Friday, February 29, 2008

Sekilas Sejarah Tasawuf

oleh Muhammad Ikhsan

A. Pendahuluan


Selama ini umat Islam cenderung memahami agama Islam secara sempit. Islam dipahami sebagai agama yang di dalamnya terdapat aturan-aturan yang hanya berkisar pada wilayah ibadah, muamalah, dan aqidah. Sehingga agama sering dipandang sebagai aturan-aturan yang bersifat ketat dan kaku dan cenderung terlihat sebagai kegiatan-kegiatan lahiriyah semata walaupun orientasinya mengarahkan manusia untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Ada aspek yang banyak dibicarakan atau sekedar diketahui oleh banyak orang tentang Islam yang sangat mewarnai perjalanan sejarah Islam dari dulu hingga sekarang yang tidak henti-hentinya menjadi bahan kajian dan perdebatan baik dari kalangan akademisi maupun masyarakat luas baik di perkotaan maupun di tingkat pedesaan. Aspek ini dikenal dengan istilah tasawuf atau sebagaimana yang dikenal para orientalis sebagai mistisme dalam Islam.
Tasawuf adalah aspek bathiniyah yang merupakan upaya dalam mencari kecintaan dan kesempurnaan rohani. Para sufi berpandangan bahwa ketika ilmu fiqih mengatur umat Islam dalam beribadah dan bermu'amalah, maka kegiatan tersebut merupakan amalan yang bersifat dhahir, sedangkan ilmu tasawuf mengatur batin dan jiwa manusia yang berarti menguasai wilayah bathinyah dalam beragama.
Perjalanan tasawuf dari masa ke masa tidak lepas dari pengaruh sejarah yang melekat di dalamnya sebagaimana perjalanan Islam dari masa kemunculan, masa keemasan dan masa kemunduran. Peran tasawuf sangat penting dalam kiprah sosio-politik nya terlebih peranan tarekat sebagai lembaga yang memiliki peran agama dan sekaligus politik dalam sejarah peradaban Islam. Begitu banyak persoalan umat Islam yang disandingkan dengan tasawuf. Masa kemunduran intelektual, era mistis yang begitu kental, dan ketertinggalan umat Islam sempat dialamatkan kepada tasawuf sejak mulai perbedaan terminologi hingga keaslian ajaran. Maka melalui sudut pandang historis, makalah ini berupaya mendeskripsikan asal usul tasawuf, kiprahnya dalam sosio-politik, keilmuan Islam, dari pertumbuhan hingga kemunculan tarekat sebagai wadah gerakan.




B. Asal-Usul Tasawuf
Dari sisi istilah, para ilmuwan Islam dan para orientalis sampai saat ini masih berdebat tentang asal-usul istilah Tasawuf. Ada pendapat bahwa tasawuf dipengaruhi oleh agama dan tradisi sebelumnya, seperti terambil dari kata shuf, yaitu bulu kasar (wool). Pakaian ini merupakan karakteristik dari pendeta Kristen wilayah Timur. Ada kata Tasawuf juga yang mengatakan berasal dari kata Shafa yang berarti bersih, sebab tujuan kaum sufi adalah kebersihan bathin. Adapula yang mengambil dari kata Shufah yang terambil dari sebuah kamar di samping masjid Rasulullah di Madinah, yang disediakan untuk para sahabat-sahabat Nabi yang miskin tetapi kuat imannya, yang makan minumnya ditanggung oleh orang-orang yang mampu di Madinah. Mereka ini dinamakan ahl al-Shuffah. Kata tasawuf juga disandarkan pada kata Shaff , yaitu barisan shaf ketika sholat. Sebab yang kuat imannya dan murni kebathinannya itu biasanya ketika sholat memilih shaf pertama. Sedangkan Von Hamer menyatakan bahwa Tasawuf terambil dari bahasa Yunani, yaitu Theos dan shopos. Theos berarti Tuhan dan shopos berarti hikmah. Jadi Theoshofis berarti hikmah ketuhanan. Namun pendapat ini banyak dibantah, misalnya ketika kita merujuk pada pendapatnya Ibn Taimiyyah yang menerangkan bahwa istilah tasawuf itu telah digunakan oleh ulama fikih dan orang-orang sufi sebelum abad ketiga Hijriyah, Imam Ahmad ibn Hanbal, Abu Sulaiman al-Darani, dan juga diriwayatkan dari Abu Sofyan al-Tsaury, bahkan ada yang mengatakan Hasan Basri telah menggunakan istilah ini. Jadi, dengan demikian, kata tasawuf itu telah lumrah dipakai oleh orang-orang Arab sebelum ilmu pengetahuan Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Kata Tasawuf memang sudah lumrah digunakan pada abad kedua Hijriyah walaupun sering disebut-sebut pada abad pertama Hijriyah. Orang yang mula-mula diberi gelar sebagai orang sufi adalah Abu Hasyim dari kota Kufah yang meninggal pada tahun 150 H atau 761 M. Akan tetapi orisinalitas ajaran Tasawuf banyak diperdebatkan. Beberapa kalangan menyatakan bahwa Tasawuf bersumber dari ajaran Persia atau Hindu atau Nasrani. Misalnya tentang Ma'rifat (Gnosis), yang merupakan sisa-sisa ajaran filsafat Yunani terutama aliran filsafat yang ada di kota Alexandria. Paham fana' yang merupakan ajaran Nirwana agama Hindu. Bahkan menurut Asywadie, paham Hulul dan Wihdat al-wujud berasal dari ajaran filsafat yang terdapat di sekitar daerah India dan Iran yang mistis. Akan tetapi, menurut hemat penulis, ajaran Tasawuf walaupun istilah ini tidak digunakan serta belum dikenal pada masa Nabi dan sahabat, namun telah dipraktekkan oleh Nabi dan para sahabat serta para Tabi'in. Adapun pengaruh-pengaruh tersebut di atas muncul kemudian.

C. Masa Awal (Abad I dan II H)
Kehidupan sufi memang telah tercermin dari kehidupan Nabi saw. Kehidupan yang sederhana dan jauh dari kemewahan namun rohani yang senantiasa mengingat sang Khaliq. Perilaku zuhd dan penuh ketaqwaan dan kecintaan kepada Allah swt merupakan pedoman yang digunakan pula oleh para sahabat dalam mengikuti perjalanan rohani Nabi. Begitu pula lingkungan sekitar beliau yang dipenuhi para keluarga dan sahabat terbentuk komunitas yang saleh dan nilai rohani yang tinggi jauh dari keserakahan duniawi. Dari sinilah Nabi saw dan para sahabat menjadi prototype kehidupan sufi.
Dari lingkungan kecil orang-orang saleh di sekeliling Nabi itu muncul suatu patokan yang dipakai oleh para Sufi : tiga sikap yakni Islam, Iman dan Ihsan. Al-Qur'an menyebut tentang Islam dan Iman, Islam berarti kepasrahan mutlak dan tunggal dari orang yang beriman kepada kehendak Tuhan dan penerimaannya yang sempurna atas perintah Tuhan seperti yang dikabarkan dalam al-Qur'an; sedang Iman merupakan segi kejiwaan dalam Islam. Dengan demikian, seorang muslim bukan selamanya mukmin, tetapi seorang mukmin pasti seorang muslim. Sedangkan tentang ihsan, menurut hadis oleh Nabi sendiri-ditambah pengertian "bahwa kamu menyembah Allah seakan-akan kau melihat-Nya," sebab meskipun manusia tidak melihat Allah, Allah senantiasa melihat manusia, dan al-Qur'an menekankan bahwa "rahmat menyertai mereka yang menjalankan ihsan (al-Muhsinun)" (7:5). Dengan penambahan unsur ketiga ini, dimulai proses "pembatinan" (interiorization) Islam yang sempurna; sebab seorang penganut harus merasakan bahwa setiap saat ia berada di hadapan Tuhan, bahwa ia harus berlaku penuh hormat dan puja serta tidak terjerumus lagi pada "lelap dalam kelalaian," tak pernah melupakan kehadiran ilahi yang merengkuh segalanya.
Sejarah mencatat, pasca terbunuhnya Ali pada tahun 661 dan berdirinya dinasti Bani Umayyah, aliran-aliran yang berbeda-beda dalam masyarakat menjadi semakin mencolok. Ekspansi terus-menerus yang dilakukan kekaisaran muslim menyebabkan para Sufi merenungkan perbedaan antara ancaman akhirat yang tercantum dalam al-Qur'an dengan pentingnya mengembangkan wilayah kekuasaan Islam. Dinasti ini dituduh menghamba kepada dunia dan kurang beriman, bahkan para sufi sering menyamakan "pemerintah" dengan "kejahatan". Madinah, kota Nabi, merupakan suatu pusat kaum konservatif yang beriman, kelompok-kelompok lain tinggal di pemukiman-pemukiman Muslim yang baru di Irak, propinsi dimana kaumnya bersikap memusuhi Syria, yakni negeri tempat Umayyah mendirikan ibukotanya. Nama yang dikenal menentang sikap pemerintah ini dikenal sebagai imam para Sufi yaitu Hasan al-Basri (728 M). Ia adalah saksi penaklukan-penaklukan gemilang bangsa Arab tahun 711, ketika mereka berhasil menyeberangi selat Jibraltar, mencapai Sind, lembah Indus hilir, dan meletakkan dasar bagi pemerintahan muslim yang masih berlanjut di Pakistan hingga saat ini. Hasan al-Basri melihat fenomena ini sebuah keadaan yang membahayakan bagi masa depan Islam. Kaum muslim kehilangan ruh kebathinannya, mereka berlomba-lomba untuk mengejar kehidupan dunia dan melupakan tentang akhirat serta tidak takut pada ancaman-ancaman yang tercantum dalam al-Qur'an bagi mereka yang menghamba pada dunia.
Hasan al-Basri adalah orang yang mula-mula membicarakan tentang ilmu-ilmu kebathinan, kemurnian akhlak, dan usaha-usaha untuk membersihkan jiwa. Pembicaraan ini dilakukan di masjid Basrah. Segala sesuatu tentang kerohanian diukurnya dari sunnah-sunnah Nabi. Dasar ajarannya dalah zuhd terhadap dunia, menolak kemegahan dunia semata-mata menuju Allah, bertawakkal kepada-Nya, Khauf (takut) dan Raja' (pengharapan). Menurutnya, antara rasa takut kepada kemurkaan Allah, tetapi ikutilah itu dengan pengharapan. Takut akan murka-Nya tetapi mengharap karunianya. Konsep khauf dan Raja' ini kemudian ditingkatkan oleh Rabiah al-Adawiyah dengan zuhd karena cinta. Cinta yang telah suci murni itu lebih tinggi dibanding takut dan pengharapan.

D. Masa Perkembangan Dan Pembentukan (abad III dan IV)
Ketika memasuki abad ketiga dan keempat Hijriyah, ilmu tasawuf berkembang dan telah menunjukkan isinya yang dibagi menjadi tiga hal pokok. Ilmu jiwa, ilmu akhlak, dan methapisika. Misalnya, konsep cinta yang semula dimunculkan oleh Rabi'ah al-Adawiyah ditambah oleh Ma'ruf al-Karkhi dengan thuma'ninah (ketenangan jiwa), sebagai hasil perolehan jiwa karena cinta. Sedangkan Haris al-Muhasibi menjelaskan bahwa cinta adalah anugerah Allah yang ditempatkan ke dalam hati orang yang mencintainya. Kalau cinta itu telah tumbuh, belum tercapai tujuannya sebelum bersatu (ittihad) antara yang mencintai dan yang dicintai.
Kalau pada abad kedua Hijriyah Tasawuf hanya dikenal di kota Kufah dan Bashrah, maka pada permulaan abad ketiga, tasawuf telah berkembang keluar sampai ke kota Baghdad yang menjadi pusat pemerintahan Bani Abbasiyah. Kemudian Tasawuf mengalir dari Baghdad menuju ke Persia kemudian Mesir, Syam dan Semenanjung Arabia.
Adapun tokoh yang terkenal pada zaman ini diantaranya adalah Zunnun al-Mishri (860 M). Beliau adalah murid dari Imam Malik dan boleh dikatakan bahwa beliaulah yang pertama-tama menetapkan teori-teori dasar dalam ilmu Tasawuf seperti ma'rifat (Gnosis), stasiun-stasiun (maqamat), dan keadaan mental (ahwal). Kemudian ada Abu Yazid al-Bustami (877 M) yang melahirkan konsep hulul atau perpaduan antara hamba dan Tuhan serta munculnya istilah al-Sakr (mabuk). Sedangkan Junayd al-Baghdadi (910 M) beranggapan yang terpenting adalah "ketenangan hati" sebagai keadaan tertinggi sesudah sakr (mabuk) sebagai kondisi dimana sekali lagi orang menyadari dirinya berada dalam "hidup Tuhan", yakni segala sifatnya, yang sudah berubah wujud dan sepenuhnya bersifat rohani, dikembalikan kepadanya. Bukan fana' sebagai tujuan akhir melainkan Baqa', suatu kehidupan baru dalam Allah. Adapun sufi terbesar dalam sejarah adalah Mansyur al-Hallaj. Pada masanya lah puncak perkembangan tasawuf. Pandangannya telah menggegerkan dunia fikih. Ia sempat berguru dengan Junayd dan mengembara ke India, Khurasan, dan Turkistan, untuk menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman. Terdapat tiga pokok ajaran al-Hallaj, yakni hulul, al-Haqiqatul muhammadiyah (Nur Muhammad), dan wihdat al-Adyan.
Dari kilasan sejarah di atas nampak bahwa ajaran tasawuf telah berkembang menjadi ajaran mistis dengan pengaruh dari agama dan tradisi-tradisi luar akibat dari meluasnya kekuasaan dan komunikasi Islam dengan dunia luar. Pada masa tersebut juga dimulainya kemunculan tarekat yang akan disinggung pada sub tersendiri.

E. Masa Pertentangan Dan Konsolidasi (abad V H)
Bibit-bibit pertentangan antara ulama fiqih dan tasawuf sebenarnya telah muncul pada abad ketiga dan keempat Hijriyah. Puncaknya adalah dengan dieksekusinya al-Hallaj yang berdampak sangat buruk terhadap keberadaan tasawuf. Hal ini diperparah ketika berkembang madzhab Syi'ah Ismailiyyah, yaitu madzhab yang ingin mengembalikan kekuasaan keturunan Ali ibn Abi Thalib ke atas singgasana khalifah, melalui ajaran-ajaran tertentu yang sangat dirahasiakan. Yang saat itu dikenal dengan Imam 12 serta tentang kemunculan imam mahdi. Propaganda tersembunyi ini ternyata berkolaborasi dengan kepercayaan kaum sufi tentang adanya waliullah. Kedekatan Syi'ah dengan sufi tentu saja memunculkan sikap-sikap dan gerakan anti sufi di sela-sela pertikaian sunni dan syi'ah. Disamping itu, abad kelima dikenal abad perkembangan filsafat dan masuknya filsafat pada ajaran tasawwuf yang melahirkan filsafat tasawuf yang merupakan perpaduan antara Neo-Platonisme dan dipihak lain dengan ajaran Persia dan India.
Dalam kemelut yang berkepanjangan, tampil tokoh yang mecoba mendamaikan ini semua. Ia adalah Abu Hamid al-Ghazali (1111 M). beliau hidup di zaman Nizam al-Mulk seorang menteri besar kerajaan Bani Saljuk. Beliau banyak mengkritik para ulama ilmu kalam yang banyak mengambil cara-cara berpikir kaum filsafat untuk menguatkan dasar ilmu kalam. Menurutnya, filsafat tidaklah akan memperkokoh pendirian keTuhanan melainkan akan menggoyahkannya. Berbeloknya ketertarikan al-Ghazali merupakan sebuah fenomena tersendiri dalam menjawab semua keraguannya yang telah lama ada dalam dirinya. Kendatipun demikian, beliau banyak mengakui kesalahan para sufi sebelumnya. Namun kesalahan itu dapat diperbaiki asal saja dua perkara ini tidak boleh dipisahkan, yang pertama adalah ilmu dan yang kedua adalah amal.
Karya terbesar al-Ghazali adalah 'Ihya ulum al-Din dimana beliau berupaya untuk mendamaikan antara yang dhahir dan yang bathin, antara fiqih dan tasawuf serta ilmu kalam. Hal ini kemudian banyak dijalankan oleh ulama kita sepeninggalan beliau. Yakni mulai terjadinya upaya-upaya pendekatan antara para fukaha dan sufi, antara ahl al-Syari'ah dan ahl al-Haqiqah, antara syariat dan tasawuf. fenomena pendekatan ini melahirkan Neo-sufisme. Sebagaimana yang dikutip oleh Azyumardi Azra, Istilah ini diciptakan oleh Falzur Rahman. Neo-sufisme adalah tasawuf yang telah diperbaharui, yang terutama dilucuti dari ciri dan kandungan ekstatik dan metafisiknya, dan digantikan dengan kandungan yang tidak lain dari dalil-dalil ortodoksi Islam. Tasawuf model ini menekankan dan memperbaharui faktor-faktor moral asli dan kontrol diri yang puritan dalam tasawuf dengan mengorbankan ciri-ciri berlebihan dari tasawuf popular yang menyimpang (unorthodox Sufism), pusat perhatian neo-sufisme adalah rekonstruksi sosio-moral dari masyarakat muslim.

F. Masa sinkretisme dan kemunduran (abad VI –VIII H)
Sejarah mencatat, kegigihan al-Ghazali dalam menahan deras arus filsafat yang masuk ke dalam tasawuf tidak berlangsung lama. Sepeninggal beliau, pada abad keenam, datang aliran baru yatiu sinkretisme (perpaduan) antara ajaran tasawuf dengan filsafat. Ajaran ini merupakan kelanjutan upaya penyelelidikan cara filosofis dalam membuka hijab yang membatasi antara kehidupan lahir dan kehidupan bathin, mencari apa rahasia yang tersembunyi dibalik layar itu.
Ajaran tasawuf pada abad dan ketujuh ini lebih diperkuat pada latihan (riyadhah) dan perjuangan bathin (mujahadah) melalui ibadah dan dzikir. Kemudian muncul istilah-istilah kasyaf, tajalli, wihdat al muthlaqah, hulul dan ittihad. Tokoh yang terkenal pada masa ini adalah Ibn Arabi yang telah menegakkan ajaran tasawuf berdasarkan renungan filosofis dan perasaan tasawuf sehingga membentuk suatu aliran tasawuf baru dengan ajaran wihdatul wujudnya. Munculnya ajaran-ajaran yang dibawa oleh Ibnu Arabi menyulut kembali pertentangan lama. Diantara yang menentangnya secara tidak langsung adalah Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Ibn Khaldun, Ibn Hajar al-Asqalani dan Ibrahim al-Biqa'i.
Kemunduran sufi nampak pada potret kehidupan sufi di Persia. Walaupun di dalamnya lahir tokoh besar sufi seperti Abu Said (1049 M) dan Jalaluddin Rumi (1273 M), yang menganut madzhab wihdat al-wujud, namun peristiwa bersejarah yaitu naiknya kerajaan Shafawi di Persia pada tahun 1502 M dengan raja Syah Ismail membuat nasib tasawuf di Persia semakin memburuk. Syah Ismail menyatakan madzhab Syi'ah sebagai madzhab Negara dan sangat membenci tasawuf dan orang-orang ahl sunnah. Para sufi dikejar-kejar dan dibunuh. Sejak itu tidak banyak dikenal orang lagi ulama tasawuf Persia, hanya ada seorang yang dikenal dengan nama Hafiz Syirazi. Tasawuf terpaksa pindah dan berkembang di India. Tokohnya adalah Syah Waliullah Dahlawi dan Majdudi Alf al-Tsani.
Peristiwa jatuhnya Baghdad ke tangan Mongol berimplikasi besar pada dunia Islam yang bergulir terus hingga berpindahnya kekuasaan dari Asia kecil ke tangan Turki Utsmani membuat umat Islam pada umumnya mengembangkan sikap taqlid. Dari kalangan sufi timbul kegiatan membesar-besarkan kubur para wali, dan campur aduknya tasawuf dengan paham-paham yang lain membuat tasawauf masa ini semakin jauh dari ajaran Islam. Hal ini sebagaimana disebutkan sebelumnya menggugah Ibn Taimiyyah dan muridnya untuk bangkit menentang ajaran wihdat al-wujud, hulul, dan ittihad sehingga lahir buku kecil yang khusus menentang Ibn Arabi yang bernama "Al-Rad 'Ala Ibn 'Arabi". Usaha kedua menjadi inspirasi bagi Syekh Abdul Wahab pada abad keduabelas Hijriyah untuk meneguhkan kembali paham sunnah di tanah Arab berdasarkan madzhab Hambali. Paham ini dikenal dengan paham Wahabi yang dilanjutkan oleh Raja-raja keturunan Ibn Su'ud.

G. Tarekat dan Perkembangannya
Sebagaimana yang tergambar sebelumnya, bahwa tarekat mulai muncul pada abad ketiga Hijriyah. Pada awalnya tarekat merupakan gerakan individual yang dipraktekkan oleh para sufi. Untuk mencapai atau mendekatkan diri kepada Tuhan, maka para sufi mengikuti tarekat yang berarti olah bathin, latihan-latihan, dan bermujahadah di bidang kerohanian.
Kegiatan yang bersifat individual tersebut kemudian pada masanya al-Hallaj mulai diajarkan kepada orang lain yang kemudian juga dipraktekkan oleh para sufi besar lainnya. Dengan demikian timbullah dalam sejarah Islam kumpulan-kumpulan sufi yang memiliki sufi tertentu sebagai syekhnya dengan tarekat tertentu sebagai amalannya, juga pengikut-pengikut atau murid-murid. Pengajaran yang bersifat kolektif ini menggambarkan sebuah hubungan antara guru (mursyid) dan murid sebagai hubungan yang nantinya akan menjadi sandaran bagi munculnya gerakan tarekat yang sistematis dalam bentuk organisasi maupun jaringan.
Pada abad ketiga Hijiryah, gerakan tarekat lebih cenderung terbagi menjadi dua jaringan. Yang pertama aliran Iraqi, yakni aliran yang berkebalikan dengan aliran kedua yaitu aliran Khurasani yang berlandaskan ajaran Abu Yazid al-Bustami dengan ciri ekstase dan sakr. Dalam perjalannya aliran Iraqi dengan ajaran dari Junayd al-baghdadi nampaknya dapat diterima secara luas karena kesesuaiannya dengan ortodoksi Islam. Sejak permulaan abad ketiga belas, beberapa pusat dari daerah tertentu menjadi bibit-bibit tarekat, aliran-aliran mistik atau pusat pengajaran. Hal ini terjadi apabila suatu pusat atau jama'ah terpusat pada seorang pembimbing (mursyid) dalam suatu cara yang baru dan beralih menjadi suatu aliran yang didesain untuk melestarikan namanya, jenis pengajarannya, latihan-latihan mistik, dan aturan kehidupannya. Setiap tarekat ini diturunkan melalui mata rantai yang berkesinambungan atau isnad mistikal. . Spencer Trimingham membagi kawasan tarekat menjadi tiga kawasan utama. Yang pertama adalah kawasan Mesopotamia yang meliputi Baghdad, Syiria, hingga Mesir. Alur utamanya mengikuti Junayd al-Baghdadi, Ma'ruf al-Karkhi dan Sari al-Shaghati. Tarekat yang utama di daerah ini adalah Sughrawardiyah, Rifa'iyah, dan Qadiriyah. Yang kedua adalah kawasan Mesir dan Mghribi dengan tarekat Syadziliyahnya. Yang ketiga kawasan Iraqi dan Khurasani yang berkaitan dengan ajaran dari Junayd al-Baghdadi dan Abu Yazid al-Busthami.
Dalam pandangan Fazlur Rahman, fenomena tarekat menjadi jaringan yang luas tidak semata-mata disebabkan oleh faktor agama saja melainkan juga dipengaruhi oleh faktor sosio-politiknya. Sufisme menurutnya menawarkan suatu pola kehidupan sosial yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial ditengah cengkeraman otoritas Negara. Pada masa kesatuan politik Islam mulai runtuh, organisasi-organisasi sufi memberikan tempat perlindungan bagi rakyat yang merasa tidak aman dari sultan-sultan yang zalim. Dengan bentuknya yang telah terorganisir, tarekat sebagai gerakan sufisme berfungsi sebagai bentuk protes terhadap tirani politik. Di Turki misalnya, gerakan sufi telah memiliki andil dalam pemberontakan menentang Negara dari abad 7 H/13 M hingg abad 11 M/17 M. Di Afrika, berbagai macam ordo sufi terus menerus melakukan perlawan militer terhadap kekuatan-kekuatan Kolonial Eropa.Begitu pula gerakan sufi melawan ulama bukan semata-mata karena alasan agama melainkan kaum ulama terikat hubungan intim dengan penguasa.

H. Penutup
Tasawuf adalah fenomena yang melekat dan tidak dapat dipisahkan dari Islam. Menurut kalangan orientalis, tanpa tasawuf maka Islam tidak ada. Hal ini menunjukkan bahwa sisi bathin dalam ajaran Islam memiliki peran yang sangat substansial sebagai aspek bathiniyah dalam menyokong kegiatan lahiriyah Islam.
Istilah Tasawuf sendiri pada dasarnya telah dipergunakan pada abad kedua hijriyah. Sedangkan orisinalitas ajarannya banyak diperdebatkan. Hal ini disebabkan oleh pertemuan umat Islam dengan berbagai budaya sehingga unsur-unsur mistis dan paham-paham filsafat berbaur ke dalam ajarannya. Sehingga ajaran tasawuf yang awanya sederhana, terbagi menjadi beberapa pokok seperti ilmu jiwa, ilmu akhlak, dan metaphisik.
Tasawuf sempat terseret dalam arus perebutan kekuasaan sehingga nuansa perebutan politik sempat mengancam keberadaan dan kelangsungan ajarannya. Begitu pula pertempuran antara fiqih dan filsafat menjadikan tasawuf semakin tidak menentu. Tokoh yang berupaya mendamaikan ketiganya adalah al-Ghazali, walaupun, pasca beliau tasawuf yang bernuansa filsafat kembali marak dengan tokohnya Ibn Arabi. Akan tetapi, masa gelap tasawuf masih berlangsung sehingga mengkhawatirkan kalangan ulama lain sehingga ada upaya pembersihan tasawuf dari dunia Arab dengan gerakan wahabinya.
Tarekat yang pada mulanya sebagai gerakan indivu kamu sufi, kini telah menjadi gerakan kolektif dengan lembaga-lembaga yang besar. Tarekat bukan hanya menjadi wadah untuk melakukan aktivitas spiritual, melainkan telah menjadi bagian aktivitas sosial politik yang memiliki pengaruh besar dalam berkiprah di setiap komunitas sosial.

No comments: