Sunday, September 7, 2008

Siapa Bilang Perempuan Dirugikan dalam Warisan?

Khaeron Sirin

Dosen Fakultas Syari’ah Institut PTIQ Jakarta



Dua bulan lalu penulis menerjemahkan buku berjudul Imtiyaz al-Mar'ah 'ala al-Rajuli fi al-Mirats wa al-Nafaqah karangan Dr. Shalahuddin Sulthan (2005). Terjemahan judul buku itu seharusnya Keutamaan Perempuan Dibanding Laki-laki dalam Warisan dan Nafkah. Tetapi, karena pertimbangan pasar, judul menjadi Ternyata Perempuan Lebih Istimewa dalam Warisan dan diterbitkan oleh PT. IIMaN pada Mei 2008.



Dalam buku itu, penulis menemukan hal-hal yang tak pernah terpikirkan oleh umat Islam selama ini, yaitu Islam sejatinya telah menempatkan perempuan lebih istimewa ketimbang laki-laki dalam warisan. Sebagian besar umat Islam selama ini dan juga para pemikir Barat menganggap Islam memberikan seperangkat hukum yang mendiskreditkan perempuan dalam warisan.



Bahkan, di kalangan tokoh agama (Islam) dan aktivis feminisme, muncul gagasan mendekonstruksi ayat-ayat waris dengan memberikan kesamaan hak waris antara laki-laki dan perempuan secara mutlak. Melalui bukunya itu, Shaluhuddin Sulthan mencoba menghadirkan pembahasan objektif dan orisinil dari teks-teks Alquran dengan beberapa contoh kasus dan rincian matematis.



Hasilnya cukup mengagetkan, perempuan dalam beberapa kasus bisa memperoleh bagian yang sama dengan bagian laki-laki, bahkan bisa memperoleh lebih besar dari bagian laki-laki. Istimewanya lagi, ketika perempuan memperoleh bagian hak waris, pada saat yang sama pihak laki-laki justru kehilangan haknya untuk memperoleh bagian waris.


Hakikat kewarisan Islam



Menurut Muhammad Imarah (2005), adanya perbedaan tidak didasarkan pada jenis kelamin, tetapi pada tiga kategori. Pertama, derajat kekerabatan antara ahli waris, baik laki-laki maupun perempuan, dengan si pewaris -- yang meninggal di mana masing-masing pihak yang memiliki garis kekerabatan yang lebih dekat dengan si pewaris akan memperoleh bagian waris yang lebih banyak.



Kedua, kedudukan ahli waris dari segi waktu atau generasi. Ahli waris yang mempunyai masa depan yang panjang (generasi muda) memperoleh bagian waris yang lebih besar dari bagian ahli waris generasi tua, baik dari garis laki-laki maupun dari garis perempuan. Misalnya, anak perempuan memperoleh bagian waris yang lebih besar dari ibu, di mana keduanya itu perempuan, tetapi dia juga memperoleh bagian yang lebih besar dari ayah. Begitu juga anak laki-laki memperoleh bagian waris lebih besar dari ayah.

Ketiga, tanggungan harta yang ditentukan syara’ yang harus dipenuhi oleh ahli waris tertentu, seperti bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian anak perempuan (QS Al-Nisa: 11). Adanya ketentuan ini dikarenakan ahli waris laki-laki dibebani tanggung jawab atas nafkah istrinya yang notabene adalah perempuan.



Perempuan selain memperoleh bagian waris juga memperoleh hak nafkah dari pihak laki-laki. Tetapi, kondisi yang membedakan bagian waris ini sangat terbatas jumlahnya jika dibandingkan dengan beberapa kondisi lain yang memengaruhi pembagian waris, di mana perempuan sangat diistimewakan.



Keunggulan perempuan



Untuk membandingkan hak waris perempuan dengan hak waris laki-laki, kita perlu melakukan analisis terhadap konsep kekerabatan (dalam waris) yang diklasifikasikan ke dalam tiga kategori: garis kerabat (jihat al-qarabah), tingkat kerabat (darajat al-qarabah), dan ikatan kerabat (quwwat al-qarabah).



Dalam perbandingan ini, kita akan menemukan lebih dari 30 kasus di mana perempuan dapat memperoleh bagian waris yang sama besar dengan bagian waris laki-laki. Bahkan, lebih besar dari laki-laki, serta kasus di mana perempuan memperoleh bagian waris, sementara laki-laki yang sederajat dengannya tidak memperoleh bagian waris sama sekali.



Ada beberapa hal yang menyebabkan seorang perempuan memperoleh bagian waris yang sama dengan laki-laki. Pertama, jika ahli waris terdiri dari ibu (juga nenek dari garis ibu) dan ayah bersama seorang anak laki-laki atau dua (atau lebih) anak perempuan atau seorang anak perempuan, maka bagian waris ayah adalah (1/6) dan ibu juga (1/6).


Kedua, ahli waris saudara perempuan seibu bersama saudara laki-laki seibu bersekutu memperoleh bagian waris (1/3) sehingga masing-masing memperoleh (1/6). Begitu juga dengan ahli waris dua saudara perempuan seibu dengan saudara laki-laki sekandung. Mereka bergabung dalam bagian waris (1/3) dan dibagi sama rata.



Ketiga, ketika pihak perempuan atau laki-laki menjadi ahli waris sendirian. Dalam hal ini, hasil akhirnya adalah mengambil bagian sisa warisan seluruhnya, baik itu laki-laki sebagai ashabah maupun perempuan yang memperoleh bagian waris yang telah ditentukan ditambah dengan sisa bagian yang dikembalikan (rad) kepadanya.



Misalnya, jika ahli warisnya seorang anak laki-laki saja, maka dia memperoleh bagian seluruhnya (ashabah). Demikian pula dengan anak perempuan, dia memperoleh bagian waris (1/2) ditambah bagian waris sisa (yaitu 1/2) sebagai radd (sisa warisan yang dikembalikan lagi ke anak perempuan). Pada akhirnya, baik anak laki-laki atau anak perempuan masing-masing akan memperoleh seluruh harta.



Keempat, kondisi atau hal-hal lain, seperti persamaan bagian waris antara saudara perempuan kandung dan saudara laki-laki kandung, persamaan bagian waris saudara perempuan seibu dengan saudara laki-laki kandung tanpa adanya sekutu (lebih dari satu), dan persamaan bagian waris perempuan dengan laki-laki dalam hal ahli waris yang tidak terhijab (terhalangi) untuk selamanya.



Jatah perempuan lebih besar



Perempuan lebih banyak memperoleh warisan dengan cara furud, yaitu bagian waris yang besarannya telah ditentukan oleh nash (Alquran dan al-Sunnah). Ketentuan ini dalam banyak kasus lebih menguntungkan perempuan ketimbang memperoleh bagian waris dengan carata’shib.



Dalam hal ini, nash sebenarnya telah memberikan keuntungan kepada perempuan dengan memberikan bagian waris yang lebih banyak ketimbang bagian waris laki-laki (6 banding 17). Dalam hal ini, kelompok perempuan mewarisi bagian waris furud dalam 17 kondisi, sementara kelompok laki-laki hanya memiliki 6 bagian saja.



Hal ini menunjukkan bahwa ketentuan bagian waris dalam Islam memberikan keuntungan bagi perempuan, sekaligus memberikan bagian yang lebih besar dari laki-laki. Misalnya, jika ahli waris terdiri suami, ayah, ibu, dan anak perempuan, maka si anak perempuan memperoleh bagian waris (1/2). Sementara, jika posisi anak perempuan digantikan anak laki-laki, ia memperoleh ashabah. Dalam praktiknya, bagian setengah (milik anak perempuan) justru lebih besar ketimbang bagian ashabah (milik anak laki-laki).



Perempuan bisa memperoleh bagian waris, sementara laki-laki yang sederajat dengannya tidak memperoleh bagian sama sekali. Kondisi ini bisa terjadi ketika ahli waris terdiri dari suami, ayah, ibu, anak perempuan, dan cucu perempuan (dari anak laki-laki), maka cucu perempuan memperoleh bagian waris (1/6). Tetapi, jika ahli waris terdiri dari suami, ayah, ibu, anak perempuan, dan cucu laki-laki, maka si cucu laki-laki tersebut sebagaiashabah tidak memperoleh bagian karena tidak ada sisa.



Ini hanya satu contoh dan masih banyak contoh lain yang membuktikan dalam kasus tertentu perempuan memperoleh bagian waris, sementara laki-laki yang sederajat dengannya justru tidak memperoleh bagian waris sama sekali. Dengan ketentuan tersebut, Islam telah mengistimewakan perempuan atas laki-laki dalam waris.



Tetapi, bukan berarti menzalimi kaum laki-laki karena pembagian warisan dalam Islam tidak dimaksudkan untuk menentukan besaran harta. Ini lebih merupakan upaya menyelesaikan berbagai masalah ekonomi keluarga. Dalam hal ini, pembagian waris dalam Islam dimaksudkan untuk memberikan jaminan ekonomi kepada perempuan di saat mereka harus menghadapi tantangan zaman, peristiwa, dan kultur masa mendatang. Lantas, siapa yang berani mengatakan bahwa Islam mendiskreditkan perempuan dalam kewarisan?



Ikhtisar:

- Perempuan dapat memperoleh bagian waris yang sama besar dengan bagian waris laki-laki, bahkan lebih besar.

- Ketentuan bagian waris dalam Islam memberikan keuntungan bagi perempuan, tak pernah merugikan.

No comments: