Sunday, February 17, 2008

Reposisi Nu; refleksi Ultah Nu ke 82

Reposisi NU:
Refleksi Ultah NU Ke-82, 31 Januari 2008
Oleh Abd Moqsith Ghazali
11/02/2008

NU ke depan perlu mempertimbangkan kemungkinan keluar dari konservatisme yang selama ini mengungkungnya menuju progresivisme dan selanjutnya tampil sebagai penggerak pembaruan pemikiran Islam. Sebab, setia pada konservatisme hanya akan menjadikan NU semacam sebuah prasasti bagi masa lampau, bukan proyeksi untuk masa depan.
Dalam satu dekade terakhir, NU tidak lagi menjadi bidan yang membantu proses lahirnya pikiran-pikiran besar Islam. Sudah lama tak terdengar diskursus dan wacana keislaman yang dikelola secara kreatif oleh organisasi ini. Dari sudut pemikiran keislaman, persisnya beberapa tahun ini, NU dalam posisi stagnan dan mauqûf.

Cetusan gagasan brilian NU seperti istinbâth jamâ`i (ijtihad kolektif), acuan kemaslahatan, kontekstualisasi kitab kuning, dan bermazhab secara manhaji (metodologis) cenderung tidak berkelanjutan. Alih-alih menariknya maju, di sela-sela muktamar NU ke-31 di Solo tahun 2004, beberapa peserta Bahtsul Masa'il Mawdlu`iyah meminta agar rumusan Munas Alim Ulama NU di Lampung tentang "Prosedur Pengambilan Hukum dalam NU" yang progresif itu, ditinjau kembali. Sejumlah poin dalam keputusan itu dianggap terlalu liberal dan menyimpang dari Ahlussunnah Waljamaah. Ironikah?

Sebagian pengamat mengeluhkan sepinya percakapan intelektual dalam NU. Menurut sebagian pihak, petinggi NU lebih banyak mewiridkan pikiran-pikiran lama sehingga tidak menarik untuk ditulis, ketimbang menciptakan pemikiran keislaman baru. Menghadapi berbagai jenis mazhab pemikiran keislaman kontemporer yang saling berhadapan, paling jauh fungsionaris NU mutakhir meneguhkan bahwa NU berada di tengah; bukan di tepi kiri dan tidak pula di margin kanan.

Itu sebabnya, NU kerap tampak gamang dan ambigu dalam bersikap. Ambivalensi NU itu dijadikan peluang oleh ormas Islam lainnya untuk merebut sebagian warga NU. Tak sedikit warga NU yang kini bercipratan ke ormas dan institusi lain yang dianggap memiliki pemikiran keislaman yang lebih pasti dengan keberpihakan yang jelas. Sebagian kaum nahdliyyin mengalami diaspora dan keterpencaran.

Hemat saya, NU perlu melakukan reposisi paradigmatik. Pertama, jalan moderatisme (tawassuthiyah) yang ditempuh NU mesti diberi karakter yang lebih konkret. Berhenti pada penjelasan artifisial bahwa NU tidak liberal dan tidak pula fundamentalis, menampik Barat juga Timur, tentu tak memadai. Tetap perlu dicari jawaban atas sebuah pertanyaan yang lebih tajam tentang model moderatisme yang hendak dikembangkan NU. Tawassuth, tawazun, dan i`tidal yang lazim dikemukakan merupakan soundtrack dan pernyataan umum (lafzh `am) yang memerlukan spesifikasi rinci (mukhashshish) pada tataran konseptualisasinya. Ketidak-jelasan konsep moderatisme itu, tak ayal lagi memicu warga NU untuk menafsirkannya sendiri-sendiri dan orang lain pun menyimpulkannya secara beragam. Ada yang berkata bahwa moderatisme NU adalah nama lain dari oportunisme dan konformisme. Yang lain berkomentar, moderatisme NU adalah bungkus dari konservatisme.

Kedua, NU ke depan perlu mempertimbangkan kemungkinan keluar dari konservatisme yang selama ini mengungkungnya menuju progresivisme dan selanjutnya tampil sebagai penggerak pembaruan pemikiran Islam. Sebab, setia pada konservatisme hanya akan menjadikan NU semacam sebuah prasasti bagi masa lampau, bukan proyeksi untuk masa depan.

Modal dasar menuju progresivisme itu sebenarnya sudah dikantongi, yaitu keputusan Munas Alim Ulama NU di Bandar Lampung, 21-25 Januari 1992. Dengan memperkukuh landasan pacu keputusan Lampung itu, saya meyakini proyek pembaruan pemikiran Islam dalam tubuh NU bisa berlangsung mulus.

Terlampau jelas; dalam zaman yang serba cepat dan kompleks ini, siklus pembaruan pemikiran Islam tak perlu menunggu masa seratus tahun (fi kulli mi'ati sanah). Membatasi kehadiran pembaru (mujaddid) hanya dalam setiap 100 tahun berarti membiarkan masalah terus menumpuk tanpa penyelesaian. Pembaruan tak perlu jeda. Ia diperlukan setiap tahun, bahkan bulan dan minggu.

Sekiranya ruang aktualisasi pemikiran di dalam NU kian diperlebar, maka bilangan pemikir berlatang belakang nahdliyyin akan mampu memanggul tugas mulia itu. Insyaallah!

No comments: