Sunday, September 7, 2008

Membangun Fikih Bumi

Oleh Khaeron Sirin, MA - Dosen Fak. Syariah Institut PTIQ Jakarta
Dari “Deklarasi Bumi” di Rio de Janeiro (1992) hingga paling kini Kon­ven­si lingkungan yang digelar di Bali (2007) yang kemu­dian menghasilkan Bali Roadmap, belum cukup memberi solusi terhadap kerusakan yang terjadi di bumi. Berbagai kerusakan di bumi tidak berkurang, malah terus bertambah, bahkan semakin dirasakan kian memburuk yang mengancam peradaban manusia. Tulisan ini mencoba menawarkan solusi alternatif bernama Fiqh Bumi. Apa itu fiqh bumi? Merancang fikih bumi adalah salah satu upaya praktis menyelamatkan bumi dari eksploitasi semena-mena dan kerusakan, termasuk global warming. Fikih bumi akan menga­takan dengan tegas bahwa orang yang merusak tatanan ekosistem dapat dikatakan meme­rangi Allah dan Rasul-Nya (QS. Al-Maidah: 33), dan pelaku­nya bisa disebut kafir dan harus dihukum. Namun hal itu, selain keterlibatan Negara dalam aplika­sinya, terlebih dahulu perlu penjabaran lebih konkret pemahaman tentang bumi yang kurang banyak ditemukan dalam kitab-kitab fikih klasik. Persoalan-perso­alan bumi harus dijadikan bagian tak terpi­sahkan dalam pembahasan fikih modern yang ramah lingkungan, sekaligus menjadi living tradition dalam masyarakat sebagai bentuk pema­haman dan watak demokratis Islam.


SERUAN untuk menyelamatkan bumi sudah lama dicanang­kan, yaitu sejak KTT Bumi di Rio de Janeiro, Juni 1992. Tercatat tidak kurang dari 154 kepala negara menyetujui hasil-hasil pertemuan itu, yang disebut sebagai “Deklarasi Bumi”. Sejak pertemuan itu, segala bentuk traktat dan perjanjian antara bangsa telah diikat dengan konvensi. Banyak konvensi lingkungan yang telah ditandatangani oleh banyak negara untuk menjaga dan meles­ta­rikan bumi dari segala kerusakan, misalnya Konvensi Bassel, Konvensi CITES, Konvensi CBD (The Convention on Biological Diversity), dan Kon­ven­si UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change) yang baru saja digelar pada 3-13 Desember 2007 di Bali yang kemudian menghasilkan Bali Roadmap.

Hanya saja, pertemuan-pertemuan tersebut terkesan bermuat­an poli­tis. Bahkan, konvensi-konvensi yang dihasilkan—yang dito­pang dengan kemajuan sains, teknologi dan penegakan hukum—belum cukup memberi solusi terhadap kerusakan yang terjadi di bumi. Berbagai kerusakan di bumi tidak berkurang, malah terus bertambah, bahkan semakin dirasakan kian memburuk dalam satu dekade terakhir. Pemanasan global, kepunahan zat bumi, kekeringan yang panjang, kelangkaan air bersih, pencemaran ling­kung­an dan polusi udara, serta kemiskinan, adalah sederet masalah yang telah mengglobal, karena meliputi hampir seluruh bagian bumi. Tak satu pun bangsa dan negara di dunia yang luput dari masalah-masalah tersebut yang pada akhirnya mengancam peradaban manusia.

Kini, timbul kesadaran baru untuk ‘menggandeng’ agama yang diha­rapkan berperan besar dalam menanggulangi krisis bumi. Peran dan inisiatif agama dirasa penting untuk mengurangi kerusakan tersebut dengan cara-cara yang lembut dan bijak. Di sinilah isu keagamaan menjadi entry point bagi isu penyelamatan bumi. Agama dianggap sebagai salah satu ranah yang pada saat-saat tertentu—ketika jalur sains, teknologi atau jalur-jalur lainnya terhambat—mampu menjadi kendali bagi hasrat manusia untuk melakukan mengeksploitasi bumi (alam).

A. Urgensi Fikih Bumi
Ketika krisis bumi yang kian memburuk tidak mampu diatasi dengan seperangkat teknologi, sains dan hukum (undang-undang) sekuler, masya­rakat dunia membutuhkan peran agama guna menum­buhkan kesadaran otentik dalam diri manusia, yaitu nilai-nilai agama. Nilai-nilai ini dipercaya memiliki kemampuan tinggi dalam memengaruhi sikap dan prilaku peme­luk­nya dalam kehidupan. Artinya, pemahaman agama saat ini tidak lagi berku­tat pada masalah-masalah spiritual dan eskatologis, tetapi juga harus beranjak ke aspek-aspek nyata masyarakat pemeluknya. Dengan nilai-nilai agama, manusia akan memiliki kecakapan mengatasi dan ketajaman membaca tanda-tanda zaman berikut kemampuan menciptakan seperangkat nilai untuk melestarikannya lewat hukum dan sejumlah peraturan.

Dalam hal ini, al-Qur’an telah memberikan informasi spiritual kepada manusia untuk bersikap ramah terhadap bumi, sebab bumi adalah tempat kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya (QS. Al-Rahman: 10). Informasi tersebut memberikan sinya­lamen bahwa manusia harus selalu menjaga dan melestarikan bumi dan lingkungan agar tidak menjadi rusak, tercemar bahkan menjadi punah, karena hal itu adalah amanah Allah SWT yang diberikan kepada manusia. Dengan kata lain, Islam telah memberikan spirit profetik dan cita-cita etik kepada manusia sebuah sistem atau tatanan kehidupan yang demokratis dalam segala hal, termasuk demokratis terhadap bumi (alam).

Karenanya, untuk menghambat percepatan krisis bumi, upaya reka­yasa fikih bumi harus segera dan terus dilakukan. Perlu pengembangan dan penjabaran lebih konkret pemahaman yang berkaitan dengan bumi, di mana hal ini kurang banyak ditemukan dalam kitab-kitab fikih klasik. Persoalan-persoalan bumi (ekologi) harus dijadikan bagian tak terpisahkan dalam pembahasan fikih modern yang ramah lingkungan, sekaligus menjadi living tradition—meminjam istilah Sayed Hosen Nasr—dalam masyarakat sebagai bentuk pemahaman dan watak demokratis Islam.

Selain itu, upaya menegakkan prilaku demokratis terhadap bumi dan alam mesti dipedomani sebagai bagian dari tujuan tujuan disyariatkannya Islam. Imam Yusuf Qaradhawi misalnya, dalam kitabnya Ri’ayat al-Bi’ah fi Syariat al-Islam, memasukkan pemeli­haraan lingkungan (hifdz al-‘alam) ke dalam bagian maqashid al-syari’ah (tujuan syariat). Dalam hal ini, ada dua hal yang harus kita lakukan dalam menggali dasar-dasar fikih bumi. Pertama, menjelaskan hikmah perennial Islam tentang tatanan dan struktur bumi dan alam dan kaitan eratnya dengan setiap fase kehidupan manusia. Kedua, menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran bumi yang berperspektif teologis atau membangun teologi yang berbasis kesadaran dan kearifan bumi.

Dengan demikian, tujuan diproyeksikannya maqashid al-syari’ah adalah untuk menjaga kekayaan bumi, menjaga sumber-sumbernya, me­num­buhkembangkan hasil dan produk-produknya, menyadarkan akibat dari pengrusakan kawasan bumi, serta pola pemerataannya pada seluruh lapisan umat manusia. Setiap tindakan yang menafikan tujuan-tujuan tersebut sama halnya menghilangkan tujuan-tujuan syariat Islam dan menodai prinsip-prinsip kepentingan yang terkandung di dalamnya.

Jadi, persoalan bumi dalam kehidupan kita lebih dari sekadar perso­al­an hukum dan perundang-undangan semata, tetapi lebih merupakan persoalan etika dan moralitas dalam kehidupan kita. Kesadaran akan hak milik Allah SWT atas segala sesuatu yang harus dijaga untuk kemanfaatan seluruh umat manusia, akan menumbuhkan rasa dan motivasi yang kuat pada diri kita untuk berbuat baik pada seluruh makhluk hidup di bumi ini.

B. Fikih Bumi sebagai Konsep Praktis
Dalam perspektif hukum Islam (baca: fikih), pelestarian bumi dan tanggung jawab manusia terhadap alam sebenarnya sudah lama dibicarakan. Hanya saja, dalam berbagai literatur tafsir dan fikih, isu-isu tersebut dikupas secara generik dan terpisah-pisah, belum spesifik dan utuh. Ini bisa dimengerti karena konteks perkembangan struktur dan budaya masyarakat waktu itu belum menghadapi krisis lingkungan sebagaimana terjadi sekarang ini. Karenanya, penguatan peran hukum Islam dalam konteks persoalan-modern, semisal nasib bumi ke depan, menjadi hal yang niscaya, bahkan ia menjadi mata rantai dari sejarah perkembangan hukum Islam yang menyertai peradaban manusia. Upaya merumuskan fikih bumi menjadi kian penting di tengah krisis ekologis secara sistematis yang diakibatkan oleh keserakahan, kecerobohan dan kesombongan manusia.

Artinya, upaya mengembangkan fikih bumi tersebut dan merumus­kannya ke dalam kerangka-kerangka yang lebih sistematik dan praktis perlu segera digarap. Muatan-muatan fikih klasik yang membahas tema-tema lingkungan secara terpisah dan abstrak perlu diberi bobot ekologis. Misalnya saja, bahasan-bahasan dalam kitab fikih klasik, semisal bab taharah (bersuci), shaid (berburu), ihya' al-mawat (memanfaatkan tanah mati), al-'at`imah (hukum tentang makanan), syaribah (hukum tentang minuman), dan lain sebagainya.

Dari sini, fikih bumi bisa menjadi pintu masuk ke arah penguatan kapasitas perannya itu. Bukan saja untuk memproteksi bumi, fikih bumi juga berperan untuk menopang gerakan global dalam masalah pelestarian alam yang berkelanjutan. Dalam konteks inilah, fikih bumi bisa menjadi garda depan bagi penguatan kapasitas hukum Islam dalam kehidupan modern.

Dalam hal ini, ada beberapa nilai yang mesti pedomani sebagai landasan praktis dalam merumuskan dan mengembangkan fikih bumi, di antaranya:

1. Penciptaan alam raya termasuk lingkungan kosmos manusia (tanah, air dan udara) telah ditentukan qadar­-nya (ukuran atau ketentuannya) yang harus senantiasa dijaga dan dilestarikan. Maka, siapa yang merusaknya berarti telah merusak qadar Allah. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Hijr ayat:19-20: “Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan pada­nya segala sesuatu menurut ukuran. Dan kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rizki kepadanya.”

2. Segala tindakan yang merusak keseimbangan dan kelestarian bumi dan alam pada dasarnya merupakan pelanggaran agama dan berdosa. Dalam surat al-A’raf: 56, Allah SWT berfirman:. “Janganlah membuat keru­sakan di muka bumi (dunia) sesudah direformasi, berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut dan rindu; rahmat Allah selalu dekat kepada orang yang berbuat baik.” Ungkapan “janganlah berbuat kerusakan di muka bumi sesudah direformasi”(wa lâ tufsidû fii al-ardl ba’da ishlâhihâ)–dalam surat al-A’raf ayat 56 diatas – mengandung makna ganda. Pertama, larangan merusak bumi setelah perbaikan (ishlah), yaitu saat bumi ini diciptakan Allah SWT. Makna ini menun­jukkan tugas manusia untuk melindungi bumi itu yang sudah merupa­kan tempat yang baik bagi hidup manusia. Jadi, larangan merusak bumi berkaitan dengan usaha pelestarian lingkungan hidup yang sehat dan alami. Kedua, larangan membuat kerusakan di bumi setelah terjadi perbaikan oleh sesama manusia. Hal ini bersangkutan dengan tugas reformasi aktif manusia untuk berusaha menciptakan sesuatu yang baru, yang baik (shalih) dan membawa kebaikan (mashlahah) untuk manusia.

3. Penguasa (negara) punya kewajiban menjaga dan melindungi hak-hak warganya dan aset-aset alam yang dimiliknya, melalui serangkaian kebijakan berorientasi pada kepentingan bersama (tasharrufu al-imâm ‘alâ al-ra‘iyyah manûthun bi al-mashlahah).

4. Setiap tindakan yang merugikan kepentingan masyarakat banyak dan negara merupakan pelanggaran hukum dan pelakunya harus dikenakan sanksi hukum dunia (penjara).

C. Rumusan Fikih Bumi

Agama sebagaimana dikemukakan oleh Mary Evelyn Tucker (2003) mempunyai lima resep dasar untuk menyelamatkan bumi: (1) Reference atau keyakinan yang dapat diperoleh dari teks (kitab-kitab suci) dan kepercayaan yang mereka miliki masing-masing; (2) Respect, penghargaan kepada semua makhluk hidup yang diajarkan oleh agama sebagai makhluk Tuhan; (3) Restrain, kemampuan untuk mengelola dan mengontrol sesuatu supaya penggunaanya tidak mubazir; (4) Redistribution, kemampuan untuk menye­barkan kekayaan; kegembiraan dan kebersamaan melalui langkah derma­wan; misalnya zakat, infak dalam Islam; (5) Responsibility, sikap bertang­gung jawab dalam merawat kondisi bumi dan lingkungan. Dalam hal ini, kepedulian terhadap bumi amat tergantung pada bagaimana aspek-aspek ajaran agama disajikan dan dieksplorasi dengan bahasa serta idiom-idiom modern dan ekologis.

Ketika agama dituntut untuk memecahkan krisis bumi, upaya reka­yasa fikih yang aplikatif dalam pemahaman agama harus terus dilakukan. Merancang fikih bumi adalah salah satu upaya praktis menyelamatkan bumi dari eksploitasi semena-mena dan kerusakan, termasuk global warming. Fikih bumi akan mengatakan dengan tegas bahwa orang yang mengabaikan, menyia-nyiakan dan merusak tatanan ekosistem di muka bumi dapat dikatakan sebagai orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya (QS. Al-Maidah:33). Hal ini meng­ingat tindakan perngrusakan bumi (alam) dikategorikan “memerangi Allah dan Rasul-Nya”, dan pelakunya bisa disebut kafir dan harus dihukum.

1. Nilai Teologis Fikih Bumi

Dalam pandangan KH. Ali Yafie, setidaknya ada dua ajaran dasar yang merupakan dua kutub di mana manusia hidup di muka bumi. Pertama, rabb al-'alamin. Al-Quran menegaskan bahwa Allah SWT itu adalah Tuhan semesta alam, bukan Tuhan manusia atau sekelompok manusia. Jadi, Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan semua alam. Manusia dan alam adalah sama di hadapan Tuhan. Kedua, rahmatan li al-'alamin, artinya manusia diberikan sebagai amanat untuk mewujudkan segala perilakunya dalam rangka kasih sayang terhadap seluruh penghuni bumi. Suri teladan seperti ini secara nyata terekam dalam ritual-ritual agama. Dalam pelaksanaan ibadah haji misalnya, seseorang yang berihram dilarang untuk mencabut (mematikan) pohon dan tidak boleh membunuh binatang.

Dengan kata lain, Islam mengajarkan manusia untuk menum­buhkan rasa cinta dan hormat terhadap alam sekitar, baik makhluk hidup ataupun benda mati, layaknya manusia (QS. Al-An’am:38). Begitu juga seluruh alam yang berupa benda mati, harus dilihat sebagai makhluk Tuhan yang sebenarnya dalam keadaan bersujud kepada Allah SWT (QS. Al-Hajj: 18, al-Isra’: 44). Muhammad Saw sendiri telah mengajarkan kita tentang rasa sayang dan cinta terhadap semua makhluk lewat sebuah ungkapan yang sangat indah, saat kembali dari Perang Tabuk menuju Madinah. Seraya menunjuk gunung Uhud, beliau berkata, “Ini adalah Thabah dan ini adalah Uhud, gunung yang mencintai kita dan kita men­cintainya” (HR. Muttafaq alaih).

Rasulullah Saw juga pernah menegur sahabatnya yang dalam pada saat perjalanan mereka menangkap anak burung yang berada di sarangnya. Merasa kehilangan anak, induk burung itu pun meng­iringi—terbang di atas rombongan–Rasullullah Saw. Ketika menyak­sikan hal itu, beliau bersabda: “Siapakah yang menyusahkan burung itu dan mengambil anaknya? Cepat kembalikan anak burung itu ke induknya.” (HR. Abu Daud). Dalam riwayat lain juga disebutkan, Rasulullah Saw pernah dengan lantang menyatakan, “Barang siapa menanam pohon hingga berbuah, maka baginya serupa sedekah sampai hari kiamat.”

Hadis-hadis tersebut menunjukkan adanya sketsa hubungan yang mencerminkan ketulusan yang mendalam tentang kasih dan cinta terhadap lingkungan (alam). Bahkan, hadis yang terakhir disebut menunjukkan spirit mendorong pribadi setiap muslim untuk tidak pernah berhenti melakukan penghutanan (tasyjir) dan reboisasi (takhdir).

Ini menunjukkan bahwa manusia secara ekologis merupakan bagian dari bumi (alam). Bumi inilah yang menyediakan berbagai sumber daya alam yang menjadi daya dukung bagi kehidupan manusia dan komponen lainnya. Kelangsungan hidup manusia tergantung dari keutuhan bumi dan isinya. Sebaliknya, keutuhan lingkungan tergantung bagaimana kearifan manusia dalam menge­lolanya. Karenanya, bumi tidak semata‑mata dipandang sebagai penyedia sumber daya alam serta sebagai daya dukung kehidupan yang harus dieksploitasi, tetapi juga sebagai tempat hidup yang mensyaratkan adanya keserasian dan keseimbangan antara manusia dengan bumi dan lingkungannya.

Dengan demikian, terutusnya manusia sebagai wakil Tuhan di bumi bukanlah memberi kebebasan mutlak baginya untuk berbuat sewenang-wenang dan melihat bumi lebih inferior darinya. Sebaliknya, sebagai wakil Tuhan, manusia ditugaskan memperla­kukan alam dengan penuh kasih sayang. Dengan kasih sayang inilah, manusia dan bumi bisa bersanding secara harmonis. Apalagi manusia terbuat dari tanah, dan tanah itu sendiri berasal dari bumi, sehingga antara manusia dan bumi memiliki ketergantungan satu sama lain. Allah SWT berfirman: Q.S. Al-Ra’du:04, Al-Naba’: 30-33). Manusia, bumi, dan makhluk ciptaan lainnya di alam semesta adalah sebuah ekosistem yang kesinambungannya amat bergantung pada moralitas manusia sebagai khalifah di bumi (QS. Al-Baqarah: 30, Al-Jatsiyah:13).

Meski ayat-ayat tersebut lebih bersifat antroposentris (manusia sebagai penguasa bumi), namun ada perintah untuk mengelolanya dengan segenap pertanggungjawaban. Konsep khalifah—sebagaima­na disebut dalam surat al-Baqarah ayat 30—bermakna responsibility. Makna sebagai wakil Tuhan di muka bumi hanya akan berlaku jika manusia mampu melestarikan bumi, sehingga seluruh peribadatan dan amal sosialnya dapat dengan tenang ditunaikan. Dalam konteks ini, melindungi dan merawat bumi, menurut Fakhruddin al-Razi (w. 1209) dalam tafsir Mafatih al-Ghaib, merupakan suatu kewajiban setiap muslim dan menjadi tujuan universal syariat Islam. Bahkan, menurut Mustafa Abu Sway (1998), menjaga lingkungan (bumi) merupakan tujuan tertinggi syariah. Gagasan Mustafa Abu Sway tersebut, Fakhruddin al-Razi, dan Yusuf Qardhawi tentunya harus dijadikan suatu terobosan ijtihad tentang pelestarian bumi dan lingkungan dalam ajaran Islam.

Semua itu menunjukkan betapa Allah SWT menciptakan segala sesuatu dalam keseimbangan dan keserasian. Semuanya serba terkait. Jika terjadi gangguan yang luar biasa terhadap salah satunya, maka akan terganggu pula makhluk lainnya. Karenanya, keseim­bangan dan keserasian tersebut harus dipelihara, agar tidak terjadi kerusakan. Menjadi tugas manusia sebagai khalifah di bumi ini untuk memelihara dan menjaga keseimbangan dan keserasian tersebut (QS. al-Baqarah:30). Dalam hal ini, hubungan manusia dengan bumi bukanlah hubungan antara penakluk dengan yang ditaklukkan, antara tuan dengan hamba, ataupun antara subyek dengan obyek, melainkan hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT. Manusia tidak bisa hidup tanpa bumi, dan sebaliknya, bumi sangat membutuhkan manusia.

Karena itulah, konsep kekhalifahan di bumi menuntut adanya inter­aksi yang harmonis antara manusia dengan sesamanya, sekali­gus dengan alam. Islam tidak mengajarkan manusia untuk menja­dikan bumi (alam) sebagai alat mencapai tujuan konsumtif, tetapi menjadikan bumi sebagai mitra hidup yang bisa meningkatkan kualitas pengabdian kita kepada Allah SWT. Semakin baik hubungan atau interaksi manusia dengan bumi, akan semakin banyak manfaat yang bisa diperoleh manusia dari bumi itu. Inilah prinsip etik yang merupakan landasan interaksi dan keharmonisan antara manusia dengan bumi. Dalam artian, setiap pengrusakan terhadap lingkung­an (bumi) harus dinilai sebagai pengrusakan terhadap diri manusia itu sendiri.

Inilah yang dimaksud dengan kesadaran teologis atas bumi, suatu kesadaran yang memiliki jangkauan masa depan dan lintas duniawi. Ibarat kalimat, bumi bukanlah warisan nenek moyang, tetapi titipan anak cucu kita yang harus dipelihara dan dijaga. Kesadaran ini bisa muncul tatkala manusia mampu memahami secara makrokosmik bumi dan kehidupan, tidak hanya saat ini atau masa datang, tapi juga masa setelah kehidupan ini.

2. Penegakan Hukum Negara

Keberadaan negara (al-daulah) dalam mengembangkan fikih bumi jelas sangat penting, terutama dalam menegakkan kebijakan dan hukum yang berorientasi pada perlindungan bumi dan alam. Kebijakan dan sosialisasi tentang bahaya akibat pengrusakan bumi dan alam—semisal pemanasan global dan bagaimana sebaiknya bertindak untuk meminimalkan efek pemanasan global tersebut—harus terus digiatkan. Selain itu, perlu dibangun kesadaran kritis publik dan pemerintah terhadap persoalan bumi, menciptakan proses perbaikan total atas pengelolaan alam, penegasan lahirnya kebijakan negara yang bertumpu pada kearifan merawat bumi dan isinya.

Dalam hal ini, kebijakan dan program-program pemerintah harus mengedepankan perlindungan bumi. Misalnya saja, terkait dengan upaya mengurangi pemanasan global, negara dan pemerintah mengeluarkan kebijakan progresif jeda tebang hutan dan perlin­dungan energi bumi, serta pengelolaan sumber-sumber air. Negara tidak boleh melepaskan tanggung­jawabnya dalam mengelola sumber daya untuk memenuhi hak-hak warga­nya. Sebab, bumi beserta isinya—semisal air, hutan dan sumber-sumber energi—merupakan hak publik yang tidak bisa diprivatisasi.

Negara harus bisa menjadi pengontrol—tidak sekadar regu­lator—atas setiap tahapan pengelolaan sumber-sumber energi bumi untuk memastikan terjaminnya keselamatan manusia dan bumi. Dengan fungsi ini, negara dapat menjamin dan memberikan perlin­dungan pada kelompok-kelompok masyarakat miskin dan rentan untuk mendapatkan akses terhadap sumber-sumber kekayaan bumi yang sehat. Sekaligus, mengantisipasi munculnya mumculnya upaya memonopoli atau privatisasi sumber-sumber kekayaan bumi oleh kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Hal ini bisa dilakukan jika pemerintah (negara) mampu membuat dan menegakkan kebijakan hukum yang berwawasan ramah lingkungan.

Untuk mendukung hal itu, diperlukan suatu perangkat hukum atau undang-undang yang benar-benar mengatur pengelolaan bumi dan alam secara lebih terpadu, yang bertumpu pada asas fungsi sosial, konservasi, kemanfaatan umum, keseimbangan, kelestarian, keadilan, sekaligus tidak didominasi oleh kepentingan kapitalisme dan liberalisme global. Pemerintah—sebagai pelaksana dan pembuat kebijakan—diharapkan bisa mengakomodasi berbagai kebutuhan dan persoalan, serta melegitimasi hak-hak rakyat. Sedangkan, masya­rakat, akademisi dan LSM diharapkan bisa berbagi peran dan bekerja sama dalam memelihara dan melindungi bumi.

REFERENSI:

Al-Qur’an al-Karim.
Al-Hadits.
A.Harahap, dkk., Islam dan Lingkungan Hidup. Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, 1997.
Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, Bandung : Mizan, 1994.
Firdaus Efendi (Ed.), Pesan Tuhan Kestarikan Hutan dan Sikap Mengh­adapi Bencana, Jakarta: Nuansa Madani, 2005.
http:/www.conservation.or.id/home.php?modul=news&catid=34&tcatid=239&page=g_news.detail
http://www.walhi.or.id/kampanye/energi/iklim/070605_pmnsnglobl_hrlingk2007_sp/
Kementerian Lingkungan Hidup, Himpunan Peraturan Perundang-undan­gan dibidang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pengendalian Dampak Lingkungan. Jakarta, 2002.
Khaeron Sirin, “Fikih Air yang Menjauhi Rakyat”, Republika, 02 Agustus 2005
---------, “Fiq al-Ma’: Hak Rakyat Atas Air”, Buletin Al-Nadhar, P3M, Juni 2005
---------, “Memaknai Bencana”, Koran Tempo, 07 Pebruari 2007.
M. Abdillah, Fikih Lingkungan, Yogyakarta: UPP-AMP-YPKN, 2005.
M. Quraish Shibab, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2000.
---------, Membumikan al-Quran, Bandung: Mizan, Cet. Ke-2, 1992.
---------, Wawasan Al-Qu’an, Bandung: Mizan, 1996.
M.A Kahar, Almanak Lingkungan Hidup Indonesia 1995/1996, Jakarta: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1996.
Maksun, “Membangun Agama Ramah Lingkungan”, Sinar Harapan, 2007
Mary Evelyn Tucker dan John A. Grim, Agama, Filsafat dan Lingkungan Hidup (terj.), Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Mudhafir Abdullah, “Islam dan Konservasi Alam”, Republika, 02 Nopember 2007
Musthafa Ahmad al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Beirut: Darul Fikr, 1971, Cet. Ke-3.
Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta: LkiS, 1994.
Yusuf Qaradhawi, Ri’ayat al-Bi’ah fi Syari’at al-Islam, Dar al-Syuruq, 2001.

No comments: