Sunday, September 7, 2008

Guru PAI : Antara Peran dan Kompetensi

Pengantar

Seandainya ada orang yang menyatakan bahwa permasalahan tentang pendidikan adalah masalah-masalah usang, dan basi, maka sebenarnya yang bersangkutan tidak mengerti esensi pendidikan bagi manusia. Hal tersebut lebih dikarenakan hadirnya pendidikan sama tuanya dengan kehadiran manusia di alam ini.

Dengan begitu pembicaraan tentang pendidikan, sebenarnya sama artinya dengan memperbincangkan tentang diri manusia sendiri, obsesi, serta harapan yang diinginkan manusia atas diri dan sekitarnya. Artinya dalam dunia pendidikan tidak ada istilah yang selesai, terlebih sifat pendidikan yang sui generis, akan menjadikannya mengikuti perubahan yang terjadi di sekitarnya (Idrus, 1997d).

Dalam konteks yang demikian, segala pembaharuan dalam bidang pendidikan harus dipahami sebagai upaya-upaya manusia untuk membebaskan dirinya dari segala keterbelakangan (backwardness) serta ketidak-tahuan yang dimilikinya. Selain itu, secara lebih normatif, pendidikan merupakan cara manusia untuk mengenal dirinya dalam konteks kemanusiannya, serta sebagai upaya mendekatkan dirinya kepada penciptanya (Allah Swt) melalui perspektif kemanusiaan yang dimilikinya.

Bagi kebanyakan negara yang sedang berkembang --bahkan negara maju sekalipun-- pendidikan berfungsi untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM). Secara normatif pendidikan diharapkan dapat memberi petunjuk bagi keberlangsungan kehidupan sesuai dengan tata nilai ideologis dan kultural bangsa. Dengan begitu, proses yang berlangsung dalam dunia pendidikan harus dapat memberi kesadaran kepada manusia akan potensi “kemanusian” yang dimilikinya, dan lebih dari itu pendidikan harus mampu merangsang manusia untuk mempergunakan potensi tersebut sesuai dengan tata nilai kemanusian. Selain itu, secara material pendidikan harusnya dapat memberikan pengetahuan yang memajukan dan mempertinggi kualitas hidup, baik dalam skala kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun bernegara.



Guru Pendidikan Islam, Antara Cita dan Realitas

Banyaknya gugatan atas pelbagai kegagalan dunia pendidikan dalam meyiapkan SDM yang memadai bagi pembangunan, pada akhirnya juga melanda dunia pendidikan Islam[1]. Meski seharusnyalah gugatan tersebut tidak hanya tertuju pada kalangan yang berkecimpung dalam dunia pendidikan semata, sebab pada dasarnya ada banyak faktor lain yang secara langsung ataupun tidak langsung memiliki kontribusi atas persoalan tersebut.

Ada beberapa faktor yang diidentifikasi tampaknya akrab dengan nuansa buram pendidikan Islam. Dalam tulisannya Wahab (1997) mensinyalir bahwa lembaga pendidikan agama (mulai dari Raudzatul Athfal sampai dengan IAIN/PT ) secara obyektif dewasa ini belum menampilkan unjuk kualitas yang membanggakan. Hampir senada dengan tulisan Wahab, Ma’arif (1996) menyoroti kasus pendidikan Islam di Indonesia yang menurutnya masih menganut sistem pendidikan warisan abad pertengahan bagian akhir.

Dalam tulisannya yang lain Maarif (1997) menyatakan bahwa pendidikan Islam yang berkembang sesudah tragedi sejarah –runtuhnya Baghdad dan Andalusia sebagai pusat ilmu dan peradaban- tidak lagi pendidikan yang membuat manusia kreatif dan antisipatif menghadapi zaman yang sedang berubah dan mencair, tetapi semata-mata bagaimana agar orang dapat bertahan (defensive Educational System[2]). Buahnya adalah kultur defensif semata-mata untuk survival, yang tidak banyak maknanya bagi perkembangan peradaban manusia.

Secara tegas Wahab menuliskan kelemahan kualitas pendidikan Islam yang salah satunya lebih disebabkan rendahnya kemampuan profesional guru. Menurutnya dengan sebagian besar guru yang lulusan KPGA, PGA, dan IAIN, serta kualitas pendidikan agamanya yang juga tidak membanggakan, menjadikan pendidikan Islam dalam posisi dilematis.

Kekurang-mutuan pendidik[3] ini pada akhirnya berdampak pada banyak hal salah satunya terwujud dengan model belajar yang cenderung tradisional. Dalam proses pendidikan tradisional, pendidik selalu menganggap siswa sebagai objek yang tidak memiliki potensi apapun (impotensi akademik) (Idrus, 1997c). Hal ini menyebabkan anak tidak terbiasa menghadapi permasalahan yang muncul secara kritis. Pada tahapan selanjutnya akan dipastikan terjadinya kegagalan akademik pasca proses pendidikan.

Potret buram alumni pendidikan Islam menampakkan sisi gagal proses yang berlangsung di dalamnya. Tampaknya alumni pendidikan Islam banyak yang terperangkap dengan model sekolah "ambtenaar" yang diadakan untuk memenuhi kebutuhan pekerja (pegawai klas rendahan –sebagaimana harapan penjajah Belanda dahulu) meski sekarang muncul dalam bentuk yang lebih terhormat. Lantas muncul pertanyaan, bagaimana seharusnya sang guru? Siapakah yang pantas menjadi guru?

Dalam salah satu tulisannya Tilaar (1991) mengungkap peran ideal seorang guru dalam era industrial. Menurut Tilaar, guru adalah seorang resi dalam arti modern. Resi dalam konteks kemodernan yang ia maksud adalah guru harus menguasai sains dan teknologi sesuai kondisi saat ini[4]. Hal tersebut dapat dipahami pada konteks kekinian, sebab dan hanya dengan itulah guru dapat membawa peserta didik untuk mempersiapkan diri menghadapi dunia yang epat berubah ini.

Selain itu, salah satu hal yang juga mendapat tekanan lebih dari kehadiran guru adalah makna ontologisnya. Pada posisi ini guru merupakan sosok personifikasi dari moral dan keyakinan agama, serta budaya satu bangsa (Idrus, 1997b). Di sini tampak betapa strategisnya kehadiran guru yang bukan saja muncul pada satu situasi belajar-mengajar di kelas, tetapi melampauinya (beyond the phenomenon).

Sebab, selain harus membawa anak didik pada pemahaman akan kebermaknaan sains bagi diri dan lingkungannya, guru juga harus mampu menyampaikan pesan moral dan keyakinan agama atas sikap dan perilaku yang dilakukannya. Artinya dalam setiap performance individualnya, guru harus dapat membawa pesan kepada anak didik untuk menyadari akan adanya dimensi moral dan religius dalam dinamika kehidupan ini. Selanjutnya dengan bahasa tutur dan gerak tubuhnya, guru harus dapat meyakinkan siswanya tentang ajaran-ajaran kebenaran dan sisi keilmiahan materi yang disampaikannya. Kedua dimensi (baik moral dan religius) itu harus menjadi acuan dalam pola pikir, pola tindak serta laku yang dilakukan guru.

Lantas bagaimana dengan guru PAI itu sendiri? Justru peran guru PAI menjadi sangat penting dalam konsep ini. Sebab pada dasarnya seorang guru PAI bukan hanya sekadar mengajarkan nash-nash ayat, ataupun doktrin agama, tetapi lebih dari itu Ia juga harus mampu menjadikan dirinya contoh untuk mengamalkannya dalam kehidupan kesehariannya sebagaimana diungkap dalam pepatah Guru digugu dan ditiru[5].

Pada kenyataannya untuk mengemban amanah yang dibebankan kepadanya memang bukanlah hal yang mudah. Di tengah perjalanannya terkadang muncul pelbagai peristiwa yang dapat menghancurkan martabat serta kewibawaan guru. Tunjuklah peristiwa guru –tak terkecuali guru PAI- yang menghukum siswa hingga cidera, bahkan hingga menemui kematiannya[6]. Peristiwa tersebut merupakan sebagian cerita yang mencerminkan kegagalan guru dalam menjalan “tugas suci” yang diembannya.

Jika demikian, masih dapatkah dikukuhkan kedudukan guru sebagai penolong sebagaimana pernah diungkap J Menges –yang menyebut guru sebagai the helper-, ataupun yang digambarkan Tilaar? Apakah hal itu menengarai ketidak-profesionalan guru? Atau hal ini karena begitu mudahnya untuk menjadi guru[7].

Guru siapa dia?

Paulo Freire, tokoh pendidikan Brasil, pernah mengungkap every place is a school, every one is teacher. Ungkapan ini lebih menjelaskan bahwa guru itu bukan siapa-siapa, tetapi dia bisa siapa saja, dimana saja, serta hadir kapan saja, tanpa batas ruang, waktu, kondisi apapun. Dengan begitu, siapa saja dapat menjadi guru, serta mungkin menjadi guru untuk seseorang. Sebab orang jahat sekalipun, suatu saat pernah mengajarkan ilmu yang dimilikinya. Persoalannya, siapa yang sebenarnya layak untuk jadi guru bagi anak-anak bangsa ini?

Persoalan ini terkait dengan kualifikasi yang dipersyaratkan bagi calon guru. Tentu saja kualifikasi ini bukan sekadar mau semata, tapi harus dibarengi dengan serangkaian kemampuan yang memenuhi persyaratan baik administratif ataupun keilmuan, serta memenuhi harapan anak bangsa.

Sebab masa depan yang akan dihadapi anak, tidak sama dengan pengalaman masa lalu orangtuanya, sehingga untuk mengajarkan ilmu masa depan bukan cupa sekadar pernah menjalani masa lalu. Artinya jika ada guru yang hanya berbekal pengetahuan dari para gurunya dahulu, maka yang bersangkutan sebenarnya belum layak jadi guru masa depan bagi anak bangsa ini.

Kerap ditemui secara empiris, guru yang hanya mengandalkan catatan semasa dia kuliah dahulu, tanpa ada keinginan untuk melakukan pembaharuan atau pelacakan informasi yang terbaru. Padahal bisa jadi saat dirinya kuliah dahulu, belum semua informasi yang disampaikan “sang guru sepuh” dapat dicatatnya, tentu saja keterputusan ini akan berdampak pada hilangnya rantai kognitif saat ilmu tersebut disampaikan pada anak didiknya yang sekarang.



Jika sudah demikian, jangan berharap banyak untuk mendapatkan lulusan yang berkualitas baik dari guru model tersebut. Sebab, ilmu yang diajarkannya hanya sekadar ilmu “copy paste”, tanpa tambahan informasi bahkan kemungkinan terjadinya reduksi informasi begitu jelas-jelas nyata. Tentunya kodisi ini tidak dapat dibiarkan berlarut, sebab masyarakat bangsa ini membutuhkan generasi yang dapat mengakses perkembangan agar dapat tampil di percaturan internasioal.

Akreditasi Kompetensi Guru

Dalam kehidupan setiap orang, pasti pernah hadir orang lain yang disebutnya sebagai guru. Meski personifikasinya dapat bermacam-macam, namun yang utama adalah dari gurulah seseorang memperoleh pengetahuan yang kini dikuasainya. Harus diakui bahwa dalam komunitas masyarakat kita, guru menjadi bagian penting dalam kehidupan seseorang.

Mengingat peran strategisnya, Robert J Menges mengelarinya sebagai helper. Pada posisi tersebut tampak betapa mulianya guru sebagaimana digambarkan dalam tembang hymne guru. Jika demikian, tabukah kita untuk mempersoalkan kemampuan mengajarnya? Mengingat sekian jasa yang pernah ditanamkan kepada kita. Namun, dengan tidak bermaksud untuk menghilangkan citra baiknya, perlu rasanya memperbaiki praktek menyimpang yang terjadi di lingkungan pendidikan saat ini (Idrus, 1997a)

Secara empirik, banyak ditemui guru yang bukan berasal dari lulusan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK[8]; IKIP, STIKIP, STIT, Fakultas Tarbiyah). Entah sadar ataupun karena bermaksud mengabaikannya, banyak lembaga pengguna jasa guru tersebut berkilah bahwa yang penting secara materi mereka menguasai, bahkan penguasaan ilmu murni mereka lebih baik dari mereka yang berasal dari LPTK. Sebenarnya letak persoalannya bukan hanya pada sisi tersebut, tetapi ada unsur lain yang juga lebih penting yaitu kewenangan mengajar.

Meski belum ada penelitian yang lebih mendalam, tampaknya harus pula diakui banyak lulusan LPTK mengalami kelemahan dari sisi penguasaan ilmu murni yang harus diajarkannya. Hal ini mungkin terjadi karena kurikulum yang mereka tempuh lebih banyak yang membicarakan bagaimana mengajarkan satu materi tertentu, dibandingkan dengan penguasaan materi ilmu murni. Setidaknya hal tersebut dapat menjadi penyadaran bagi LPTK untuk mengkaji ulang kurikulum serta melakukan telaah ulang dan kajian yang lebih mendalam tentang kompetensi output dalam ilmu atau bidang studi yang ditekuninya.

Terkait dengan kewenangan mengajar atau dalam bahasa pendidikan diistilahkan dengan kompetensi menjadi satu syarat mutlak bagi guru untuk mengajar di depan kelas formal. Kompetensi ini layaknya surat ijin mengemudi (SIM) bagi para sopir atau pengendara kendaraan bermotor. Jadi dengan menganalogi hal di atas, maka dapat dinyatakan bahwa semua orang (mungkin) bisa mengajar, tetapi ada yang lebih berhak secara formal diakui negara untuk mengajar.

Merujuk pada analogi tersebut, maka sebenarnya, tidak semua orang dapat menjadi guru di muka kelas-kelas formal, dan setiap orang yang hendak menjadi guru haruslah memiliki SIM yang diwujudkan dalam bentuk ijazah dan Akta Mengajar, yang disesuaikan dengan jenis dan tingkatan pendidikan sekolah.

Keharusan tersebut jelas terugkap dalam pasal 5 ayat (1) PP 38/1992 yang menyebut bahwa tenaga pendidik pada pendidikan prasekolah, jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah wajib memiliki kemampuan mengajar yang dinyatakan dengan ijazah yang diperoleh dari lembaga pendidikan tenaga keguruan.

Lazimnya, tanpa kewenangan tersebut, individu yang bersangkutan tidak diperkenankan untuk mengajar di sekolah manapun, meski yang bersangkutan memiliki kemampuan dan pengetahuan yang baik dalam satu bidang ilmu tertentu. Harus pula diakui terasa sulit untuk menghindari penyimpangan seperti di atas, mengingat situasi di lapangan berlaku hukum ekonomi ‘supply and demand”. Untuk menyiasatinya, Idrus (1997a) mengajukan perlunya untuk dilakukan uji ulang (akreditasi) kompetensi mengajar bagi para guru di sekolah[9].

Ide dasar yang menyemangati proses akreditasi ini adalah agar guru selalu berupaya meningkatkan kemampuan intelekualnya, sesuai dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan serta masa yang akan dihadapi anak didiknya. Dengan begitu proses pendidikan bukan sekadar transfer ilmu yang monologis otoriter serta “vacuum” dari pembaharuan. Atau apalagi sebagai proses penuangan ide-ide lama yang terkadang menjauhkan siswa dari persoalan kekinian yang sedang mereka hadapi.

Selain itu mengingat fluktuasi memori dan ilmu pengetahuan yang dimiliki individu, maka hendaklah dipahami bahwa kewenangan mengajar yang diperoleh guru bukanlah kewenangan seumur hidup pada diri guru. Artinya ijin mengajar bukan merupakan kewenangan abadi, tetapi perlu diperbaharui setiap kurun waktu tertentu. Selain demi penyempurnaan informasi sesuai dengan generasi yang akan diajarnya, secara lebih sederhana akreditasi dimaksudkan agar tidak terjadi kemandegan intelektual –stagnasi akademik- pada diri guru.

Setiap akhir proses akreditasi, kepada guru diberikan rekomendasi tentang kelayakan untuk mengajar pada bidang ilmu tertentu, untuk jenjang dan jenis pendidikan tertentu pula. Dengan rekomendasi ini seorang guru dapat mengajar sesuai dengan batas waktu akreditasi yang telah ditetapkan, yang pada batas waktu tertentu (jatuh tempo) guru tersebut juga harus siap diakreditasi kembali.

Sebaliknya bagi mereka yang dinyatakan tidak laik mengajar, maka diwajibkan utuk menempuh kegiatan yang disiapkan untuk meningkatkan kemampuan ataupun kompetensi dalam mengajar (remedial & enrichment programme) selama kurun waktu yang telah ditetapkan. Kegiatan ini merupakan syarat untuk kembali mengikuti uji kompetensi yang dimilikinya.

Sebagai konsekuensi selama megikuti kegiatan remedial dan pengayaan tersebut, guru yang bersangkutan tidak diperkenankan memberi pelajaran materi yang selama ini diampunya. Artinya, yang bersangkutan harus di-non-aktifkan dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah.

Setelah menyelesaikan kegiatan remedial dan pengayaan, yang bersangkutan harus kembali mengikuti akreditasi ulang, dan begitu seterusnya hingga ada rekomendasi lulus atau laik untuk kembali mengajar. Tentu saja, perlu juga diberi pembatasan berapa kali seseorang diperkenankan untuk “gagal” dalam uji kompetensi. Selain itu, rekomendasi kewenangan mengajar hanya berlaku selama kurun waktu tertentu dan harus diuji ulang jika masa berlakunya habis.

Ada hal yang harus dicermati dalam proses akreditasi kompetensi mengajar ini, yaitu budaya ewuh pakewuh dan sikap senioritas negatif lainnya. Artinya jika suatu saat yang berposisi sebagai tim akreditasi adalah mantan siswa dari guru yang hendak diakreditasi, maka jangan karena pertimbangan yang bersangkutan adalah “guru”nya atau karena adanya “pressure”, dan tanpa memperhatikan kualifikasi yang senyatanya langsung saja meluluskan.

Dalam konteks yang demikian, seharusnyalah ditinggalkan segala atribut yang disandang seseorang, yang memungkinkan terjadinya praktik-praktik ketidak-jujuran dalam proses akreditasi. Lembaga atau orang yang menangani proses akreditasi ini harus bebas dari persoalan yang sifatnya tradisional dan sifat negatif.

Juga pada proses pengayaan, hendaknya sikap bahwa dirinya senioritas dalam satu bidang ilmu tdak dimunculkan secara arogan. Hendaklah dipahami bahwa proses pengayaan merupakan cara mengup-grade informasi yang kini dimilikinya. Lazimnya karena kesibukan mengajar menjadikan kita lupa untuk melacak informasi yang terkini dalam ilmu yang kita tekuni, hingga tak-tersadarkan ada perkembangan terbaru dari ilmu tersebut.

Dengan model yang demikian, maka jelas tidak semua orang bisa menjadi guru. Model ini memungkinkan profesi guru menjadi elit dengan tingkat selektivitas yang tinggi, hingga bukan sekadar mau tetapi mampu dan juga berwenang. Pertanyaan kunci adalah, siapkah kita untuk menyiapkan segala infrastrukturnya? Atau siapkah mental kita saat berhadapan dengan siswa kita dahulu yang kini berposisi sebagai penguji diri kita? Jika jawabannya negatif, maka profesi guru akan tetap terpuruk dan sulit menjadi elegance di hadapan profesi lain.

Terlebih jika dihadapkan pada kondisi riil saat ini, pertanyaan pamungkasnya adalah siapa lagi yang mau jadi guru, jika syarat yang harus ditempuhnya begitu banyak? Atau justru sebaliknya kodisi ini akan menjadikan profesi guru naik daun dan banyak masyarakat berebut untuk menjadi guru, sebab ternyata tidak mudah untuk menjadi guru. Bukan begitu? Wallahu ‘alamu bi as showab. Demikian semoga bermanfaat buat semua. (©M.Idrus,27032005)





PUSTAKA





Idrus, M. 1994. UII Mengemban Amanah Sejarah. Dalam Setengah Abad UII. Yogyakarta: UII Press

Idrus, M. 1997a. Akreditasi Komptensi Mengajar Bagi Guru di Sekolah. Kedaulatan Rakyat, Rabu Pon 2 Juli 1997. halaman 8.

Idrus, M. 1997b. Guru Masa Depan, Masa Depan Guru. Surabaya Post, 24 November 1997. Halaman VI: 6-9

Idrus, M. 1997c. Karakteristik dan Dimensi Moral Anak Didik dalam Pendidikan. dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ (Edit). Yogyakarta: Aditya Media.

Idrus. M. 1997d. Perubahan Masyarakat dan Peran Pendidikan Islam: Kajian Pemberdayaan dan Pembebasan Keterbelakangan. dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ (Edit). Yogyakarta: Aditya Media.

Maarif, A. Syafii. 1996. Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Umat. dalam Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 2. Th. I. Oktober 1996. Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah UII.

Maarif, A. Syafii. 1997. Quo Vadis Pendidikan Islam? Makalah pada Bedah Buku Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ (Edit). Tanggal 18 Nopember 1997.

Tilaar, H.A.R., 1991. Sistem Pendidikan Nasional yang Kondusif bagi Pembangunan Masyarakat Industri Modern Berdasarkan Pancasila. Jakarta: LIPI

Wahab, Rohmat. 1997. Masalah Mutu Pendidikan dan Penanggungjawabnya. dalam Tantangan Pembangunan di Indonesia: Beberapa Pandangan Kontemporer dari dunia Kampus. Yogyakarta: UII Press.





[1] Beberapa masalah yang dapat teridentifikasi muncul sebagai potret buram pendidikan seperti tawuran antar pelajar, aksi graffiti, perilaku menyimpang –bahkan mulai muncul gaya hidup seks bebas di kalangan pelajar-, pelanggaran disiplin lalu lintas, dll. Sementara di kalangan guru terjadi kasus yang tidak kalah nggegirisi seperti perlakuan amoral terhadap siswa, pemberian hukuman yang keliwat batas, penyelewengan dana, dan banyak lagi kasus yang terasa tidak layak dilakukan oleh seorang pendidik.

[2] Fenomena ini tampak dari perilaku peserta didik yang hanya sekadar mengejar ijazah, atau bahkan dalam kasus yang lebih ekstrem adalah pember(L)ian gelar akademik yang diterima kalangan selebritis, pengusaha, penghusada, ataupun tokoh masyarakat dengan membayar sejumlah besar uang. Jadi buat apa sekolah? Gelar apapun dapat diperoleh, bahkan gelar Profesor sekalipun. Situasi ini menambah buruk carut marut dunia pendidikan.

[3] Banyak dijumpai indikasi kekurang mutuan ini seperti: model belajar yang cenderung otoriter, materi yang sekadar mengulang dari catatannya terdahulu, keenggenan untuk membahas tema agama secara aktual, ketidakmampuan untuk mengubah paradigma mengajar yang selama ini digunakan, keterpakuan pada kurikulum, dan banyak lagi. Hal itu pada akhirnya menimbulkan stagnasi akademik dan kemapanan intelektual --dalam artian negatif--di kalangan pendidik. Untuk memperbaiki serta menjaga mutu akademik pendidik salah satu di antaranya adalah dengan melakukan uji kompetensi atas para pendidik. Bahasan secara lengkap tentang ini pernah penulis lontarkan dalam tulisan UII Mengemban Amanah Sejarah, dalam buku Setengah Abad UII, Yogyakarta: UII Press. 1994.

[4] Ironinya kerap terjadi guru yang mengalami “gagap teknologi”. Jangankan untuk menguasai teknologi yang amat teramat canggih, mengetik dengan menggunakan komputer saja terpaksa harus “direntalkan”.

[5] Pepatah ini kerap diplesetkan menjadi idiom negatif, yang mestinya hilang dari perbendaharaan kosa kata bahasa budaya guru. Wagu tur Saru.

[6] Meski juga harus diakui bahwa masih banyak guru yang berperilaku luhur dalam mengabdi pada profesinya. Hanya saja terkadang masyarakat menutup mata atas kesuksesan misi yang diemban guru. Meski juga disadari bahwa keberhasilan anak didik bukanlah semata-mata jerih payah sang guru, namun gurulah yang pada awalnya menuntun siswa ke arah jalan yang semestinya.

[7] Pada banyak lembaga bimbingan belajar, untuk menjadi guru tidak dipersyaratkan lulusan dari LPTK (Tarbiyah/Pendidikan Agama Islam, IKIP, STIKIP dan yang sejenis). Mereka-lembaga bimbingan belajar- lebih menyukai calon yag berasal dari jurusan ilmu murni dibanding dari jurusan keguruan.

[8] Istilah LPTK memeiliki banyak kepanjangan arti. Salah satunya adalah Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan tapi bagi penulis istilah yang terbaik adalah Kependidikan, sehingga kepanjangannya adalah Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan

[9] Sulit rasanya membayangkan betapa banyak guru-guru kita yang stress menghadapi uji kompetensi ini. Model kenaikan dengan angka kredit saja sudah menjadi beban yang cukup menyulitkan. Apalagi ditambah dengan model uji kompetensi ini, tentunya banyak guru yang merasa tidak siap atau menolak dengan banyak dalih yang sebenarnya hanya sekadar untuk menghindari dirinya di tes ulang. Jika hal ini diterapkan, maka dipastikan terjadi pro dan kontra di antara guru.

fai.uhamka.ac.id

No comments: