Saturday, March 1, 2008

Dari Sinetron Religius ke Emerging Reason

Dari Sinetron Religius ke Emerging Reason

oleh Ruslani

Sejak pertengahan tahun 2004 televisi di Indonesia banjir dengan sinetron religius bertajuk ”Ilahi”. Diawali dengan sukses TPI menayangkan serial Rahasia Ilahi, yang konon diilhami dari kisah-kisah nyata dalam majalah Hidayah, stasiun TV swasta lain kemudian mengikuti jejak TPI.

SCTV dengan Astaghfirullah dan Kuasa Ilahi; Trans-TV dengan Taubat, Insyaf, dan Istighfar; Lativi dengan Azab Ilahi, Pada-Mu yang Rabb, dan Sebuah Kesaksian; RCTI dengan Tuhan Ada di Mana-mana; ANTV dengan Azab Dunia dan Jalan ke Surga; TV7 dengan Titik Nadir; dan TPI sendiri dengan Takdir Ilahi, Allah Maha Besar, dan Kehendak-Mu.

Sinetron religius semacam ini ternyata mampu mendongkrak peringkat stasiun penayangnya. Rahasia Ilahi dan Takdir Ilahi, misalnya, mampu menjadi kontributor terbesar yang mendongkrak posisi TPI dari tujuh besar ke posisi tertinggi di Indonesia. Berdasarkan survei AC Nielsen, dari 15 Maret sampai 15 April 2005, TPI dengan catu 15,8 persen berada di urutan pertama, disusul SCTV (15,2%), RCTI (14,9%), Indosiar (12,4%), Lativi (11,2%), Trans-TV (10,7%), TV7 (6,2%), ANTV (6,2%), Global TV (2,8%), Metro TV (2,5%), dan TVRI Pusat (1,7%) (Republika, 24 April 2005).

Tak heran jika kemudian hampir semua stasiun TV menayangkan sinetron sejenis. Berdasarkan sumber cerita, sinetron itu dapat dikategorikan menjadi dua.

Pertama, sinetron yang didasarkan pada kisah nyata. TPI dengan Rahasia Ilahi didasarkan pada kisah yang pernah dimuat majalah Hidayah dan Allah Maha Besar didasarkan pada pengalaman nyata penceritanya. SCTV dengan Astaghfirullah didasarkan atas kisah nyata di majalah Ghaib. Trans-TV dengan Taubat mengambil cerita dari majalah Insting. Lativi dengan Azab Ilahi dan Sebuah Kesaksian didasarkan atas narasi atau kesaksian orang-orang yang mengalami atau menyaksikan langsung kejadian yang dituturkan dalam sinetron tersebut.

Kedua, sinetron yang ide ceritanya diambil dari sumber-sumber Islam klasik, terutama hadis-hadis yang dianggap sahih atau dari buku kumpulan cerita yang juga diambil dari kitab-kitab klasik. Sebagian besar hadis yang dijadikan rujukan dalam sinetron—terutama Takdir Ilahi di TPI—adalah hadis Bukhari-Muslim yang dimuat dalam kitab Mi’ah qishshah wa qishshah fi anis al-shalihin wa samir al-muttaqin karya Muhammad Amin Al-Jundi Al-Muttaqin dan kitab Madarij al-salikin karya Ibnu Qayyim Al-Jauziah.

Dalam iklannya, TPI dengan jelas mengatakan bahwa Takdir Ilahi merupakan ”aktualisasi dari peristiwa yang pernah terjadi di zaman Rasulullah”. Sajiannya tentu sudah disesuaikan dengan perkembangan zaman dan formatnya dibuat lebih modern. Untuk lebih meyakinkan penonton, di akhir tayangan sinetron ini TPI menghadirkan seorang ahli hadis, KH Ali Mustafa Yaqub, yang memberi penafsiran dan hikmah yang dapat diambil dari tayangan sinetron itu.

Satu hal yang sama dalam kedua jenis sinetron ini adalah di akhir tayangan dihadirkan seorang kiai, dai, atau agamawan yang dianggap dapat memberi tafsir kontekstual. Meskipun terkesan masih berupa tafsir literal dan lebih menekankan kesalehan ritual, komentar para kiai dan dai ini agaknya menarik perhatian penonton, setidaknya dapat menambah ”kepercayaan” penonton bahwa tayangan tersebut benar-benar bertujuan dakwah, bukan semata-mata bisnis.

Sampai di sini sebenarnya tak ada persoalan. Bahkan sekilas sinetron-sinetron itu dapat memberi semacam kelegaan terhadap dahaga rohani yang mungkin dialami oleh sebagian orang Indonesia. Namun, jika diperhatikan lebih saksama, kita akan menjumpai beberapa kejanggalan: alur cerita yang tak logis, penulisan skenario yang terkesan mengejar waktu dan nguber setoran, dan penafsiran agama yang membuat umat terikat pada simbol-simbol formal tanpa pemaknaan lebih mendalam atas pesan-pesan kemanusiaan yang terdapat dalam setiap agama.

Kesalehan ritual

Pada tayangan perdana Takdir Ilahi, kesalehan sosial mendapatkan tempat cukup penting. Pesan keagamaan yang sangat manusiawi ditonjolkan. Namun, dalam tayangan-tayangan berikutnya, yang lebih ditekankan justru kesalehan ritual. Gambaran Islam sebagai energi pembebas, yang pada awalnya disampaikan Muhammad untuk membebaskan manusia dari perbudakan dan penindasan yang dilakukan manusia lain, berubah menjadi hubungan langsung manusia dengan kekuasaan dan otoritas Tuhan.

Agama yang seharusnya jadi alat membela dan mencerahkan manusia beralih fungsi menjadi senjata untuk ”membela Tuhan” di hadapan manusia. Tuhan pun ditampilkan sebagai Dzat yang ”pendendam” dan kemaruk dengan pujian sehingga siapa pun yang tak memuji-Nya akan mendapat azab yang lebih pedih dibandingkan dengan kesalahan yang pernah dilakukan manusia. Pergulatan manusia sebagai makhluk bebas dan merdeka akhirnya harus berakhir dan menyerah karena intervensi langsung Tuhan.

Charles Fourier membentangkan hal senada ketika mengatakan bahwa agama institusional secara fundamental melakukan traumatisasi karena ia didasarkan atas gambaran atau citra tentang Tuhan sebagai tiran yang kejam (Ricoeur, 1986: 306). Sinetron-sinetron religius di TV bahkan lebih mempertegas citra tersebut ketika membicarakan makna kesalehan bagi seorang wanita. Melalui tayangannya, pengelola stasiun TV tampaknya ingin meneguhkan pemahaman kelompok tertentu mengenai posisi wanita dalam Islam sebagai ”kehendak Tuhan” yang tak boleh dibantah dan harus dipatuhi.

Al Quran dan teks-teks keagamaan lain yang seharusnya diperlakukan sebagai teks terbuka terhadap pelbagai penafsiran dibungkam menjadi teks tertutup karena hanya tafsir tertentu yang dianggap absah dan didakukan mewakili otoritas Tuhan sebagai Pengarang (Author). Dalam konteks ini Amin Abdullah mengungkapkan:

Dengan mengklaim bahwa pemahaman yang paling relevan dan paling benar hanyalah ”kehendak Pengarang” (the Will of Author), maka dengan mudah para pembaca (reader) menggantikan posisi Pengarang (Author)… Di sini terjadi proses perubahan secara instan dan mencolok, yaitu metamorfosis atau menyatunya pembaca (the reader) dengan Pengarang (the Author), …pembaca tanpa peduli dengan keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam diri dan institusinya menjadi Tuhan (Author) yang tidak terbatas (Abdullah dalam Khaled Abou Fadl, 2004: x-xi).

Al Quran dan teks-teks keagamaan lain seharusnya diperlakukan sebagai teks terbuka yang dapat memunculkan dan merangsang terjadinya aktivitas penafsiran konstruktif, bukan teks tertutup yang bertujuan menentukan dan membatasi aktivitas penafsiran secara ketat dan kaku (Umberto Eco, 1979: 47). Dalam teks tertutup, penafsiran yang berbeda akan dicap sebagai bidah dan melanggar kesucian teks yang ditafsirkan. Dalam konteks keagamaan, inilah yang disebut sebagai ”taqdis al-afkar al-diniyyah” atau ”penyakralan buah pemikiran keagamaan” (M Arkoun, 1990: 174).

Kondisi ini sangat berbeda dengan model penafsiran terbuka pada masa Islam klasik. Dalam tradisi Islam klasik, penafsiran etis dan kritik politik berdasarkan teks-teks keagamaan tidak dianggap mendangkalkan norma-norma yang sakral. Moralitas, kesalehan, dan kebiasaan dianggap sebagai persoalan individual yang berorientasi pada tujuan-tujuan sosial. Integritas, keberanian, kelembutan, kedermawanan, keadilan, dan nalar merupakan kebajikan-kebajikan yang dibutuhkan untuk kebahagiaan individual dan kemaslahatan masyarakat.

Sayangnya, komentar yang diberikan sebagai penutup cerita sinetron-sinetron di atas belum beranjak dari penafsiran tekstual dan literal atas teks-teks keagamaan sehingga terkesan kering dan miskin dengan pesan-pesan kemanusiaan. Para komentator cenderung menempatkan diri mereka sebagai penegas atau penjelas formalisme keagamaan yang ditampilkan dalam sinetron itu. Pertarungan abadi antara iblis sebagai sisi yang jahat dan manusia sebagai sisi yang baik tetap berkutat pada persoalan teologis lama bahwa ”iblislah yang menjerumuskan manusia melakukan segala dosa dan kesalahan”.

Padahal, dalam wacana keagamaan—terutama di kalangan kaum Sufi—iblis selalu dipandang dengan dua wajah yang berlawanan. Di satu sisi iblis digambarkan sebagai contoh tentang tauhid (keyakinan akan keesaan Tuhan) yang paling murni karena dia tidak mau menyembah kepada Adam sebagai makhluk Allah, di sisi lain iblis selalu dipandang sebagai kuasa jahat yang membangkang kepada Tuhan dan diberi keleluasaan oleh-Nya untuk membujuk manusia agar melakukan segala perbuatan jahat yang akan menyengsarakan dirinya sendiri maupun orang lain. Namun, pada akhirnya manusialah yang menentukan apa yang akan dia lakukan.

Kesempurnaan perilaku

Persoalan lain yang cukup mengganggu berkaitan dengan sinetron-sinetron yang diangkat dari kisah nyata. Dalam penulisan film yang diangkat dari kisah nyata, biasanya realitas ditampilkan apa adanya meskipun kadang dibutuhkan efek khusus untuk mendramatisasi kejadian yang sebenarnya tak sedramatis gambaran dalam film. Namun, logika ceritanya tetap berpijak pada kenyataan yang ada dan sesuai dengan akal sehat. Artinya, kejadian-kejadian yang ditampilkan tetap merupakan duplikasi dari peristiwa nyata yang boleh jadi akan dialami siapa pun yang hidup sekarang ini.

Lebih dari itu, sinetron-sinetron religius sebagian besar menampilkan ”kesempurnaan” perilaku manusia: sempurna baiknya dan sempurna jahatnya. Karakter baik ditampilkan melalui manusia tanpa cela dan tak pernah salah. Sebaliknya, karakter jahat ditampilkan melalui manusia yang selalu berbuat buruk dan salah tanpa ada penjelasan mengapa dan untuk tujuan apa dia melakukan semua kejahatan yang digambarkan dalam sinetron itu. Padahal, dalam kehidupan nyata, kejahatan selalu mengandaikan adanya motif sang pelaku atau, paling tidak, ada tujuan dan maksud yang ingin dicapai sang pelaku. Kejahatan bukan sesuatu yang alami yang lahir begitu saja sebagai bagian dari karakter seseorang. Kebaikan dan kejahatan lahir dari proses pergulatan panjang manusia untuk menemukan ”jalan kehidupan” yang dipengaruhi pelbagai faktor: ekonomi, sosial, psikis, politik, kultur, insting, dan kepentingan pribadi.

Dalam konteks ini kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa agama dalam bentuk tayangan sinetron semacam ini telah beralih fungsi menjadi ideologi dalam pengertian Marxis, yaitu sebagai penyembunyian realitas dari persoalan konkret sebenarnya yang dihadapi masyarakat. Marx memahami realitas sebagai praksis—aktivitas produktif manusia—dan ideologi sebagai penentangan terhadap praksis. Lebih jauh, Marx mengungkapkan bahwa ”sumber yang sebenarnya dari aktivitas manusia adalah praksis dan bukan kesadaran” (Paul Ricoeur, 1986: xii).

Penyembunyian atau distorsi atas realitas itu kemudian dikemas sedemikian rupa dengan ayat-ayat Al Quran yang sengaja dikutip untuk mendukung peristiwa yang ditayangkan dalam sinetron-sinetron itu. Artinya, telah terjadi semacam ”manipulasi” atas teks kitab suci ketika ayat-ayat yang mendukung ”pandangan-dunia” sinetron itu dikutip dan dijadikan sebagai pembenar dan pendukung. Sementara itu, ayat-ayat bernada lain—yang sudah pasti terdapat dalam Al Quran—tidak dikutip karena tak sejalan dengan ”pandangan-dunia” sinetron tersebut.

Sampai batas tertentu, sinetron-sinetron itu menambah daftar panjang hal-hal yang seharusnya ”terpikirkan” menjadi ”tak-terpikirkan” (istilah M Arkoun). Yang ”tak-terpikirkan” pada awalnya merupakan wilayah yang ”terpikirkan” (thinkable) sebelum adanya ortodoksi agama yang menerapkan penafsiran tunggal atas agama dengan memberangus tafsir-tafsir lain. Mohammad Arkoun (2002: 13) mencatat adanya dua fakta historis yang amat penting terkait dengan wacana ini. Pertama, keberhasilan spektakuler dari filsafat dan ilmu-ilmu Yunani dalam logosphere Arab di bawah kontrol politik rezim Islam dari abad ke-8 sampai abad ke-13. Kedua, pengembangan berbagai cakrawala nalar keagamaan melalui mazhab-mazhab teologi dan hukum yang dinamis.

Mazhab Mu’tazilah banyak memberi sumbangan dalam memunculkan berbagai persoalan yang terpikirkan—misalnya persoalan firman Tuhan yang diciptakan. Sayangnya, hal-hal yang semula ”terpikirkan” ini dinyatakan ”tak-terpikirkan” oleh Khalifah al-Qadir pada abad ke-11. Filsafat di dunia Islam, sebagaimana diwarisi dari pemikiran Yunani Klasik, menemui senjakala setelah wafatnya Ibn Rusyd (1198) meskipun tetap bertahan di Iran dalam bentuk teodesi dan teosofi. Mazhab Mu’tazilah dilarang oleh dekrit-dekrit yang terkenal dari Al-Qadir pada tahun 1017-1018 dan tahun 1029 hingga saat ini. Para ulama secara resmi ”mengabdi” mempertahankan ortodoksi, menolak pengaktifan kembali yang ”terpikirkan” yang telah diperkenalkan dan dikembangkan oleh para pemikir orisinal yang inovatif dalam periode klasik.

”Emerging Reason”

Ketika para penafsir periode klasik menafsirkan Al Quran untuk menghasilkan apa yang kita sebut sebagai ”hukum Islam”, mereka mengembangkan penelitian linguistik tentang bahasa. Mereka juga mengembangkan pengetahuan historis untuk mengetahui sejarah teks dan bahasa saat itu. Mereka mengembangkan alat-alat retorik untuk mengetahui retorika wacana zaman itu. Mereka melakukan penelitian menyeluruh yang akan mengantarkan kita memunculkan persoalan status kognitif teks Al Quran dan tafsir-tafsirnya yang pada dirinya sendiri merupakan korpus pengetahuan, bentuk pengetahuan yang dibangun atas dasar sistem kognitif tertentu.

Artinya, ketika menulis sejarah pemikiran, kita akan keliru jika hanya menulis sejarah tentang gagasan-gagasan yang terpisah dan berbeda. Kita harus melihat pelbagai sistem yang mengendalikan tiap periode sejarah serta gagasan-gagasan yang digunakan masyarakat, baik dalam bidang filsafat, teologi, etika, atau hukum. Sayangnya, kita belum terbiasa melihat sejarah pelbagai sistem pemikiran untuk mendekonstruksi sistem-sistem ini guna mengetahui sistem-sistem epistemologis yang membangun pengetahuan tertentu. Di sinilah relevansi dari gagasan Arkoun mengenai Emerging Reason (ER). Gagasan ini dikembangkan Arkoun karena tak mau mengikuti nalar prosedural yang mungkin relevan dengan kritik wacana yuridis, tetapi tidak dapat memenuhi tugas-tugas dan eksplorasi-eksplorasi dalam pelbagai bidang yang lain.

Dengan tegas Arkoun mengatakan, ”Emerging Reason goes beyond the punctual, particular methodological improvements actualized in some fields of research, or in some disciplines applied to the study of different aspects of Islam and other non-Western cultures. It is concerned with the philosophical subversion of the use of reason itself and all forms of rationality …not to repeat the ideological compromises and derivations of the precedent postures and performances of reason…. ER will be continuously emerging to reassess its critical function (Arkoun, Ibid: 23-24).

Dengan ER setidaknya kita dapat membuka ”ruang baru” bagi sejarah Islam yang selama ini ditutup melalui ortodoksi dan keputusan-keputusan politik. ER berusaha membuka ruang yang seluas-luasnya dan memberikan landasan tidak hanya bagi orang-orang besar yang selama ini bersuara keras dan menulis buku-buku besar yang masih kita baca dan kita pelajari hingga saat ini, tetapi juga memberi suara kepada kelompok-kelompok yang selama ini dibungkam.

Sudah saatnya kita memberi dukungan kepada mereka yang selama ini dipinggirkan. Agama tidak boleh lagi dimobilisasi untuk melegitimasi strategi-strategi sinis yang dihasilkan oleh dominasi politik dan ekonomi.

* Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

No comments: