakan sejarah masa silam keduanya yang dipe­nuhi konflik dan pertentangan.3 Pluralisme agama, konflik intern dan ekstern antar pemeluk agama adalah fenomena riil yang tetap bergolak di berbagai belahan bumi. Pluralisme agama merupakan salah satu karakteristik fundamental dari era post-modernisme, secara khusus menghadapkan seorang beragama kepada situasi yang dilematis karena ia harus mendefinisikan dirinya (yang memiliki truth claim) di tengah-tengah agama dan paham lain yang juga mempunyai keabsahan?


Dalam konteks ini, Indonesia bukan hanya negeri yang multi­kul­tural, tapi juga multiagama. Sejak berabad-abad negeri ini telah mengenal lima agama besar dunia: Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan Islam. Lima agama diakui secara resmi dan secara umum dapat hidup berdampingan. Namun kehidupan beragama di Indonesia senantiasa mengalami pasang-surut. Letupan dan bahkan konflik herizontal yang memakan banyak korban jiwa kerap mewarnai kehi­dupan sosial masyarakat Indonesia. Di era pasca reformasi kondisi ini semakin parah.


Realitas tersebut menunjukkan betapa pentingnya mencarikan jalan keluar yang dapat melepaskan diri dari potensi konflik dan ekstremisme. Salah satu solusinya adalah menabur benih-benih pemikiran teologi inklusif dan pluralis yang memunculkan pemaha­m­an keagamaan yang bernuansa damai, toleran, dan sejuk serta menguntungkan bagi semua pihak, sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara dapat dijalani secara produktif dan harmonis.

B. Memahami Pluralisme
Jika dalam Kitab Suci disebutkan bahwa manusia diciptakan ber­bangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai (QS. 49:13), maka sekarang pluralitas itu meningkat menjadi pluralisme, yaitu suatu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dan menerimanya sebagai sebuah kenyataan. Dalam Kitab Suci juga disebutkan bahwa perbedaan antara manusia dalam bahasa dan warna kulit harus diteri­ma sebagai kenyataan yang positif, yang merupakan salah satu tanda-tanda kebesaran Allah. (QS. 30:22). Juga terdapat penegasan tentang kemajemukan dalam pandangan dan cara hidup antara manusia yang tidak perlu digusarkan, dan hendaknya dipakai sebagai instrumen untuk berlomba-lomba menuju berbagai kebaik­an, dan bahwa Tuhanlah yang akan menerangkan mengapa manusia berbe­da-beda, nanti ketika kita kembali kepada-Nya. (QS. 5: 48).4
Namun demikian, pluralisme tidak dapat dipahamai hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemauk, beraneka ragam, terdiri berbagai suku dan agama, yang justru hanya meng­gambarkan kesan frag­men­tasi, bukan pularalisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menying­kirkan fanatisisme (to keef fanaticism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kehbinekaan dalam ikatan-ikatan kesopan­an.” Bahkan pluralisme juga adalah suatu keharusan bagi kesela­matan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan peng­imbangan yang dihasilkannya. Dalam Kitab Suci justru disebutkan bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia”5. “Sesungguhnya jika Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur, namun Allah mempu­nyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam”.6


Alwi Shihab dalam bukunya “Islam Inklusif”7 secara lebih rinci menjelaskan garis-garis besar konsep pluralisme yang mencakup beberapa hal berikut. Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimak­sud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat dijumpai di mana-mana, pada masyarakat tertentu, di kantor tempat bekerja, di sekolah tempat belajar, bahkan di pasar tempat berbe­lanja. Namun, menurut Alwi, seorang baru dapat dikatakan menyandang sifat tersebut, jika ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kema­jemukan tersebut. Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, namun juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan.


Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanis­me. Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realita yang menunjukan aneka ragam agama, ras dan bangsa yang hidup berdampingan di suatu lokasi. Contoh konkret adalah kota New York, yang kosmopolit. Di kota ini terdapat orang Yahudi, Kristen, Muslim, Hindu, Budha, bahkan orang-orang yang tanpa agama sekalipun. Seakan seluruh penduduk dunia berada di kota ini. Namun interaksi positif antar pen­duduk kota tersebut, khususnya di bidang agama, sangat mini­mal, kalaupun ada.


Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativis­me. Seorang, relativis akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut “kebenaran” atau “nilai” ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakat. Sebagai contoh, “kepercayaan/kebe­naran” yang diyakini bangsa Eropa bahwa “Columbus menemukan benua Amerika” adalah sama benarnya dengan “kepercayaan/kebenaran” pendu­duk asli benua tersebut yang menyatakan bahwa “Columbus mencaplok Amerika”.


Sebagai konsekuensi dari paham relativisme agama, doktrin agama apapun harus dinyatakan benar. Atau tegasnya “semua agama adalah benar”. Karena kebenaran agama-agama, walaupun berbeda-beda dan bertentangan satu dengan lainya, tetap harus diterima. Untuk itu, seorang relativis tidak akan mengenal, apalagi menerima suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa.


Tak dapat dipungkiri bahwa dalam paham pluralisme terdapat unsur relativisme, yakni unsur tidak mengklaim pemilikan kebenaran tersebut kepada pihak lain. Paling tidak, seorang pluralis akan menghindari sikap absolutisme yang menonjolkan keunggulannya terhadap pihak lain. Karenanya, banyak orang enggan menggunakan kata pluralisme agama, karena khawatir akan terperangkap dalam lingkaran konsep relativisme agama.


Sebagaiamana diketahui, konsep relativisme agama berawal pada abad ke-5 sebelum masehi, yakni di masa Protagoras, seorang sofi Yunani. Konsep tersebut bertahan hingga kini, khusunya dalam pendekatan ilmiah yang dipakai oleh para ahli antropologi dan sosio­logi. Konsep ini menerang­kan bahwa apa yang dianggap baik atau buruk, benar atau salah, adalah relatif, tergantung kepada pendapat tiap individu, keadaan setempat atau institusi sosial dan agama. Kare­nanya, konsep ini tidak mengenal kebenaran absolut atau kebe­naran abadi.


Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yang men­cip­ta­kan satu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagai komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut.
Dalam sejarah, terdapat sekian banyak agama sinkretik. Feno­mena ini tidak terbatas pada masa lalu. Hingga kini pun hal itu masih dijumpai. Mani, pencetus agama Manichaeisme pada abad ke-3, dengan cermat mempersatukan unsur-unsur tertentu dari ajaran Zoroaster, Budha, dan Kristen. Bahkan apa yang dikenal sebagai New Age Religion (Agama Masa Kini), adalah wujud nyata dari perpaduan antara praktik yoga Hindu, meditasi Budha, tasawuf Islam, dan mis­tik Kristen. Demikian pula Bahaisme, yang didirikan pada perte­ngah­an abad ke-19, sebagai agama persatuan oleh Mirza Husein Ali Nuri yang dikenal sebagai Bahâullâh. Sebagian elemen agama baru yang didirikan di Iran ini diambil dari agama Yahudi, Kristen, dan Islam.


Masih menurut Alwi, hal terpenting yang mesti diingat adalah jika konsep pluralisme agama di atas hendak diterapkan di Indonesia, maka ia harus bersyaratkan satu hal, yakni komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing. Seorang pluralis, dalam berinteraksi dengan aneka ragam agama, tidak saja dituntut untuk membuka diri, belajar dan menghormati mitra dialognya, tapi yang terpenting ia harus committed terhadap agama yang dianutnya. Hanya dengan sikap demikian kita dapat menghindari relativisme agama yang tidak sejalan dengan semanagat Bhineka Tunggal Ika.

C. Islam dan Pluralisme Agama

Kata pluralisme dalam bahasa Arab, bisa diterjemahkan ta’ad­du­diyah dan tanawwu’iyah. Kedua bentuk kata ini tidak dijumapi dalam al-Qur’an. Akan tetapi, dengan bentuknya yang lain banyak dijumpainya. Hanya saja, semuanya tidak ada yang dimaksudkan sebagai penerjemahan “pluralisme”. Atau tidak juga dianggap sebagai gambaran pluralisme dalam al-Qur’an. Karenanya, penelusuran plu­ralisme dalam al-Qur’an dipahami dalam bentuk kontektualitas dan makna implisitnya.


Di antara ayat-ayat yang bisa dijadikan rujukan atau sandaran dalam masalah pluralisme ini adalah;

“Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manu­sia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisish penda­pat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat Tuhanmu...” (QS. Hûd: 118-119)

Ayat di atas adalah surat Makkiyah. Sekalipun ayat di atas berke­naan dengan perbedaan agama yang muncul yang menyimpang dari ajaran yang dibawa para Nabi dan Rasul, namun dari ayat tersebut bisa dipahami bahwa pluralitas agama adalah sesuatu keniscayaan dan sudah merupakan sunnatullah yang akan terus ada, kapan dan dimana pun.
Karenanya, pernyataan “kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Tuhanmu” menjadi cukup penting. Pernyataan di atas dapat dipa­hami dalam dua kategori. Pertama, bahwa hanya mereka yang memperoleh rahmat-Nyalah yang akan mengikuti agama yang dibawa Muhammad. Kedua, bahwa salah satu indikasi memperoleh rahmat adalah adanya satu kesadaran bahwa kemajemukan agama merupakan suatu keniscayaan, sehingga bisa mensika­pinya secara arif dan bijaksana dengan lebih melihat kepada kesamaannya bukan pada perbedaannya. Redaksi setelahnya menunjukkan, justru atas alasan itulah mereka diciptakan. Sebab, seandainya mau, Allah sendi­ri yang akan menciptakan mereka dalam satu umat.


Dalam ayat lain Allah SWT. berfirman:

“.... Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlom­balah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah, kamu dikem­balikan, lalu diberitahukan oleh-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”. (QS. Al-Maidah: 48).

Ayat di atas merupakan intisari dari problem dan sekaligus solusi atas pluralitas dan pluralisme menurut pemahaman Islam. Ayat tersebut dimulai dengan pernyataan tentang fakta berbagai macam kelompok dan komunitas yang masing-masing memiliki orientasi kehidupannya sendiri yang memberinya arah petunjuk. Komunitas-komunitas tersebut diharapkan dapat menerima kenya­taan tentang adanya keragaman sosiokultural dan saling toleran dalam memberikan kebebasan dan kesempatan kepada setiap orang untuk menjalani kehidupan sesuai dengan sistem kepercayaannya masing-masing.


Logika di balik pengakuan al-Qur’an terhadap kebaikan uni­versal (al-khairât) seperti disebutkan dalam ayat di atas,8 bagi agama-agama lain, dengan syarat mereka beriman kepada Tuhan, percaya pada hari kiamat dan beramal saleh (QS.2:62), menurut Fazlur Rahman, meletakan kaum musli­min duduk berdampingan dan sejajar dengan umat agama lain dalam mencapai kebenaran. Bagi Rahman, kaum muslimin bukanlah satu-satunya tapi hanya satu dari sekian banyak yang berlomba menuju kebaikan.9


Hal yang hampir sama juga pernah disinyalisr oleh Muhamad Asad. Bagi Asad, sesuai dengan QS. al-Maidah/5:48, untuk semua agama, Tuhan telah menyiapkan hukum suci yang berbeda dan jalan yang terbuka dan salah satu tema yang terpenting dari doktrin Islam adalah kelanjutan sejarah yang berkaitan dengan berbagai bentuk dan fase wahyu ilahi, akan tetapi essensi dari ajaran agama itu sendiri selalu identik dan dapat dikatakan juga bahwa semua agama mem­proklamirkan kepercayaan yang sama.10 Salah satu prinsip yang fundamental dari ajaran Islam adalah bahwa setiap agama yang mempercayai Tuhan sebagai focus point, walaupun berbeda dalam beberapa hal yang menyangkut ajaran agama, harus dihormati dan diperlakukan dengan sebaik-baiknya. Orang-orang Islam berkewa­jiban menjamin setiap rumah ibadah yang didedikasikan atas nama Tuhan, dan setiap upaya yang menghalagi para penganut agama itu untuk mengagungkan Tuhan dalam rumah-rumah ibadah itu, bagi Asad, merupakan suatu hal yang tercela me­nurut kaca mata al-Qur’an.11


Berdasarkan kenyataan di atas, Rasulullah SAW pernah dite­gur Allah ketika menunjukan hasrat dan keinginannya memaksa rakyat untuk menerima dan mengikuti agamanya. Firman-Nya, “Dan jika Tuhan-mu meng­hendaki tentulah beriman semua yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah engkau (Muhammad) hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya”. (QS. Yunus/10: 99). Karenanya, Tuhan membe­baskan umat manusia dalam beragama, “Tidak ada paksaan untuk (memeluk) agama (Islam)....” QS. al-Baqarah/2: 256. Tidak diper­bolehkan memaksa suatu agama, karena manusia di­anggap sudah mampu dan harus diberi kebebasan untuk membedakan dan memilih sendiri mana yang benar dan mana yang salah. Dengan istilah lain, manusia dianggap telah dewasa sehingga dapat menentukan sendiri jalan hidupnya.


Atas dasar prinsip-prinsip di atas, al-Qur’an mengajarkan paham kemajemukan keagamaan. Ajaran itu tidak perlu diartikan secara langsung sebagai pengakuan akan kebenaran semua agama dalam bentuknya yang nyata sehari-hari. Akan tetapi ajaran kemajemukan keagamaan itu menan­daskan pengertian dasar bahwa semua agama diberi kebebasan untuk hidup, dengan resiko yang akan ditanggung oleh para pengikut agama itu masing-masing, baik secara pribadi maupun kelompok.


Sikap ini dapat ditafsirkan sebagai suatu harapan kepada semua agama yang ada yaitu, karena semua agama itu pada mulanya menganut prinsip yang sama, yaitu keharusan manusia untuk berserah diri kepada Yang Maha Esa, maka agama-agama itu, baik karena dinamika internalnya sendiri atau karena persinggungannya satu sama lain, secara berangsur-angsur akan menemukan kebenaran asalnya sendiri, sehingga semuanya akan bertumpu dalam “titik pertemuan”, dalam istilah al-Qur’an, “kalimah sawâ”. Hal itu diisyaratkan dalam sebuah perintah Allah kepada Rasul-nya Nabi Muhamad SAW:

“Katakanlah olehmu (Muhamad): “Wahai Ahli Kitab, mari­lah menuju ke titik pertemuan (kalimah sawâ) antara kami dan kamu; yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak pula mempersekutukan-Nya kepada apa pun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagaian yang lain sebagai ‘tuhan-tuhan’ selain Allah”. (QS. Ali Imrân/3: 64).

Untuk itu masing-masing pemeluk agama, semestinya mau melihat sisi kesamaan yang ada dalam agama dan menjauhi sikap saling menyerang antaragama apalagi memaksakan agama untuk dianut yang pada giliranya bisa memicu konflik horizontal.


Dalam kaitan ini, ayat 29 surat al-Kahfi mengatakan: “Kebe­naran telah dijelaskan Tuhan, siapa yang mau beriman, beriman­lah, siapa yang tidak mau beriman juga silahkan”. Ayat ini membe­rikan kemerdekaan bagi pemeluk agama lain. Jika mau percaya kepa­da ajaran yang dibawa Nabi Muhammad percayalah, jika tidak maka tidak boleh dipaksakan. Pernyataan ini lebih diperkuat lagi oleh ayat 6 surat al-Kâfirûn: “Bagimulah agamamu dan bagiku agamaku”.

D. Teladan Rasul dalam Menyikapi Pluralisme Agama
Teks-teks keagamaan (al-nushûs al-dîniyah, al-Qur’an dan al-Hadits), di satu sisi memiliki karakter-karakter yang keras, namun di sisi lain juga memiliki karakter-karakter lunak. Di antara ayat yang berkarakter keras seperti dalam surat al-Tahrîm ayat 9 berbunyi:

“Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali”.

Contoh Hadis Nabi yang bekarakter keras, antara lain riwayat Imam Muslim:

“Aku diperintahkan untuk memerangi mansusia sampai me­reka mengatakan ‘lâ ilâha illa Allâh’ (tidak ada Tuhan selain Allah)”.

Dari dua contoh teks agama di atas, Islam tergambar dengan wa­jah­nya yang sangat sadis dan jauh dari sikap toleran, karena orang-orang non-muslim secara mutlak harus diperangi atau dibunuh.


Dalam konteks surat Al-Tahrim ayat 9 Nabi harus memerangi orang kafir dan orang-orang munafik, dalam situasi apapun, karena ayat-ayat tersebut tidak memberikan batasan-batasan situasi. Demi­kian pula Hadits riwayat Muslim yang menerangkan bahwa Nabi SAW diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan kalmat ‘lâ ilâha illa Allâh’. Ini artinya Nabi SAW, tidak memiliki opsi lain dalam menghadapi orang kafir kecuali memerangi mereka sampai habis.


Namun demikian, jika memperhatikan perilaku Nabi Muham­mad ― yang merupakan salah satu bentuk penjelasan dan penafsir al-Qur’an― dalam menghadapi non-muslim tidak seperti itu. Nabi justru rumahnya terbuka buat non-muslim. Bahkan salah satu mertua Nabi SAW yang berna­ma Huyay bin Ahthab adalah seorang tokoh Yahudi dari Bani Quraidhah dan Nabi sangat menghormatinya. Dalam Sahîh Bukhâri dan Sahîh Muslim ada keterangan bahwa Ummul Mukminin ‘Aisyah istri Nabi Mumahad SAW sering mengo­brol dan berdiskusi dengan wanita-wanita Yahudi di rumah Nabi. Diskusi mereka terkadang juga melibatkan Nabi dalam masalah-masalah agama. Wanita-wanita Yahudi datang ke rumah Nabi itu terkadang sendiri dan terkadang berkelompok.12


Nabi Muhamad SAW juga membiarkan orang-orang Nasrani Najran hidup berdampingan dengan umat Islam, mereka tidak dipe­rangi oleh Nabi. Demikian pula orang Majusi yang tinggal di kawasan Hajar, daerah Timur Jazirah Arab dibiarkan hidup oleh Nabi SAW. Bahkan pada saat akhir kehidupan Nabi, beliau masih melakukan transaksi dengan seorang non-muslim dimana Nabi SAW meminjam gandum 30 sha’ (sekitar 75 kg) dari seorang Yahudi bernama Abu Syahm dengan menggadaikan baju perang beliau.13


Sebuah peristiwa yang dikisahkan oleh Ibnu Ishak dalam al-Syîrah al-Nabawiyah, bahwa Nabi pernah menerima kunjungan para tokoh Kristen Najran yang berjumlah 60 orang. Rombongan dipimpin Abdul Masih, al-Ayham dan Abu Haritsah bin Alqama. Abu Haritsah adalah tokoh yang sangat disegani karena kedalaman ilmu­nya dan konon karena beberapa karomah yang dimilikinya. Menurut Muhamad ibn Ja’far ibn al-Zubair, ketika robongan itu sampai ke Madinah, mereka langsung menuju Masjid padahal Nabi sedang melaksanakan shalat ashar. Mereka memakai jubah dan surban. Ketika waktu kebaktian telah tiba, mereka pun melakukannya di dalam mesjid dengan menghadap ke arah timur.14 Hal itu mengin­dikasikan, betapa Rasul sangat menghargai dan mentoleransi bahkan dalam soal ritus peribadatan.

Lebih dari itu Nabi mengatakan:
“Siapa yang membunuh orang kafir mu’âhad (yang terikat janji), ia tidak akan mencium aroma surga, dan aroma surga itu dapat dicium dari jarak perjalanan empat puluh tahun”. HR. Bukhari, Tirmizi, Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad.

Karenanya, ayat dan Hadis di atas mesti dipahami secara kompre­hensif tidak sepotong-sepotong. Dalam tataran praksis, mesti memperha­tikan antara ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi yang berkaitan dengan perang dan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi yang berkenanaan dengan damai. Ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi yang berkaitan dengan perang harus diposisikan pada situasi perang dan digunakan hanya untuk menghadapi orang-orang yang memerangi Islam. Sementara ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi yang berkaitan dengan situasi damai, mesti diposisikan pada situasi damai. Begitu juga sebaliknya. Membalik penerapan tersebut yaitu menggunakan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi yang berkaitan dengan perang untuk situasi damai dan atau menerapkan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi yang berkaitan dengan damai untuk situasi perang, hal itu sama halnya dengan memutarbalikan dan mengacaukan ajaran Islam. Pemahaman yang benar terhadap teks-teks keagamaan (al-nushûs al-dîniyah) itu bias meneguhkan inklusi­visme Islam. Itulah yang dilakukan Rasulullah SAW dalam mem­per­lakukan orang-orang non-muslim .
Nabi Muhammad dan para sahabatnya sejak tahun pertama hijriah di Madinah sudah memberikan kebebasan dan sikap toleran kepada semua umat beragama serta penghargaan yang tinggi dan menjamin keamanan mereka khususnya terhadap kaum Yahudi dan Nasrani.15 Hal itu tertuang dalam sebuah perjanjian yang dikenal dengan “Piagam Madinah”16 yang sangat dikagumi oleh para sarjana modern, karena merupakan dokumen politik resmi pertama yang meletakan prinsip kebebasan beragama dan bertoleransi.17 Bahkan sesungguhnya Nabi juga membuat perjanjian tersendiri yang menja­min kebebasan dan keamanan kaum Kristen di mana saja sepanjang masa. Untuk memperoleh sekedar gambaran, di bawah ini dikemu­kan bagian pertama perjanjian jaminan Nabi itu:

“…..Dari Muhamad bin Abdullah untuk seluruh kaum Nas­rani, inilah dokumen yang dibuat oleh Muhamad untuk seluruh umat manusia, sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan, dan sebagai pemegang titipan Allah untuk makhluk-Nya agar tidak lagi pada manusia ada alasan terhadap Allah setelah (kedatangan) para Rasul. Dan Allah Maha Mulia lagi Maha Bijaksana. Ditulis untuk para pemeluk agama Islam dan sekalian orang yang menganut agama Nasrani dari belahan Timur maupun Barat dunia, yang dekat maupun yang jauh, bangsa Arab maupun bangsa ‘ajam, yang dikenal maupun yang tidak dikenal. Suatu dokumen yang dibuat Muhamad untuk mereka (kaum Nasrani) sebagai perjanjian. Maka barangsiapa melanggar perjanjian yang ada di dalamnya dan menyeleweng­kannya ke arah yang lain serta mengabaikan apa yang diperin­tahkannya, maka ia telah melanggar perjanjian Allah, melawan piagam-Nya, menghina agama-Nya, dan mengakibatkan laknat baginya, baik ia itu sebagai penguasa atau bukan dari kalangan kaum muslim dan mukmin. Jika seorang pendeta atau pejalan berlindung di gunung atau lembah atau gua atau bangunan atau gereja, maka aku (Muhammad) pelindung di belakang mereka dari setiap permusuhan terhadap gereja, maka aku (Muhammad), pelindung di belakang mereka dari setiap permusuhan terhadap mereka. Demi jiwaku, para pendukungku, para pemeluk agamaku dan para pengikutku, sebagaimana mereka (kaum Nasrani) itu adalah rakyatku dan anggota perlindunganku. Aku melindungi mereka dari perlakuan yang menyakiti menurut kewajiban yang dibebankan kepada pendukung perjanjian ini, yaitu membayar pa­jak, kecuali mereka yang tidak dibebankan pajak karena alasan yang dibenarkan….. Barangsiapa yang melanggar perjanjian ini, berarti mereka benar-benar telah melanggar perjanjian Allah dan melawan rasul-Nya”…18

Begitulah Nabi membangun masyarakat pluralis yang ada di Madi­nah. Tindakan Nabi yang memperlakukan non-muslim dengan penuh penghargaan serta tidak pernah menutup dialog dengan mereka dijadikan teladan oleh para sahabtanya. Umar bin Khattab ketika menaklukan Yerusalem bertemu dengan Uskup Agung untuk membuat perjanjian yang isinya antara lain melindungi para pemeluk Kristen19. Begitu pula ketika kaum muslim melakukan ekspansi ke anak benua India pada tahun ke-9 H./711 M tidak ada pemaksaan kepada penganut Hindu dan Budha di sana untuk memeluk Islam. Mereka dibiarkan dan dilindungi dalam menjalankan ibadah sesuai dengan agama mereka masing-masing.20


Bahkan ada contoh kasus yang terjadi dalam suasana perang. Dikisahkan bahwa seorang tentara non-Muslim menemui Ummu Hani binti Abu Thalib. Dia minta perlindungan kepadanya. Ketika beberapa sahabat Nabi keberatan dan ingin membatalkannya, dia marah dan mengadu kepada Nabi. Dan Nabi berkataa: “Wahai Ummu Hani, kami memberi perlindungan kepada siapapun yang engkau beri perlindungan21. Artinya, Nabi membe­narkan tindakan Ummu Hani yang melindungi orang non-Muslim itu, karena orang itu memang membutuhkan perlindungan


Berdasarkaan deskripsi di atas, sebenarnya model pluralis­me yang baik telah dicontohkan Nabi SAW, baik dalam tuturan maupun tindakan. Jauh sebelum model pluralisme harmonis yang dipraktikan umat Islam Spanyol 22, Nabi Muhamad SAW dan para sahabatnya di Madinah sudah menunjukaan sikap toleran dan penghargaan yang tinggi terhadap kelompok non-muslim. Prof. H. Abu Bakar Aceh dalam bukunya, Toleransi Nabi Muhamad dan Sahabat-sahabatnya (1966), menjelaskan kemuliaan akhlak Nabi dan para pengikutnya terhadap para penganut agama lain yang berbeda. Nabi selalu menga­jarkan kepada umat Islam Madinah agar senan­tia­sa bersikap san­tun, toleran, pemaaf, menghormati mereka dan tidak mengkhianati perjanjian yang telah dibuat dengan mereka. Nabi juga selalu menga­jarkan untuk menjaga kehormatan, harta benda, dan keluarga mere­ka yang hidup damai (dzimmiy) dengan umat islam.23
Sewaktu Islam meluas dari Semenanjung Arabia ke Palestina, Siria, Mesopotamia, Persia, India di Timur dan ke Mesir melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat, penduduk daerah-daerah ini tidak dipaksa meninggalkan agama mereka untuk masuk Islam. Kepada mereka diberi kebebasan memilih antara agama mereka yang lama dan agama Islam. Siapa yang mau masuk Islam itu lebih baik dalam pandangan Islam, tetapi siapa yang ingin tetap memeluk agama lamanya, mereka tidak diganggu. Mereka diberi kebebasan menjalankan ajaran agama mereka masing-masing.24


Bahkan, ketika para pendeta dan delegasi Kristen Najran yang menjadi tamu Nabi dan kaum muslimin hendak melakukan sembah­yang pada hari Minggu, namun tidak terdapat Gereja di Madinah, dengan lapang dada Nabi mempersilahkan Masjid Nabawi dipakai untuk kebaktian mereka. Demikian seperti diungkap sejarawan mus­lim ‘Awf bin Burhan al-Dîn al-Halaby al-Syafi’i dalam bukunya al-Sîrah.25
Berdasarkan kejadian di atas, Ibnu Qayyim al-Jauziyah mem­bu­at kesimpulan bahwa Ahli kitab dibolehkan masuk masjid, bah­kan dibolehkan melaksanakan kebaktian di Masjid asalkan tidak dijadi­kan kebiasaan rutin.26


Pada kesempatan lain, Umar bin Khatab masuk Bait al-Maqdis dan sampai ke Gereja Qiyamah (Gereja Kebangkitan) lalu berhenti di plazanya. Waktu salatpun datang, maka ia katakan kepada Patriark: “Aku hendak salat.” Jawab Patriark: “Salatlah di tempat anda”. Artinya Patriark memper­silahkan Umar salat di Gerejannya, kemudian Umar pun shalat di anak tangga Gereja pada gerbang Gereja.


Dari pemaparan di atas, terlihat sangat baik sekali hubungan Nabi dan para sahabatnya dengan orang-orang non-Muslim. Di sisi lain, bahkan Nabi juga melakukan jalinan khusus dengan al-Muqauqis dan Patriark Alexandria pembesar Mesir. Al-Muqauqis mengirim hadiah kepada Nabi Muhamad dalam bentuk dayang Maria al-Qibthiyah, Sirin dan seekor kuda dan keledai. Maria al-Qibthiyah beliau jadikan istri yang kemudian mela­hirkan putra Nabi yang bernama Ibrahim.


Paling tidak ada tiga hal pokok yang perlu diperhatikan agar keteladan Nabi Muhamad SAW berdampak pada kehidupan riil seka­rang ini. Pertama, adanya upaya sosialisasi semangat keteladan Nabi tersebut semaksimal mungkin. Sikap inklusif yang dicontohkan Nabi dan para sahabatnya hendaknya menjadi acuan dasar dalam berin­teraksi dengan sesame pemeluk agama. Kedua, dalam hidup satu negara harus mampu memahami kepekaan masing-masing menyang­kut kecintaan serta ikatan batin dengan panutan sentralnya (Nabi Muhamad). Umat Islam, demikian pula umat agama lain, sepan­tasnya tidak terpengaruh oleh sejarah konflik yang pernah terjadi, baik dalam maupun di luar negeri kita. Ketiga; membangun budaya menerima yang lain.


Secara normatif, Islam sebagai ajaran yang bersumber dari Tuhan dan berorientasi kemanusiaan. Atas dasar ini, Islam adalah agama tidak hanya menjadi agama yang membawa wahyu ketuhanan, melainkan juga sebagai agama yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Dari sini betapa pentingnya menerjemahkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan yang lebih plural. Sejatinya, Islam tidak hanya dipahami sebagai yang selalu berada di menara gading, akan tetapi harus diupayakan untuk memberikan perhatian pada penyelesaian problem kemanusiaan. Islam perlu dipahami, diperbarui dan dikembangkan menjadi ajaran yang mampu memberikan dampak bagi kemanusiaan universal (rahmatan lil ‘âlamîn).

E. Peradaban Islam Klasik: Sebuah Masyarakat Terbuka
Sebuah kenyataan tentang masyarakat Islam masa lalu yang amat menarik perhatian adalah semangat keterbukaannya. Semangat keterbukaan itu telah melahirkan sikap positif orang-orang muslim klasik terhadap kebudayaan asing yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar ajaran Islaam. Karena kemantapan dan kepercayaan diri yang hebat, muslim klasik secara adil menunjukkan sikap dan pan­dangan positif kepada orang dan bangsa lain. Mereka berani menya­takan mana yang salah mana yang benar. dan berani mengam­bil semua warisan umat manusia dari mana saja selagi bermanfaat dan berguna serta tidak bertentangan dengan ajaran Tuhan.

Seorang ahli melukiskan sikap muslim klasik;
“Merupakan kelebihan orang-orang Arab bahwa sekalipun mereka itu para pemenang secara militer dan politik, mereka tidak memandang peradaban negeri-negeri yang mereka taklukan de­ngan sikap menghina. Kekayaan budaya-budaya Syiria, Persia, dan Hindu, begitu ditemu­kan, mereka langsung salin ke bahasa Arab. Para khalifah, gubernur dan tokoh-tokoh yang lain menyan­tuni para sarjana yang melakukan tugas terjemah. Sehingga kumpulan ilmu-ilmu umum yang luas dapat diperoleh dalam bahsa Arab. Selama abad ke-9 dan ke-10, karya-karya yang terus menga­lir dalam ilmu kedokteran, fisika, astronomi, matematika dan filsa­fat dari Yunani, sastra dari Persia, serta matematika dan astronomi dari Hindu tercurah ke dalam bahasa Arab.”27

Karena sikap orang-orang Islam yang positif terhadap berbagai budaya bangsa-bangsa lain, peradaban Islam mampu menghimpun banyak peradaban dunia. Dan untuk mewujudkan tujuan itu semua, ternyata tidak luput dari partisipasi kaum Yahudi dan Kristen yang hidup dalam masya­rakat Islam.

F. Partisipasi Kaum Yahudi dan Kristen dalam Masyarakat Islam
Setelah Islam masuk, mazhab-mazhab Kristen yang terdapat di Timur Tengah dan kaum Yahudi yang ada di Spanyol memperoleh kemer­dekaan beragama, bahkan tenaga mereka dipakai oleh umat Islam dalam memerintah daerah-daerah yang baru dikuasai itu. Di antara orang-orang Yahudi dan Kristen ada yang menjadi menteri-menteri dan kepala-kepala kantor administrasi. Penerjemah buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani ke bahasa Arab dilaku­kan terutama oleh orang-orang Kristen pada abad ke-9 dan ke-10 M. Penduduk asli itu tetap berpegang pada agama mereka masing-masing, dan baru kurang lebih dua ratus tahun sesudah datangnya Islam ke daerah-daerah itu kebanyakan mereka masuk agama Islam.28


Salah seorang penerjemah Kristen yang paling terkenal itu, Hunayn Ibnu Ishak (w. 875). Ia menerjemah berpuluh-puluh buku Yunani kuno dalam berbagai cabang ilmu dengan tingkat keahlian yang amat tinggi.29


Karena kemerdekaan dan sikap toleran yang diberikan mereka, maka tidak heran, begitu Islam masuk dan menguasai daerah-daerah yang ditaklukannya, mereka merasa lega dan gembira. Mereka tetap bisa menja­lankan ajaran-ajaran agama yang mereka yakini tanpa adanya campur tangan dari penguasa Islam. Dan tidak jarang bahwa pemeluk-pemeluk agama yang tertindas itu membantu umat Islam untuk menguasai daerah mereka, lantaran ingin terlepas dari kekuasaan Bizantium dan Gereja Orto­doks. Contoh kasusnya seperti yang terjadi pada Uskup Damaskus. Menurut pengakuan Baladzuri, Uskup itu banyak menolong Khalid bin Walid untuk menguasai Damaskus pada tahun 636 M. Begitu pula penduduk Qibti (Coptic) dari Mesir yang mengalami tekanan-tekanan dalam memegang dan menjalankan agama mereka, menolong Islam dalam menguasai dae­rah mereka dari tangan Bizantium. Di Spanyol umat Islam dapat sokongan dari umat Yahudi dalam menguasai daerah ini pada per­mu­laan abad ke-8.30 Jadi banyak sekali jasa dan partisipasi orang-orang Kristen dan Yahudi dalam proses pengembangan peradaban Islam.


Bagi bangsa Indonesia yang sedang menghadapi pembangunan dalam segala bidang, mewujudkan toleransi merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi sembari memberikan penjelasan tentang ajaran-ajaran agama yang menekankan toleransi. Dengan demikian, jiwa toleransi beragama dapat dibina di kalangan pemeluk masing-masing agama.

G. Penutup


Pada saat kehidupan manusia semakin pluralis, terasa sema­kin mustahil untuk menolak sebuah teologi pluralis. Teologi pluralis dan inklusif untuk sekarang ini sudah harus segera dibumikan dalam tiap sanubari dan langkah umat Islam dan umat beragama umumnya untuk mendukung upaya mewujudkan sikap keterbukaan demi menggapai masyarakat yang toleran – inklusif. Sejarah konflik antar umat beragama di manapun, yang telah membuahkan kesalah pahaman, rasa curiga, dan bahkan permusuhan mesti dibuang jauh-jauh dari pikiran kita. Para pemeluk agama benar-benar dituntut untuk memperdalam, mempererat dan mewujudkan semangat persaudaraan universal dalam kehidupan riil. Dan teologi seperti itu bisa dibangun melalui usaha-usaha berikut ini: Pertama, mencoba melihat kebenaran yang ada dalam agama lain. Kedua, memperkecil perbedaan yang ada di antara agama-agama. Ketiga, menonjolkan persamaan-persamaan yang ada dalam agama-agama. Keempat, memupuk rasa persaudaraan se-Tuhan. Kelima, memusatkan usaha pada pembinaan individu-individu dan masyarakat yang menjadi tujuan utama beragama dari semua agama monoteis. Keenam, meng­u­tamakan pelaksanaan ajaran-ajaran yang memba­wa kepada tole­ran­si beragama. Ketujuh, menjauhi praktik saling menyerang antara agama. Mungkin beberapa poin di atas dapat mengubah ketegangan hidup beragama yang dirasakan ada dalam masyarakat kita sekarang dan terciptanya sikap keterbukaan demi menggapai masyarakat yang harmonis.

Wallâhu a’lam bi al-sawâb

No comments: