Sunday, September 7, 2008

Tahfizh Al-Quran : Fungsi Dan Prospeknya

OLeh : H. Muntaha Azhari

Al-Qur’an yang diturunkan 15 abad yang lalu, telah memperoleh apresiasi yang besar dari umat Islam. Sesuai dengan kedudukannya sebagai kitab suci, al-Qur’an begitu membudaya dalam kehidupan umat Islam. Setiap muslim selalu membacanya dalam setiap shalat, begitu juga bacaan al-Qur’an menjadi bagian dari tradisi dan budaya keagamaan, seperti untuk membuka suatu upacara, berbagai perantara permohonan berkah serta menjadi materi lomba musabaqah di berbagai kesempatan. Semua aspek dari al-Qur’an telah dikaji dan dikembangkan, baik dari segi teks, bacaan, tulisan, i’jaz maupun kandungannya yang mencakup berbagai bidang keilmuan.


Salah satu bentuk apresiasi bahwa al-Qur’an dari generasi ke generasi selalu dihafal dan terjaga dalam dada para penghafal (huffazh) al-Qur’an. Memang al-Qur’an yang berbahasa Arab dan setebal 30 juz (600 halaman) itu dimudahkan untuk dihafal (al-Hijr : 9; al-Qamar : 17) bukan hanya oleh bangsa Arab tetapi juga oleh bangsa non-Arab (‘ajam) seperti Indonesia. Meski secara sepintas, tradisi dan praktek hafalan al-Qur’an oleh bangsa Arab dan bangsa Indonesia nampak sama, tetapi sebenarnya ada berberapa perbedaan yang berpangkal dan berdampak pada fungsi hafalan al-Qur’an serta para huffazh. Persoalan inilah yang hendak diungkap dalam kesempatan ini untuk didiskusikan dan kemudian dicari alternatif-alternatif untuk pengembangan hafalan al-Qur’an ke depan.

Sejarah Tahfizh al-Qur’an

Tak bisa disangkal bahwa Nabi Muhammad SAW menerima wahyu al-Qur’an dari Jibril dengan cara hafalan, karena beliau adalah seorang ummy (al-‘Ankabut : 48). Demikian pula beliau mengajarkan kepada para sahabat. Setiap kali turun ayat al-Qur’an para sahabat yang kebanyakan juga tidak bisa baca tulis dengan penuh semangat menghafal ayat-ayat al-Qur’an yang mereka terima dari Nabi, di samping ada beberapa sahabat yang diminta untuk menuliskannya. Pada masa Nabi berada di Makkah, mereka berkumpul di rumah al-Arqam ibn Abil-Arqam, yang oleh Abul-Mu’athy disebut sebagai Halqah ar-Ridhwan, atau di rumah-rumah para sahabat secara rahasia. Setelah Nabi berhijrah ke Madinah, halqah menghafal al-Qur’an terus berlanjut dan kini disebut Halqah ath-Thaybah. Masjid Nabi selalu begemuruh oleh suara para sahabat yang membaca dan menghafal ayat-ayat al-Qur’an. Selain itu, mereka juga mengajarkan al-Qur’an kepada isteri dan keluarganya di rumah serta mengulang-ulang bacaan al-Qur’an yang mereka peroleh siang dan malam.
Dari halqah yang oleh Dr. Shubhi ash-Shalih disebut sebagai Madrasah Nabawiyah itu lahir para sahabat yang dikenal sebagai huffazh al-Qur’an, antara lain : Abu Bakr ash-Shiddiq, Umar ibn al-Khatthab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Mas’ud, Salim ibn Ma’qal, Mu’adz ibn Jabal, Ubayy ibn Ka’b, Zaid inb Tsabit, Abu Zaid ibn Sakan, Abu Darda, Thalhah, Abu Hurairah, Abdullah ibn Saib, Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Umar, Ubadah ibn Shamit, Fadhalah ibn Ubaidillah, Maslamah ibn Makhlad, Aisyah, Hafshah, Ummu Salamah dan lain-lain. Di antara mereka, setelah Nabi wafat, ada tujuh sahabat yang membuka halqah di Madinah dan menjadi isnad bacaan al-Qur’an, yaitu : Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Ubayy ibn Ka’b, Zaid ibn Tsabit, Abdullah ibn Mas’ud, Abu Darda’ dan Abu Musa al-Anshary. Kepada mereka itulah para sahabat yang lain dan para tabi’in belajar al-Qur’an, seperti Sa’id ibn al-Musayyab, ‘Urwah, Umar ibn Abdil-Aziz, Atha ibn Yasar, Abdurrahman ibn Hurmuz dan Muhammad ibn Syihab az-Zuhry. Sementara di kota-kota lain ada pula sahabat yang mengajar al-Qur’an, seperti Mu’adz ibn Jabal di Mekkah, Abdullah ibn Mas’ud di Kufah (diutus oleh Khalifah Umar ibn Khatthab pada tahun 17 H), Abu Musa al-Asy’ari, Ali ibn Abi Thalib dan Anas ibn Malik di Basrah. Sedang di negeri Syam ada Ubadah ibn Shamit di Palestina dan Abu Darda’ di Damaskus, dan di Mesir ada Ubaid ibn Makhmar al-Mu’afiry, ‘Amr ibn al-‘Ash, puteranya Abdullah, Abu Dzar al-Ghifary serta ‘Uqbah ibn ‘Amir.
Begitulah seterusnya, al-Qur’an dipelajari bacaannya dan dihafal secara mutawatir, di samping adanya penulisan oleh para kuttab al-wahy, yang kemudian pada masa Khalifah Abu Bakr dilakukan tadwin al-mushaf serta ditulis kembali pada masa Khalifah Utsman ibn ‘Affan dengan satu bentuk tulisan yang disebut rasam ‘Utsmany. Namun sesuai dengan hadits Nabi yang menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan atas tujuh huruf, maka dari segi bacaan pada masa itu menjadi sangat beragam, sampai dirumuskannya tujuh bacaan (al-Qira’at as-Sab’) oleh Ibn Mujahid (w. 324 H) dalam kitabnya Kitab as-Sab’ah fil-Qiraat dengan menisbahkan setiap qiraat kepada salah seorang dari tujuh imam yang terkenal saat itu, yaitu :
1. Nafi (w. 169 H) di Madinah, dengan rawinya Qalun dan Warsy
2. Ibn Katsir (w. 120 H) di Makkah, dengan rawinya Qunbul dan Bazzy
3. Abu ‘Amr (w. 154 H) di Kufah, dengan rawinya Duri dan Susi
4. Ibn ‘Amir (w. 118 H) di Damaskus, dengan rawinya Hisyam dan Ibn Dzakwan
5. ‘Ashim (w. 128 H) di Kufah, dengan rawinya Hafsh dan Syu’bah
6. Hamzah (w. 80 H) di Halwan, dengan rawinya Khalaf dan Khallad
7. Al-Kisa’I (w. 189 H), dengan rawinya Duri dan Abul-Harits
Begitulah perkembangan bacaan al-Qur’an. Penetapan mutawatirnya suatu bacaan, menurut Imam Syathibi, didasarkan atas tiga kualifikasi : a. sesuai dengan bahasa Arab, b. sesuai dengan rasam Utsmani, dan c. sanadnya shahih.
Adapun sistem pengajaran bacaan dan hafalan al-Qur’an pada zaman Nabi hingga zaman klasik ada tiga macam, yaitu : usariyah (keluarga), masjidiyah (masjid) dan kuttabbiyah (kuttab, pengajian anak-anak). Yang efektif dan berkembang terus hingga sekarang di negara-negara Arab adalah yang terakhir, yakni sistem kuttab. Dalam system ini anak-anak sejak usia dini belajar kepada seorang muaddib/mudarris setiap pagi dan sore membawa papan (lauh) yang di situ ditulis ayat-ayat yang harus dihafal di rumah. Setelah hafal tulisan tersebut dihapus dan hafalannya diajukan (tasmi’ atau tas-hih) kepada mudarris. Selanjutnya akan ditulis lagi ayat-ayat berikutnya untuk dihafal di rumah dan begitu seterusnya.
Sistem ini telah membuat anak-anak di negara-negara Arab berhasil menjadi huffazh pada usia dini, sekitar umur 6-10 tahun, di samping mereka akan terus melanjutkan pendidikannya melalui jalur formal maupun informal. Dengan bekal hafalan al-Qur’an yang telah dikuasai di waktu anak-anak maka mereka akan mampu mendalami bidang-bidang tertentu yang mengacu kepada al-Qur’an pula. Dari system inilah lahir ulama dan ilmuwan besar di masa lalu dan sekarang, mulai dari Imam asy-Syafi’I, Ibnu Sina, Fakhruddin ar-Razi, Mahmoud Syaltout, Muhammad Abduh sampai Wahbah az-Zuhayli, untuk sekedar menyebut contoh.

Fungsi Tahfizh al-Qur’an

Pada zaman Nabi materi utama ilmu yang dipelajari oleh para sahabat adalah al-Qur’an, baru kemudian hadits. Tolok ukur keilmuan seorang sahabat pada masa itu adalah sejauh mana seseorang menguasai al-Qur’an, baik dari segi bacaan maupun pemahaman kandungannya. Seseorang yang menguasai al-Qur’an disebut ‘qurra’ dan memperoleh kehormatan lebih tinggi di banding yang lain. Kedudukan qurra’ yang demikian pada masa berikutnya biasa disebut sebagai fuqaha atau ulama. Ketika Nabi hendak mengirim seorang utusan ke suatu wilayah, maka beliau akan memilih sahabat yang paling banyak hafalan al-Qur’annya. Begitu juga untuk memimpin shalat jama’ah, Nabi bersabda : “Hendaklah memimpin shalat orang banyak seorang yang paling banyak hafalan (dalam riwayat lain aqrauhum, paling bagus bacaan)-nya dari al-Qur’an”. Ketika seorang sahabat hendak menikahi seorang wanita, Nabi menikahkannya dengan mahar hafalan al-Qur’an. Bahkan ketika hendak mengubur syuhada Uhud, Nabi memerintahkan untuk mendahulukan sahabat yang paling banyak hafalannya.
Bila secara nyata Nabi telah menunjukkan ketinggian derajat para huffazh al-Qur’an, maka melalui beberapa hadits Nabi menyatakan keutamaan huffazh al-Qur’an, antara lain : huffazh al-Qur’an adalah keluarga Allah yang khusus (ahlullah wa khaasshatuh), mereka akan memperoleh kedudukan setinggi (sebanyak) ayat yang dia baca, akan diberi pahala dari setiap huruf yang dibaca sepuluh kebajikan. Dalam hadits yang diriwayatkan al-Baihaqi dari Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash bahwa seseorang yang hafal al-Qur’an maka dia telah mengemban perkara besar dan menempati derajat kenabian, hanya saja dia tidak menerima wahyu. Karenanya ia tidak boleh melakukan penyimpangan dan membiarkan diri dalam kebodohan sebab al-Qur’an ada dalam dirinya.
Fungsi huffazh yang lain pada masa Nabi bahwa mereka menjadi penjaga kemurnian (otentisitas) al-Qur’an. Ketika Zaid ibn Tsabit mengumpulkan al-Qur’an pada masa Khalifah Abu Bakar maupun Khalifah Utsman ibn Affan, maka sebagai dasar dari pengumpulan dan penulisan itu ada dua, yaitu : tulisan atau catatan yang berserakan di pelepah kurma, kulit atau tulang, serta hafalan para huffazh.

Tahfizh al-Qur’an di Indonesia : Problem dan Prospeknya

Di Indonesia tradisi menghafal al-Qur’an dimulai dan dibawa oleh ulama (kyai) yang telah berhasil menghafal al-Qur’an di Makkah al-Mukarramah sekitar abad ke-18 Masehi, antara lain seperti Syaikh Mahfuzh at-Tirmisi, Kyai Munawir Krapyak, KH. Tb. Makmun Serang, Syaikh As’ad Bone dll. Artinya, tradisi menghafal al-Qur’an di Indonesia, selain sebagai tuntutan keagamaan, secara kultural merupakan budaya turunan yang diambil dari Timur Tengah (al-Haramain). Dibanding dengan tradisi tahfizh al-Qur’an di negara-negara Timur Tengah, tradisi menghafal al-Qur’an di Indonesia mempunyai beberapa perbedaan, antara lain :
1. Dipandang sebagai ilmu khusus yang berdiri sendiri dan tidak diorientasikan sebagai dasar ilmu yang harus dilengkapi oleh ilmu-ilmu bantu yang lain.
2. Dilaksanakan di pesantren dan khusus untuk menghafal al-Qur’an. Santri secara full-time berada di pesantren dan khusus menghafal al-Qur’an.
3. Usia santri yang menghafal al-Qur’an sudah menginjak usia remaja, antara 12 – 18 tahun
4. Saat menghafal al-Qur’an tidak dibarengi dengan belajar ilmu lain baik secara formal maupun informal.
5. Setelah selesai (khatam) menghafal al-Qur’an jarang yang melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
Dengan beberapa ciri tersebut, para huffzh al-Qur’an di Indonesia (terutama di Jawa) biasanya disiapkan untuk upacara sema’an, menjadi kyai dan ustadz di pesantren tahfizh al-Qur’an atau menjadi peserta, pelatih atau hakim Musabaqah Hifzhil-Qur’an baik di tingkat kabupaten, propinsi, nasional maupun internasional. Jarang kita dengar para huffazh al-Qur’an di Indonesia menjadi ulama besar sebagai pimpinan Majelis Ulama atau Syuriyah, atau menjadi imam di masjid-masjid besar.
Selanjutnya, untuk melihat prospek huffazh al-Qur’an di Indonesia, di sini dapat diajukan dua pandangan :
1. Spesialisasi, bahwa pada masa modern yang ditandai dengan adanya spesialisasi pada setiap bidang, maka para huffazh hendaknya mempersiapkan diri dengan baik untuk menempati bidang-bidang kequr’anan, baik dalam peribadatan, pendidikan, maupun kemasyarakatan. Selain penguasaan hafalan al-Qur’an yang baik, para huffazh harus membekali dengan keahlian di bidang-bidang tersebut, seperti ilmu fiqh, tajwid, qiraat, tafsir, bahasa Arab serta ketrampilan manajemen, administrasi dan komunikasi.
2. Re-orientasi, yakni memperbaharui orientasi, yaitu bila dikehendaki tampilnya huffazh al-Qur’an sebagai ulama yang mumpuni, maka perlu dilakukan perubahan pandangan tentang hafalan al-Qur’an dalam kerangka ilmiah. Di sini hafalan al-Qur’an diletakkan sebagai modal awal untuk penguasaan dan pendalaman ilmu keislaman maupun ilmu yang lain. Dalam proses menghafal al-Qur’an yang seyogianya dilakukan pada masa anak-anak, dibarengi dengan pendidikan formal dan diharapkan nanti terus akan melanjutkan pendidikannya sesuai dengan bidang keahlian diinginkan.
Kedua pilihan itu akhirnya dikembalikan kepada para huffazh al-Qur’an sendiri, terutama para pimpinan pesantren tahfizh al-Qur’an. Pilihan pertama lebih pragmatis dan realistis, sementara yang kedua lebih idealistis. Sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan belajar dari sejarah, nampaknya kita tak bisa hanya menunggu nasib, kita harus berikhtiar untuk merubah diri menjadi lebih baik.
Wallah a’lam bish-shawab

Daftar Bacaan

• Al-Ajiry, Abu Bakr Muhammad ibn Husain, Akhl;aq Hamalat al-Qur’an
• An-Nawawi, Abu Zakariya ibn Syarafuddin, At-Tibyan fi Adab Hamalatil-Qur’an
• Ash-Shalih, Shubhi, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an
• Karzun, Anas Ahmad, Wa Rattil al-Qur’an Tartila
• Rafiuddin, Muhammad Abul-Basyar, Ma’rifat Sya’n al-Qur’an al-Karim
• Thalyamat, Abul-Muathy, al-Halaqat al-Qur’aniyyah Dirasah Manhajiyyah Syamilah

No comments: