Friday, February 29, 2008

PESANTREN KILAT; TRADISI INTELEKTUAL DAN SPIRITUAL

Oleh : Muhammad Ikhsan
Semaraknya berbagai kegiatan keagamaan seperti pesantren kilat menjadi fenomena mengembirakan dalam menghidupkan bulan Ramadhan. Pesantren kilat adalah serangkaian kegiatan mendalami dan menghayati ajaran-ajaran Islam yang dilakukan oleh para pelajar untuk mengisi masa liburan mereka. Digunakannya istilah pesantren merujuk pada lembaga pendidikan Islam yang konon tertua dan asli Indonesia. Pada mulanya, pesantren adalah bentuk pendidikan sederhana dimana para santri belajar mengaji dan membaca al-Qur’an dan mempelajari dasar-dasar keislaman. Lambat laun, dengan semakin kompleksnya bidang keilmuan Islam seiring bertambahnya minat untuk belajar agama, pesantren menjelma menjadi pusat kajian dan pendidikan Islam dalam bentuk lembaga dengan manajemen tersendiri. Dengan tradisi dan nilai yang khas, pesantren menjadi kekuatan potensial untuk menciptakan generasi yang memiliki wawasan yang luas sekaligus menghayati nilai-nilai keislaman.
Salah satu alasan dipilihnya pesantren sebagai tempat mengenyam pendidikan adalah keberadaannya sebagai lembaga pendidikan yang mampu meredam dan mentransformasikan berbagai produk sosial akibat gesekan nilai dan budaya global. Bahkan umumnya orang tua percaya bahwa pesantren mampu “menjinakkan” anak-anak mereka dari dislokasi sosial yang muncul dewasa ini sebagai ekses globalisasi nilai-nilai. Artinya, era globalisasi berupa kemajuan teknologi dan pengetahuan sangat memerlukan panduan moral dan spiritual. Sehingga pesantren dipercaya mampu menjembatani dua wilayah sekaligus, yakni wilayah sains dan agama, lepas dari realita bahwa hal tersebut masih memerlukan banyak waktu untuk menjadi integral.
Sistematika penyelenggaraan pendidikan di pesantren kilat tentunya tidak bisa disamakan dengan pesantren yang telah ada saat ini. Penggunaan istilah pesantren kilat merupakan simbol terhadap semangat studi keislaman yang merefleksikan kesungguhan, intensitas, kedalaman makna, serta kedisiplinan dalam memahami dan menghayati agama Islam sebagaimana yang telah dipraktikkan oleh dunia pesantren. Waktu yang sangat pendek membuat materi-materi yang disusun sangat singkat dan padat. Sehingga para tenaga pengajar harus berpikir bekerja dan ekstra keras apabila kegiatan pesantren kilat ingin terlaksana sesuai harapan.
Walaupun pesantren kilat dan pesantren yang sungguhan berbeda. Namun, pada hakikatnya memiliki dua jalur tradisi yang sama. Yakni sama-sama mengembangkan daya intelektual dan spiritual peserta didik atau santrinya. Daya intelektual meliputi pengembangan daya nalar kritis dalam bentuk kajian normatif atas berbagai persoalan yang melingkupinya. Seperti sholat, puasa, dan zakat beserta permasalahan yang dibahas secara sederhana tetapi sering ditemui di masyarakat. Daya spiritual meliputi penghayatan atas kebesaran dan keagungan Allah SWT, kesabaran, kejujuran, dan sikap amanah dan lain sebagainya. Unsur-unsur itu kemudian dikemas dan diolah secara menarik untuk dikenalkan pada peserta didik. Sehingga kedua hal tersebut menjadi modal dasar untuk pembinaan masyarakat muslim sejak dini agar menyenangi ajaran Islam, bersikap kritis sekaligus peka terhadap persoalan sosial.
Minat, semangat, dan antusias yang digalakkan di berbagai daerah melalui pesantren kilat seolah mengingatkan kita pada lintasan sejarah Islam. Betapa pengembaraan intelektual dan spiritual menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tradisi umat Islam terdahulu. Tradisi tersebut telah sangat lama berlangsung, dari semenjak Rasulullah SAW memfungsikan rumah al-Arqam Ibn Abi al-Arqam sebagai tempat belajar, dijadikannya masjid sebagai sentral pendidikan, munculnya kuttab (tempat belajar mengajar di rumah guru, lapangan sekitar masjid ataupun taman umum) hingga pelembagaan pendidikan Islam berupa madrasah bahkan perguruan tinggi.
Sejarah dunia telah mencatat, betapa umat Islam pernah berjaya di bidang ilmu pengetahuan. Masyarakat muslim pada periode Bani Abbasiyyah sampai jatuhnya Baghdad ke tangan Mongol ( 750-1258 M ) pernah mengalami masa keemasan. Umat Islam yang pada awalnya hanya mempelajari ilmu agama kemudian mampu mencapai wilayah sains. Hal ini ditandai dengan internasionalisasi ilmu pengetahuan, munculnya ilmuwan-ilmuwan Islam, bahkan kota-kota besar seperti Baghdad, Cordova, dan Kairo pernah menjadi pusat-pusat peradaban dan kebudayaan dunia.
Kita boleh bertanya-tanya atau sekedar berdecak kagum mengenang kegemilangan masyarakat muslim kala itu. Namun yang patut kita pikirkan adalah apa yang mendasari hal itu semua?. Dari sekian banyak jawaban yang diajukan diantaranya adalah faktor semangat keilmuan (the spirit of knowledge). Semangat keilmuan ini bukan berangkat dari ruang kosong belaka. Semangat keilmuan yang melahirkan tradisi intelektual dan spiritual yang tinggi tidak lain dilandasi oleh semangat pada wahyu pertama, yakni iqra (Q.S. al-’Alaq :1-5). Sebagian kalangan memahami, wahyu pertama yang diturunkan kepada Rasulullah SAW bermuatan dorongan intelektualitas. Sebab, memuat tiga kata kunci, yaitu membaca, mengajar, dan pena. Intelektualitas dalam Islam mendapat perhatian pertama dan utama. Daya pikir atau intelektualitas memacu kreativitas dan sikap kritis umat Islam dalam merespon berbagai persoalan yang dihadapinya. Apabila dikatakan ilmu mengikat akal, sedangkan akal salah satu gerbang Iman, maka kehadiran ilmu menjadi sangat penting dalam Islam.
Yang membedakan Islam dan Barat adalah intelektualitas yang berdiri diatas nilai-nilai spiritual transendental. Dalam pandangan Islam, semangat belajar, mencari ilmu, serta mengembangkannya haruslah bersandar pada tanggung jawab manusia kepada sang Khalik. Sehingga berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi tidak berdampak pada kekosongan spiritual yang menyebabkan matinya nurani dan moral umat manusia.
Berbagai refleksi di atas tidak bermaksud meletakkan standar yang terlalu tinggi bagi pesantren kilat yang hanya berdurasi sangat pendek. Yang perlu kita garisbawahi adalah kemunculan tradisi intelektual dan spiritual bersumber pada semangat, antusias, kesungguhan umat Islam untuk mempelajari dan mendalami pesan-pesan Ilahiah. Mulanya hanyalah kelompok-kelompok kecil yang lambat laun akan menjadi besar. Bukankah kegemilangan dan kejayaan umat Islam pada mulanya berawal dari pengajian kecil di serambi masjid, beranda rumah atau bahkan taman umum?, secara teoritis dapat disebut tradisi-tradisi kecil yang menjelma menjadi sebuah tradisi besar.
Boleh dikatakan, bahwa momentum Ramadahan dengan pesantren kilat di dalamnya semakin mengingatkan kita, bahwa sesungguhnya mempelajari, mendalami, dan menghayati ajaran Islam adalah kewajiban seluruh muslim, bukan hanya kewajiban anak usia sekolah dan ibu-ibu pengajian. Pesantren kilat adalah tonggak awal bagi kesadaran kolektif seluruh lapisan masyarakat untuk mempelajari Islam dengan lebih tekun. Mempelajari Islam bukan sekedar menghafal pelajaran atau melafadzkan huruf namun hendaknya mampu mencapai aspek penghayatan dan pengamalan. Saleh secara individu, harus saleh pula secara sosial. Apabila ajaran Islam mampu mencapai kedua hal tersebut maka sesungguhnya kita telah memiliki modal potensial untuk mampu bangkit dari berbagai keterpurukan yang ada. Pesantren kilat dapat menjadi tradisi positif untuk kajian-kajian Islam dalam bentuk lain secara kontinuitas di masa datang yang bermuara kebangkitan masyarakat muslim secara kualitas atau mungkin akan hanya menjadi wacana imajiner belaka.
Wallahu a’lam.

No comments: