Sunday, September 7, 2008

Fatwa Ulama Indonesia Terhadap Isu-isu Kedokteran Kontemporer

Zuhroni - Alumnus PTIQ, Dosen Universitas YARSI, Jakarta
This research is aimed at finding out how far Indonesian Ulama Responds, especially those unified in Indonesian Fatwas Organizations which have different characteristics, towards contemporary medical issues. The research main object are fatwas of headquarter ulama organizations related to contemporary medical issues. The tradition of responding was common in the period of Propet Muhammad and is still going on until now. In Indonesia, there are five fatwas organizations that are actively giving respond to medical issues; Lajnah Bahtsul Masail Diniyah NU, Majlis Tarjih Muhammadiyah, Komisi Fatwa MUI, Dewan Hisbah PERSIS, and MPKS Ministry of Health of Republic Indonesia.
There are three methods to make the laws; first on the basis of Fiqih by Bahtsul Masail, second by Majelis Tarjih and Dewan Hisbah, and third by Mujtahidin on the cases unsolved referred by Alquran and Hadits. The last method has no strict regulation and is done academically by MUI and MPKS. Almost all latest medical issues get Indonesian Ulama Responds. Bahtsul Masail has given most responds on medical issues followed by MPKS, MUI, Dewan Hisbah and Majlis Tarjih. However, not all issues are responded by all ulama organizations, sometimes by a few, or even by one organization. Despite the three different methods in stating law, in many cases, the law made by Indonesian Ulamas especially on medical issues, is the same, though they vary greatly on the other issues. On the other hand there is law reformation on certain ulama organization; it can be seen from previous opinion and latest opinion. Dissenting opinion of law over certain issue is stated by one organization with two contradictive opinion. Some big issues attract responds of Indonesian ulamas are insemination and in-vitro fertilization, cloning, milk bank, family planning, abortion, organ transplantation, surgery on sex change, dring the alcoholic medicines, euthanasia, and HIV/AIDS.

KEYWORDS, Fatwas organizations; to make the laws, contem­porary medical issues.

BIDANG kedokteran secara umum termasuk salah satu bidang keilmuan yang mendapat perhatian cukup besar dari para ulama, sejak masa nabi hingga dewasa ini, termasuk yang terkait dengan perkembangan teknologinya dari sisi etika dan hukum Islam. Dalam menentukan hukum, haram-halalnya suatu temuan ilmiah termasuk dalam bidang kedokteran, pada masa lalu Nabi, seluruhnya dapat diselesaikan oleh Nabi. Sedang pada masa berikutnya jika tidak dapat ditemukan dalam sumber ajaran Islam, al-Quran dan hadits, maka dilakukan ijtihad. Dewasa ini para ulama dihadapkan pada masalah lebih rumit, karena banyak masalah-masalah kedokteram yang tidak ada penegasan dalam nash, Alquran dan Hadits, juga tidak ditemu­kan keterangannya dalam literatur fikih karena hal yang serupa belum diformulasikan oleh para pakar fikih (fuqaha) terdahulu, belum terjadi saat itu atau bahkan belum terpikirkan akan adanya. Di samping itu, juga mulai terkuaknya masalah lain yang terkait yang harus pula dipertimbangkan dalam menentukan hukumnya. Di sisi lain, sekarang hampir tidak ada lagi orang yang mempunyai otoritas berijtihad secara mandiri karena orang yang memenuhi prasyarat akademis dan moral yang diperlukan nyaris tidak dapat dijumpai lagi. Maka yang dilakukan adalah berijtihad secara kolektif (ijtihad jama'i) melalui lembaga atau organisasi keulamaan. Padahal secara normatif teoritis, ada interaksi antara perubahan dan perkembangan teknologi kedokteran dengan perubahan hukum Islam. Setiap peristiwa yang terjadi pasti ada hukum yang mengikatnya, ada dalil yang menunjukkan atas hukumnya, jika tidak ditemukan secara jelas dalam nash maka dalil dicari dengan cara berijtihad. Dengan ijtihad, maka sesulit dan serumit apa pun persoalan yang dihadapi manusia, maka di situ ada ketentuan hukumnya.


Hukum Islam senantiasa dinamis dan sesuai dengan tuntutan masa dan tempat, intinya menarik yang bermanfaat serta menghindari yang mafsadat (Rahmān, 1983). Tujuan akhir ditetapkannya hukum Islam adalah menjadi rahmat bagi manusia, mewujudkan kemaslahatan yang hakiki, baik di dunia maupun di akhirat (Zahrat, 1995). Ukuran dan sarana kemaslahatan itu tidak baku dan tidak tak terbatas, ia berubah seiring dengan perkem­bangan zaman (Rahmān, 1983). Secara metodologis, ulama menetapkan hukum Islam berdasarkan sumber primer syariat Islam, Alquran dan Hadis, dua sumber komplementer yang merupakan sub-ordinat (ijmak dan qiyas), kaidah-kaidah suplementer, meliputi Istihsān (preferensi juristik), Amalan Penduduk Madinah, al-Mashālih al-Mursalat (kemasla­hatan umum), Istishhāb (aturan kesesuaian), Syar’ man Qablanā, Madzhab Shahābi, Sadd al-Dzarī'at (menutup jalan yang dapat menghantarkan terjadinya kemaksi­atan), dan ‘urf (Khin, 1984; ‘Umran, 1992). Abd al-Rahim ‘Umran menam­bah­kan empat prinsip (kaidah) umum, yaitu: "Watak dasar segala hal adalah halal kecuali apabila dilarang oleh suatu nash, tidak memudaratkan dan tidak dimudaratkan, darurat membolehkan yang dilarang, dan memilih kemudaratan yang lebih kecil (Umran, 1992).


Kajian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengungkapkan fatwa ulama Indonesia yang tergabung dalam lembaga ijtihad kolektif terhadap kemajuan IPTEK di bidang kedokteran. Dengan studi ini akan diketahui secara lengkap respons yang diberikan, mencakup metodologi penetapan hukum yang digunakan, substansi, ciri-ciri respons, persamaan dan perbedaan, perubahan fatwa ulama Indo­nesia dan yang terkait yang berhubungan dengan isu-isu kedokteran dan kesehatan.


Obyek studi ini adalah fatwa-fatwa dari 5 lembaga fatwa di Indonesia, Bahtsul Masail NU, Majlis Tarjih Muhammadiyah, Komisi Fatwa MUI, Dewan Hisbah PERSIS, dan MPKS (Majlis Pertimbangan Kesehatan dan Syara') Departemen Kesehatan RI. di tingkat pusat. Corak studi ini adalah kajian terhadap substansi fikih. Rentang waktu fatwa yang dikaji, dimulai sejak adanya fatwa yang berkaitan dengan kedokteran yang dikeluarkan ulama Indonesia secara kolektif pada tahun 1931 hingga akhir 2007.
Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah deskriptif, analisis, dan komparatif. Permasalahan pokoknya adalah "Bagaima­na­kah fatwa Ulama Indonesia terhadap isu-isu kedokteran yang ber­kembang dewasa ini?

PEMBAHASAN FATWA TERHADAP ISU EDOKTERAN

Jumlah Fatwa Ulama Indonesia terhadap isu-isu Kedokteran
Hampir seluruh isu kedokteran dan kesehatan yang berkem­bang dewasa ini telah mendapatkan fatwa dari Ulama Indonesia. Dilihat dari segi jumlah topik kedokteran yang telah difatwakan, Bahtsul Masail tercatat yang terbanyak, diikuti MPKS, MUI, Dewan Hisbah, dan Majlis Tarjih. Ada dua isu (inseminasi buatan dan transplantasi) direspons oleh seluruh lembaga fatwa, selebihnya kadang hanya oleh sebagian saja, bahkan ada yang hanya oleh satu lembaga saja.

STUDI TENTANG FATWA ULAMA INDONESIA TERHADAP ISU-ISU KEDOKTERAN

Daftar Jumlah Fatwa Isu Kedokteran dan Kesehatan

Serta Bentuk/Cakupan fatwa


No

Nama

Lembaga Fatwa

Jumlah Butir Fatwa

Bentuk/Cakupan Fatwa

1

Bahtsul Masail

28

Spesifik

2

MPKS

22

Spesifik

3

Dewan Hisbah

17

Spesifik

4

MUI

16

Konprehensif,

Spesifik

5

Majlis Tarjih

4

Konprehensif



STUDI TENTANG FATWA ULAMA INDONESIA TERHADAP ISU-ISU KEDOKTERAN


Tipologi Cara Penetapan Fatwa Isu Kedokteran


Penetapan fatwa terhadap tema kedokteran yang ditetapkan oleh lima lembaga fatwa dari segi metode atau dasar dalilnya, secara umum dapat digolongkan dalam tiga tipologi, yaitu:

1. Merujuk pada ketentuan dalam kitab-kitab fikih (kutub mu’ta­barat), dengan cara tahbīq atau Ilhāq (analogi), dilakukan oleh Bahtsul Masail.
2. Dengan slogan ‘kembali kepada Alquran dan Hadis’ oleh Majlis Tarjih dan Dewan Hisbah, secara teoritis segala persoalan terma­suk isu-isu modern dapat dijawab dengan kedua sumber tersebut. Namun, ketika dihadapkan pada realita ternyata tidak terdapat dalam dua sumber tersebut, maka digunakan metode yang diru­muskan oleh para mujtahid, seperti istihsān, mashlahat mursa­lat, sadd al-dzarī'at, dan sebagainya, termasuk karya-karya fikih masa lalu, namun tidak dinyatakan secara tegas.
3. MUI dan MPKS secara umum dapat dianggap sebagai perpaduan plus antara dua tipologi di atas, bersifat fleksibel dan dinamis, menggunakan sumber primer dan suplementer dan dinyatakan secara jelas.

Penggunaan Dalil/Metode dalam Fatwa Kedokteran
Secara metodologis, meski tidak berarti meninggalkan sumber-sumber hukum atau metode pendukung lain yang menguatkannya, terlepas dari adanya kelaziman menyebutkan metode tersebut atau tidak tetapi secara aplikatif dapat ditentukan, ada satu metode atau lebih penetapan hukum yang kuat dan menonjol dijadikan sebagai dasar, yaitu sebagai berikut:

1. Melalui sumber primer, Alquran dan Sunnah, atau dengan meng­kiyas­kannya. Fatwa tentang larangan operasi ganti kelamin digunakan dalil dengan nash tentang larangan merubah ciptaan Allah dan menyeru­pakan diri dengan lain jenis. Proses pema­sangan alat kontrasepsi dalam rahim/vagina atau penanaman zigot dengan batasan menutup aurat dan larangan melihat aurat, agar ‘memejamkan pandangan’. Keharaman menggunakan jenazah untuk transplantasi dengan larangan menyakiti jenazah, atau secara spesifik larangan untuk tidak mematahkan tulang mayit. Mengkonsumsi obat beralkohol dengan larangan minum khamar. Bolehnya menggunakan alat kontrasepsi yang sifatnya sementara dengan ‘azl. Kebolehan melakukan inseminasi buatan dan bayi tabung dengan anjuran umum agar berobat dan anjuran menikah serta berketurunan. Keharaman mengadakan bank sperma, inseminasi buatan dan bayi tabung donor, sewa rahim, dengan larangan zina dan ‘menanamkan air’ di tempat yang tidak halal, serta anjuran menjaga nasab. Transplantasi organ dan operasi perbaikan kelamin dengan anjuran berobat. Berobat dengan bahan dari unsur babi atau transplantasi dengan organ babi tercakup dalam larangan makan babi.


2. Melalui kaidah-kaidah suplementer, di antaranya:
a. Istihsan atau konsep darurat, seperti terhadap isu tentang donor organ, transplantasi dengan organ orang mati, bedah mayat untuk pendidikan kedokteran dan pengadilan, penggu­naan obat beralko­hol dan organ babi, aborsi karena alasan medis, darurat.
b. Sadd al-Dzarī’at digunakan untuk menetapkan haramnya penggu­naan sperma donor, sewa rahim, transplantasi dengan sesama muslim, aborsi akibat perkosaan yang berakibat depresi berat.
c. Mashlahat Mursalat, dijadikan sebagai argumen halalnya insemi­nasi buatan/bayi tabung, bedah mayat, transplantasi organ, dan KB.
d. Istishhāb digunakan karena tidak ada larangan dan perintah dalam nash maka difahami sebagai bentuk pembolehan, se­perti fatwa tentang isu inseminasi buatan.
3. Melalui kitab-kitab fikih dengan cara men-tathbīq-kannya atau meng-ilhāq-kannya, seperti haramnya suntik mayat dan bedah ma­yat dianalogikan dengan haramnya khitan mayat, bolehnya bedah mayat untuk pendidikan atau pengadilan, donor dan transplantasi organ manusia dianalogikan dengan bolehnya me­nge­luarkan benda berharga atau bayi dari perut mayat.

Hukum Kedokteran yang telah difatwakan
Ada sembilan isu penting yang berhubungan dengan kedok­ter­an telah ditetapkan hukumnya berikut alasan yang mendasarinya oleh lima lembaga fatwa di Indonesia, yaitu sebagai berikut:

1. Inseminasi Buatan dan Bayi Tabung
Dilihat dari segi teknologinya, empat lembaga fatwa, Bahtsul Masail NU, Komisi Fatwa MUI, Dewan Hisbah PERSIS, dan MPKS menyepakati bolehnya melakukan inseminasi buatan dan bayi tabung, sepanjang sperma berasal dari suami dan ovum dari istrinya yang masih terikat dalam pernikahan dan dihamilkan oleh wanita pemilik ovum tersebut, dan mengharamkan insemi­nasi buatan atau bayi tabung donor karena akan berakibat me­ran­cukan nasab. Majlis Tarjih mengeluarkan fatwa dengan dua pendirian, membolehkan dan mengharamkan. Bahtsul Masail dan pendapat yang membolehkan bayi tabung dari Majlis Tarjih mewajibkan pula cara mengeluarkan sperma dan/atau ovum secara muhtaram atau tidak bertentangan dengan syara’, bahkan Majlis Tarjih menyarankan agar petugas yang menandur­kannya dalam rahim adalah wanita. Maksudnya, jika dalam proses pe­nge­luaran sperma dan penandurannya dalam rahim tidak muhta­ram maka hukum inseminasi tersebut menjadi haram. MUI dan Dewan Hisbah lebih memperluas batasan kebolehan dan keha­ramannya, bagi suami yang berpoligami, zigot hanya boleh dita­nam di rahim pemilik ovum demi menjaga kemurnian nasab.

2. Kloning
Lembaga fatwa yang sudah menetapkan hukum kloning baru dua lembaga, Bahtsul Masail dan MUI. Mereka sepakat mengha­ram­kan kloning reproduksi manusia karena berakibat merancukan nasab, proses penanamannya dalam rahim bertentangan dengan batasan melihat aurat, merusak pranata sosial, dan akan meren­dahkan kehormatan insani, namun menghalalkan kloning pada tumbuhan dan hewan karena tujuannya untuk kesejahteraan dan kemaslahatan manusia. Sedangkan kloning terapetik yang bertujuan untuk kemaslahatan/pengobatan, belum difatwakan oleh lembaga-lembaga fatwa di Indonesia secara khusus. Fatwa yang ada merupakan pendapat individual, di antaranya M. Qurasih Shihab yang menyatakan kebolehannyta (Alkaf, 2003). Kebolehannya tersebut karena termasuk maslahah, dan dilihat dari segi pelaksanaannya tidak terdapat unsur melanggar syariat, maka hukumnya termasuk yang dibolehkan.

3. Keluarga Berencana
Bahtsul Masail, Majlis Tarjih, MUI, dan Dewan Hisbah berbeda pendapat tentang hukum asal ber-KB. Majlis Tarjih termasuk kelompok yang mengharamkannya. Awalnya Bahtsul Masail mengharamkannya secara mutlak, tetapi dalam perkembang­annya terjadi pergeseran, membolehkannya dengan syarat-syarat tertentu. Sedangkan MUI menghalalkannya, demikian pula Dewan Hisbah menghalalkannya jika diartikan sebagai bentuk pengaturan keluarga, namun jika berarti pembatasan kelahiran hukumnya haram. Dilihat dari segi cara ber-KB, jika dilakukan dengan tidak menggunakan alat bantu, Bahtsul Masail yang sebelumnya mengharamkannya secara mutlak bergeser menetap­kan hukumnya makruh (1960), kemudian ditegaskan kembali tetap makruh, dengan penambahan catatan jika darurat hukum­nya mubah (1989). Majlis Tarjih dan Dewan Hisbah menentukan hukumnya tergantung pada causa (‘illat) dan tujuannya. Adapun hukum penggu­naan alat kontrasepsi, khusus­nya IUD, hukum asalnya sama dengan di atas. MUI tetap dengan pendiriannya membolehkannya. Bahtsul Masail mene­tapkan hukumnya tergan­tung dari segi sudut pandangnya, dilihat dari segi kerja alat, tam­pak membolehkannya, namun jika dilihat dari segi pemasangan­nya, mengharamkannya karena dilakukan secara tidak muhta­rom, karena mengharuskan melihat aurat berat wanita yang bukan isterinya, termasuk jika dipasang oleh wanita. Majlis Tarjih tidak memastikan hukumnya, hanya sebatas menyarankan agar dilakukan oleh orang yang sejenis. Dewan Hisbah tidak menye­butkan lebih lanjut tentang hukum penggunaan IUD. Satu lagi fatwa tunggal dari Bahtsul Masail tentang bolehnya menggu­nakan vaksin yang berasal dari sperma, karena telah terjadi peru­bahan karakter. Adapun tentang sterilisasi, MUI, MPKS, Majlis Tarjih, dan Bahtsul Masail mengharamkan secara mutlak, dengan alasan termasuk tindakan merobah ciptaan Allah. Meski ada wa­cana dapatnya direhabilitasi, MUI tetap mengha­ramkan­nya kare­na tingkat keberhasilan pemulihannya kembali sangat kecil.

4. Aborsi
Seluruh lembaga fatwa di Indonesia, Bahtsul Masail, Majlis Tarjih, MUI, dan Dewan Hisbah sepakat mengharamkan aborsi sejak terjadinya pembuahan, kecuali darurat, ada alasan medis. Demikian pula mereka sepakat tentang batas haramnya aborsi adalah sejak terjadinya konsepsi. MUI merupakan lembaga fatwa yang beberapa kali merevisi fatwanya. Awalnya termasuk yang mengharamkannya secara mutlak, dalam perkembangan berikut­nya lebih merinci hukum pengecualian, jika karena adanya uzur syar’i, baik darurat maupun hajat, seperti akibat perkosaan atau demi menyelamatkan jiwa ibu, atau karena menderita penyakit berat yang dapat mengancama jiwa si ibu, mereka memboleh­kannya dengan batasan dan syarat tertentu, seperti sebelum usia kandungan 40 hari, diromendasikan oleh keluarga, dokter dan ulama, pelaksanaannya dilakukan di rumah sakit tertentu (MUI, 2005). Fatwa MUI terakhir mengundang reaksi dari Dewan Hisbah yang kemudian menetapkan bahwa aborsi bagi korban perkosaan hukumnya haram.

5. Transplantasi Organ
Pada prinsipnya seluruh lembaga fatwa di Indonesia mengha­ramkan transplantasi organ manusia. Majlis Tarjih, MPKS, MUI, dan Dewan Hisbah menambahkan kecuali darurat, juga termasuk untuk kepen­tingan ilmu pengetahuan dan pendidikan kedok­teran. Fatwa Bahtsul Masail mengalami pergeseran, awalnya mereka mengharam­kannya secara mutlak namun kemudian dire­visi yang selanjutnya difatwakan dengan dua pandangan, haram secara mutlak dan jaiz karena darurat. Dewan Hisbah dan Bahtsul Masail mempersyaratkan menggunakan organ muslim. Bedanya, Dewan Hisbah sebatas menyarankan sedangkan Bah­tsul Masail mengharuskannya. MPKS, Bahtsul Masail, dan Dewan Hisbah secara khusus telah mengeluarkan fatwa yang mengha­ramkan transplantasi menggunakan organ babi, kecuali tidak ada pilihan lain. Namun jika ada bahan pengganti, maka penggunaan gigi babi, Bahtsul Masail mengharamkannya secara mutlak.

6. Bank ASI
Fatwa yang berhubungan dengan praktek bank ASI hanya dikeluarkan oleh dua lembaga fatwa, MPKS dan Bahtsul Masail. Fokus pembahasan dalam fatwa ini bukan terletak pada boleh dan tidaknya dilakukan bank ASI tetapi kepada dampaknya jika hal tersebut terjadi. Pada prinsipnya mereka sepakat mengha­lal­kan adanya Bank ASI dan memberikannya kepada yang memer­lukan, namun mereka berbeda pandangan dari segi keberpe­ngaruhannya pada hubungan kemahraman yang terkait dengan masalah hadats dan pernikahan. Bahtsul Masail menyatakan berdampak pada kemahraman sebagai anak susuan jika terpe­nuhi unsur-unsurnya, sedangkan MPKS menyatakan tidak bera­kibat menjadikan hubungan kemahraman. Perbedaan pandangan tersebut terjadi karena perbedaan memaknai susuan dan perbedaan pendapat madzhab yang dianut pada saat menentukan batasan tentang susuan.

7. Operasi Ganti Kelamin
Hanya ada tiga lembaga fatwa di Indonesia yang sudah menge­luarkan fatwa khusus tentang hukum operasi ganti kelamin, yaitu Bahtsul Masail, MUI, dan Dewan Hisbah. Mereka sepakat meng­haramkan operasi ganti kelamin dan membolehkan operasi mem­pertegas, memperbaiki, atau menyempurnakan jenis kelamin. Dalam upaya memastikan kesejatian jenis kelamin pra-operasi, atau yang belum jelas kesejatian kelaminnya, Bahtsul Masail menyarankan dibentuk tim ahli dari pihak-pihak terkait. Hasil keputusan tim itulah yang dijadikan acuan tentang boleh dan tidaknya dilakukan operasi. Jika operasi ganti kelamin terjadi, kesejatian kelamin yang bersangkutan berstatus sebagai saat sebelum dioperasi. Jika operasi perbaikan kelamin maka dia ditetapkan berjenis kelamin sebagaimana arah yang dikehendaki dari operasi tersebut. Keharaman operasi ganti kelamin karena termasuk merubah ciptaan Allah, dan dari qiyas aulawi dengan larangan menyerupakan dengan lain jenis.

8. Alkohol sebagai Campuran Obat
Baru tiga lembaga fatwa di Indonesia yang secara khusus menge­luarkan fatwa yang berhubungan dengan penggunaan alkohol sebagai campuran obat. Bahtsul Masail mengharamkan dan manajiskannya, tetapi jika untuk maksud pengobatan atau untuk menambah kualitas obat atau produk tertentu cenderung mem­bo­lehkannya. MUI dan Dewan Hisbah mengharamkannya secara mutlak, sedikit atau banyaknya, tetapi jika termasuk jenis obat topikal, MUI membolehkannya. Penganalogian haramnya alkohol dengan khamar berdasarkan pada nash, di samping karena sifat memabukkan juga karena zatnya.

9. Euthanasia dan HIV/AIDS
Sebagai bagian dari isu keedokteran yang penting, dalam produk fatwa lembaga fatwa MUI dan Bahtsul Masail fatwa tentang hu­kum euthanasia merupakan bagian dari fatwa tentang AIDS/HIV. Namun dalam penerapannya dapat terpisah. Bahtsul Masail dan MUI sepakat mengharamkan euthanasia bagi penderita HIV/AIDS. Logika yang dimaksud oleh kedua lembaga tersebut, jika untuk penderita HIV/AIDS yang jelas saat kematian dan kepedihan penderitaan yang dialaminya saja haram apalagi karena alasan lain. Dewan Hisbah termasuk yang mengha­ram­kannya secara mutlak. Dewan Hisbah, MUI, dan Bahtsul Masail sepakat bahwa jenazah penderita HIV/AIDS harus tetap diurus sebagaimana mestinya, dilaksanakan oleh orang yang ahli. Bahtsul Masail secara khusus mengulas tentang hukum pernikah­an bagi penderita HIV/AIDS, menurut mereka pernikahan bagi penderita HIV/AIDS adalah sah namun makruh.

Ciri Fatwa Kedokteran
Di samping soal teknis metodologi, terbukti pula bahwa Ulama Indonesia dalam merumuskan dan menetapkan fatwa terikat oleh beberapa faktor. Pada umumnya setiap fatwa atas satu isu terikat oleh beberapa faktor atau ciri, seperti dapat dilihat di bawah ini:

1. Berkaitan dengan menjaga sebagian dari lima kemaslahatan (al-Dlarūriyyāt al-Khams) manusia, yaitu menjaga agama, ketu­runan atau kehormatan, jiwa, akal, dan harta. Fatwa tentang bolehnya bedah mayat untuk pendidikan dan pengadilan didasari pertimbangan kemaslahatan untuk kemajuan bidang ilmu kedok­teran yang sangat diperlukan dalam kehidupan, termasuk bagian dari menjaga kehidupan. Fatwa tentang inseminasi buatan dan bayi tabung untuk menjaga keturunan dan kehormatan. Steri­lisasi, aborsi, dan menikah bagi penderita HIV/AIDS berlawanan dengan prinsip tersebut. Pembolehan dan penolakan KB juga terkait dengan pemeliharaan keturunan. Larangan mengkon­sum­si alkohol, khamar, atau zat adiktif lainnya dalam rangka memeli­hara akal. Larangan melakukan euthanasia dan membuang zigot sisa bayi tabung untuk menjaga jiwa.
2. Berkaitan dengan mencintai, memelihara, mempertahankan, menghormati kehidupan insani. Fatwa yang mengharamkan transplantasi organ, bedah mayat, suntik mayat berkaitan dengan penghormatan atas jasad insani, meski sudah meninggal. Fatwa tentang haramnya euthanasia dan aborsi menunjukkan adanya tindakan, memelihara, mempertahankan, dan menghormati kehidupan insani.
3. Berkaitan dengan lebih mementingkan kebutuhan orang hidup daripada kehormatan orang mati. Fatwa tentang bolehnya donor organ, transplantasi organ manusia, bedah mayat untuk pendi­dikan dan pengadilan, dan otopsi terkait dengan faktor ini.
4. Berkaitan dengan syukur nikmat dan menerima kodrat. Fatwa tentang keharaman operasi ganti kelamin dan sterilisasi karena menunjukkan tidak bersyukur atas karunia Ilahi dan menolak kodrat.
5. Berkaitan dengan pemeliharaan nasab. Fatwa tentang haramnya inseminasi buatan dan bayi tabung donor, kloning reproduksi, ibu tumpang atau sewa rahim karena akan merancukan nasab.
6. Berkaitan dengan etika kepatutan dan menutup aurat. Fatwa tentang haramnya pemasangan IUD, penanaman zigot dalam proses bayi tabung dan kloning terkait dengan batasan ini.
7. Berkaitan dengan peningkatan produktivitas ekonomi. Isu tentang bolehnya kloning hewan dan tumbuhan terkait dengan tujuan ini.

Perubahan dan Revisi Fatwa Kedokteran di Indonesia
Meski dengan metode penetapan hukum yang berbeda, banyak fatwa yang dikeluarkan ulama Indonesia sama, terjadi kesepakatan pendapat, meski ada pula yang kontradiktif. Di sisi lain, terlihat pula adanya pembaharuan hukum, terjadi pergeseran fatwa. Ada pula isu tertentu ditetapkan oleh satu lembaga dengan dua pendapat krontradiktif.
Seiring dengan kemajuan IPTEK, dalam bidang hukum Islam di Indonesia terlihat mengalami perkembangan dan perubahan, terjadi pergeseran fatwa. Hal ini mengindikasikan bahwa pemaham­an ulama Indonesia tentang berbagai isu kedokteran mengalami kemajuan. Dalam kasus hukum KB, Bahtsul Masail sebelumnya meng­haramkannya, dalam perkembangannya kemudian dimakruh­kan, terakhir dimakruhkan namun jika darurat hukumnya mubah. Hukum tentang transplantasi organ awalnya dinyatakan haram secara mutlak, berubah menjadi dua ketetapan, diharamkan dan dibolehkan, boleh jika dalam keadaan darurat. Fatwa MUI tentang aborsi, awalnya mengharamkannya secara mutlak, kemudian meng­ha­lalkannya dalam keadaan tertentu. Demikian pula menyang­kut ba­tas keharaman aborsi, awalnya ditetapkan sejak terjadi pembu­ahan, kemudian sejak terjadinya pembuahan, dan (dalam keadaan khusus) sebelum usia 40 hari.

KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa para ulama Indo­nesia cukup responsif terhadap perkembangan Ilmu pengeta­hu­an dan teknologi dalam dunia kedokteran, terbukti setiap ada temuan baru, bahkan meski masih dalam tataran wacana namun mereka sudah menetapkan hukumnya. Upaya tersebut sekaligus membuk­ti­kan bahwa para ulama merasa mempunyai tanggungjawab moral atas arah dari setiap perkembangan ilmu kedokteran agar tidak menyim­pang dari syariah, sesuai dengan misi dan tujuannya yang sejalan dengan tujuan syariat Islam yakni menciptakan kemaslahatan bagi manusia.

KEPUSTAKAAN
Alkaf Halid, 2003, Kloning dan Bayi Tabung, PBB UIN Jakarta, Jakarta.
Amien S 2002, Kumpulan Keputusan Dewan Hisbah Persatuan Islam, Persis, Bandung.
Asymuni AA. 2002, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Metodologi dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Djamil F 1995, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Logos, Jakarta.
Ka'bah R 1999, Hukum Islam di Indonesia, Perspektif Muhammadiyah dan NU, Universitas YARSI Jakarta, Jakarta.
Khin MS 1984, Dirāsat Tārīkhiyyat li al-Fiqh wa Ushūlih, al-Syirkat al-Muttahidat li al-Tauzī’, Suriyah. Hal. 98-101.
Masyhuri AA 1997, Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama, Dinamika Press, Surabaya
Masyhuri AA 2004, Masalah Keagamaan, Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama Kesatu/1926 s/d Ketigapuluh/2000, j. I dan II, Qultum Media, Depok.
MPKS. Kesehatan dan Syara, j.1 s.d. 22, MPKS. Depkes., Jakarta.
MUI 1997, Himpunan Keputusan dan Fatwa Majlis Ulama Indonesia, MUI, Jakarta.
Rahmān JA 1983, al-Mashālih al-Mursalat wa Makānatuhā fi al-Tasyri’, Dār al-Kitāb al-Jāmi'at, Mesir. Hal. 94, 117.
Rosyada D 1999, Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persis, Logos, Jakarta.
Umran, AA 1992, Famili Planning in the Legacy of Islam, Routledge, London and New York. Hal.74-75, 78-79
Zahrah, MA 1995, Ushul Fikih, Dār al-Fikr al-‘Arabi, Mesir.
Zuhroni, 2007, Respons Ulama Indonesia terhadap Isu-isu Kedokteran dan Kesehatan Modern, Disertasi Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

No comments: