Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan |
Oleh Falah Yunus |
A. Latar Belakang Ada tiga faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan yaitu : kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational production function atau input-input analisis yang tidak consisten; 2) penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik; 3) peran serta masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan sangat minim (Husaini Usman, 2002). Berdasarkan penyebab tersebut dan dengan adanya era otonomi daerah yang sedang berjalan maka kebijakan strategis yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dalam meningkatkan mutu pendidikan untuk mengembangkan SDM adalah : (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (school based management) dimana sekolah diberikan kewenangan untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara keseluruhan; (2) Pendidikan yang berbasiskan pada partisipasi komunitas (community based education) di mana terjadi interaksi yang positif antara sekolah dengan masyarakat, sekolah sebagai community learning center; dan (3) Dengan menggunakan paradigma belajar atau learning paradigm yang akan menjadikan pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia yang diberdayakan. Selain itu pada tanggal 2 Mei 2002, bertepatan hari pendidikan nasional, pemerintah telah mengumumkan suatu gerakan nasional untuk peningkatan mutu pendidikan, sekaligus menghantar perluasan pendekatan Broad Base Education System (BBE) yang memberi pembekalan kepada pelajar untuk siap bekerja membangun keluarga sejahtera. Untuk merealisasikan kebijakan diatas maka sekolah perlu melakukan manajemen peningkatan mutu. Manajemen Peningkatan Mutu (MPM) ini merupakan suatu model yang dikembangkan di dunia pendidikan, seperti yang telah berjalan di Sidney, Australia yang mencakup : a) School Review, b) Quality Assurance, dan c) Quality Control, dipadukan dengan model yang dikembangkan di Pittsburg, Amerika Serikat oleh Donald Adams, dkk. Dan model peningkatan mutu sekolah dasar yang dikembvangkan oleh Sukamto, dkk. Dari IKIP Yogyakarta (Hand Out, Pelatihan calon Kepala Sekolah). Manajemen peningkatan mutu sekolah adalah suatu metode peningkatan mutu yang bertumpu pada sekolah itu sendiri, mengaplikasikan sekumpulan teknik, mendasarkan pada ketersediaan data kuantitatif & kualitatif, dan pemberdayaan semua komponen sekolah untuk secara berkesinambungan meningkatkan kapasitas dan kemampuan organisasi sekolah guna memenuhi kebutuhan peserta didik dan masyarakat. Dalam Peningkatan Mutu yang selanjutnya disingtkat MPM, terkandung upaya a) mengendalikan proses yang berlangsung di sekolah baik kurikuler maupun administrasi, b) melibatkan proses diagnose dan proses tindakan untuk menindak lanjuti diagnose, c) memerlukan partisipasi semua fihak : Kepala sekolah, guru, staf administrasi, siswa, orang tua dan pakar. Berdasarkan pengertian di atas dapat difahami bahwa Manajemen Peningkatan Mutu memiliki prinsip :
Adapun penyusunan program peningkatan mutu dengan mengaplikasikan empat teknik : a) school review, b) benchmarking, c) quality assurance, dan d) quality control. Berdasarkan �Panduan Manajemen Sekolah (2000:200-202) dijelaskan sebagai berikut : a. School review Suatu proses dimana seluruh komponen sekolah bekerja sama khususnya dengan orang tua dan tenaga profesional (ahli) untuk mengevaluasi dan menilai efektivitas sekolah, serta mutu lulusan. School review dilakukan untuk menjawab pertanyaan berikut : 1. Apakah yang dicapai sekolah sudah sesuai dengan harapan orang tua siswa dan siswa sendiri ? 2. Bagaimana prestasi siswa ? 3. Faktor apakah yang menghambat upaya untuk meningkatkan mutu ? 4. Apakah faktor-faktor pendukung yang dimiliki sekolah ? School review akan menghasilkan rumusan tentang kelemahan-kelemahan, kelebihan-kelebihan dan prestasi siswa, serta rekomendasi untuk pengembangan program tahun mendatang. b. Benchmarking : Suatu kegiatan untuk menetapkan standar dan target yang akan dicapai dalam suatu periode tertentu. Benchmarking dapat diaplikasikan untuk individu, kelompok ataupun lembaga. Tiga pertanyaan mendasar yang akan dijawab oleh benchmarking adalah :
Langkah-langkah yang dilaksanakan adalah :
c. Quality assurance Suatu teknik untuk menentukan bahwa proses pendidikan telah berlangsung sebagaimana seharusnya. Dengan teknik ini akan dapat dideteksi adanya penyimpangan yang terjadi pada proses. Teknik menekankan pada monitoring yang berkesinambungan, dan melembaga, menjadi subsistem sekolah. Quality assurance akan menghasilkan informasi, yang :
Untuk melaksanakan quality assurance menurut Bahrul Hayat dalam hand out pelatihan Calon kepala sekolah (2000:6), maka sekolah harus :
d. Quality control Suatu sistem untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan kualitas output yang tidak sesuai dengan standar. Quality control memerlukan indikator kualitas yang jelas dan pasti, sehingga dapat ditentukan penyimpangan kualitas yang terjadi. B. Manajemen Mutu Terpadu Di Sekolah Manajemen Mutu Terpadu yang diterjemahkan dari Total Quality Management (TQM) atau disebut pula Pengelolaan Mutu Total (PMT) adalah suatu pendekatan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu komponen terkait. M. Jusuf Hanafiah, dkk (1994:4) mendefinisikan Pengelolaan Mutu Total (PMT) adalah suatu pendekatan yang sistematis, praktis, dan strategis dalam menyelenggarakan suatu organisasi, yang mengutamakan kepentingan pelanggan. pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan dan mengendalikan mutu. Sedang yang dimaksud dengan Pengeloaan Mutu Total (PMT) Pendidikan tinggi (bisa pula sekolah) adalah cara mengelola lembaga pendidikan berdasarkan filosofi bahwa meningkatkan mutu harus diadakan dan dilakukan oleh semua unsur lembaga sejak dini secara terpadu berkesinambungan sehingga pendidikan sebagai jasa yang berupa proses pembudayaan sesuai dengan dan bahkan melebihi kebutuhan para pelanggan baik masa kini maupun yang akan datang. Komponen yang terkait dengan mutu pendidikan yang termuat dalam buku �Panduan Manajemen Sekolah� (2000: 191) adalah 1) siswa : kesiapan dan motivasi belajarnya, 2) guru : kemampuan profesional, moral kerjanya (kemampuan personal), dan kerjasamanya (kemampuan social). 3) kurikulum : relevansi konten dan operasionalisasi proses pembelajarannya, 4) dan, sarana dan prasarana : kecukupan dan keefektifan dalam mendukung proses pembelajaran, 5) Masyarakat (orang tua, pengguna lulusan, dan perguruan tinggi) : partisipasinya dalam pengembangan program-program pendidikan sekolah. Mutu komponen-komponen tersebut di atas menjadi fokus perhatian kepala sekolah. Adapun prinsip dari MMT dalam buku tersebut yaitu selama ini sekolah dianggap sebagai suatu �Unit Produksi�, dimana siswa sebagai bahan mentah dan lulusan sekolah sebagai hasil produksi. Dalam MMT sekolah dipahami sebagai �Unit Layanan Jasa�, yakni pelayanan pembelajaran. Sebagai unit layanan jasa, maka yang dilayani sekolah (pelanggan sekolah ) adalah: 1) Pelanggan internal : guru, pustakawan, laboran, teknisi dan tenaga administrasi, 2) Pelanggan eksternal terdiri atas : pelanggan primer (siswa), pelanggan sekunder (orang tua, pemerintah dan masyarakat), pelanggan tertier (pemakai/penerima lulusan baik diperguruan tinggi maupun dunia usaha). C. Permasalahan Masalah-masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan manajemen peningkatan mutu pendidikan sebagaimana dikemukakan oleh Hanafiah, dkk adalah : pertama sikap mental para pengelola pendidikan, baik yang memimpin maupun yang dipimpin. Yang dipimpin bergerak karena �perintah� atasan, bukan karena rasa tanggung jawab. Yang memimpin sebaliknya, tidak memberi kepercayaan, tidak memberi kebebasan berinisiatif, mendelegasikan wewenang. Masalah kedua adalah tidak adanya tindak lanjut dari evaluasi program. Hampir semua program dimonitor dan dievaluasi dengan baik, Namun tindak lanjutnya tidak dilaksanakan. Akibatnya pelaksanaan pendidikan selanjutnya tidak ditandai oleh peningkatan mutu. Masalah ketiga adalah gaya kepemimpinan yang tidak mendukung. Pada umumnya pimpinan tidak menunjukkan pengakuan dan penghargaan terhadap keberhasilan kerja stafnya. Hal ini menyebabkan staf bekerja tanpa motivasi. Masalah keempat adalah kurangnya �rasa memiliki� pada para pelaksana pendidikan. Perencanaan strategis yang kurang dipahami para pelaksana, dan komunikasi dialogis yang kurang terbuka. Prinsip �melakukan sesuatu secara benar dari awal� belum membudaya. Pelaksanaan pada umumnya akan membantu sustu kegiatan, kalau sudah ada masalah yang timbul. Hal inipun merupakan kendala yang cukup besar dalam peningkatan dan pengendalian mutu. (M. Jusuf Hanafiah dkk, 1994:8). D. Analisis Masalah Dan Pemecahan Masalah Sikap mental bawahan yang bekerja bukan atas tanggung jawab, tetapi hanya karena diperintah atasan akan membuat pekerjaan yang dilaksanakan hasilnya tidak optimal. Guru hanya bekerja berdasarkan petunjuk dari atas, sehingga guru tidak bisa berinisitiaf sendiri. Sementara itu pimpinan sendiri punya sikap mental yang negatif dimana ia tidak bisa memberikan kesempatan bagi bawahan untuk berkarir dengan baik, bawahan harus mengikuti pada petunjuk atasan, bawahan yang selalu dicurigai, bawahan yang tidak bisa bekerja sesuai dengan caranya. Kenyatan ini karena profil kepala sekolah yang belum menampilkan gaya entrepeneur dan gaya memimpin situasional. Penelitian Usman (1996) menyimpulkan bahwa pelaksanaan Pengembangan Sekolah Seutuhnya (PSS) di SMK mengalami kegagalan karena kepala sekolahnya masih cenderung manampilkan gaya kepemimpinan otoriter, hal ini karena lemahnya kemandirian sekolah akibat pembinaan pemerintah yang sangat sentralistik. Birokratik, formalistik, konformistik, uniformistik dan mekanistik. Pembinaan yang demikian ini tidak memberdayakan potensi sekolah. Akibatnya, setiap hierarki yang berada di bawah kekuasaan bersikap masa bodoh, apatis, diam supaya aman, menunggu perintah, tidak kreatif dan tidak inovatif, kurang berpartisipasi dan kurang bertanggung jawab, membuat laporan asal bapak senang dan takut mengambil resiko. Kelemahan sistem sentralistik dengan komunikasi dari atas ke bawah lebih menekankan fingsinya sebagai line of command dan tidak fungsinya sebagai line of services, hal ini tampaknya merintangi perkembangan-perkembangan potensi SDM untuk memcahkan masalah-masalah khusus on the spot (Sutisna, 1972 dalam Husaini Usman, 2001).Hal tersebut merupakan penghalang dalam pelaksanaan manajemen mutu pendidikan, maka solusinya adalah dengan diadakannya penerapan pendidikan yang tidak sentralistik, sehingga pola manajemen pendidikan dapat disesuaikan dari pola lama ke pola baru. Program peningkatan mutu pendidikan tidak akan jalan jika setelah diadakannya monitoring dan evaluasi tanpa ditindaklanjuti. Fungsi pengawasan (controlling) dalam manajemen berguna untuk membuat agar jalannya pelaksanaan manajemen mutu sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Pengawasan bertujuan untuk menilai kelebihan dan kekurangan. Apa-apa yang salah dintinjau ulang dan segera diperbaiki. Tidak adanya tindak lanjut bisa disebabkan karena rendahnya etos kerja para pengelola pendidikan, iklim organisasi yang tidak menyenangkan. Mengenai etos kerja Pidarta (1998), mengutip hasil penelitian Internasional bahwa Indonesia sebagai bangsa termalas nomor tiga dari 42 negara termalas di dunia. Temuan Pidarta tersebut mendukung temuan Muchoyar (1995, dan Rasyid, 1995 dalam Husaini Usman) yang menyatakan etos kerja dosen dan karyawan IKIP cenderung rendah. Agar program dapat dimonitor dan ditindaklanjuti maka perlu melibatkan semua pihak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan partisipatif ialah suatu cara pengambilan keputusan yang terbuka dan demokratis yang melibatkan seluruh stakeholders di dewan sekolah. Asumsinya jika seseorang diundang untuk pengambilan keputusan, maka ia kan merasa dihargai, dilibatkan, memiliki, bertanggung jawab. Pelibatan stakeholders didasarkan keahlian, batas kewenangan, dan relevansinyan dengan tujuan pengambilan keputusan. Gaya kepemimpinan yang tidak mendukung, akan mengakibatkan gagalnya pelaksanaan manajemen peningkatan mutu. Kepala sekolah harus senantiasa memahami sekolah sebagai suatu sistem organic. Untuk itu kepala sekolah harus lebih berperan sebagai �pemimpin� dibandingkan sebagai �manager�. Sebagai leader maka kepala sekolah harus : a. Lebih banyak mengarahkan daripada mendorong atau memaksa b. Lebih bersandar pada kerjasama dalam menjalankan tugas dibandingkan bersandar pada kekuasaan atau SK. c. Senantiasa menanamkan kepercayaan pada diri guru dan staf administrasi. Bukannya menciptakan rasa takut. d. Senantiasa menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu daripada menunjukkan bahwa ia tahu sesuatu. e. Senantiasa mengembangkan suasana antusias bukannya mengembangkan suasana yang menjemukan f. Senantiasa memperbaiki kesalahan yang ada daripada menyalahkan kesalahan pada seseorang, bekerja dengan penuh ketangguhan bukannya ogah-ogahan karena serba kekurangan(Boediono,1998). Menurut Poernomosidi Hadjisarosa (1997 dalam slamet, PH, 2000), kepala sekolah merupakan salah satu sumberdaya sekolah yang disebut sumberdaya manusia jenis manajer (SDM-M) yang memiliki tugas dan fungsi mengkoordinasikan dan menyerasikan sumberdaya manusia jenis pelaksana (SDM-P) melalui sejumlah input manajemen agar SDM-P menggunakan jasanya untuk bercampur tangan dengan sumberdaya selebihnya (SD-slbh), sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik untuk menghasilkan output yang diharapkan. Secara umum, karakteristik kepala sekolah tangguh dapat dituliskan sebagai berikut (Slamet, PH,2000) : Kepala sekolah: (a) memiliki wawasan jauh kedepan (visi) dan tahu tindakan apa yang harus dilakukan (misi) serta paham benar tentang cara yang akan ditempuh (strategi); (b) memiliki kemampuan mengkoordinasikan dan menyerasikan seluruh sumberdaya terbatas yang ada untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan sekolah (yang umumnya tak terbatas); (c) memiliki kemampuan mengambil keputusan dengan terampil (cepat, tepat, cekat, dan akurat); (d) memiliki kemampuan memobilisasi sumberdaya yang ada untuk mencapai tujuan dan yang mampu menggugah pengikutnya untuk melakukan hal-hal penting bagi tujuan sekolahnya; (e) memiliki toleransi terhadap perbedaan pada setiap orang dan tidak mencari orang-orang yang mirip dengannya, akan tetapi sama sekali tidak toleran terhadap orang-orang yang meremehkan kualitas, prestasi, standar, dan nilai-nilai; (f) memiliki kemampuan memerangi musuh-musuh kepala sekolah, yaitu ketidakpedulian, kecurigaan, tidak membuat keputusan, mediokrasi, imitasi, arogansi, pemborosan, kaku, dan bermuka dua dalam bersikap dan bertindak. 1. Kepala sekolah menggunakan "pendekatan sistem" sebagai dasar cara berpikir, cara mengelola, dan cara menganalisis kehidupan sekolah. Oleh karena itu, kepala sekolah harus berpikir sistem (bukan unsystem), yaitu berpikir secara benar dan utuh, berpikir secara runtut (tidak meloncat-loncat), berpikir secara holistik (tidak parsial), berpikir multi-inter-lintas disiplin (tidak parosial), berpikir entropis (apa yang diubah pada komponen tertentu akan berpengaruh terhadap komponen-komponen lainnya); berpikir "sebab-akibat" (ingat ciptaan-Nya selalu berpasang-pasangan); berpikir interdipendensi dan integrasi, berpikir eklektif (kuantitatif + kualitatif), dan berpikir sinkretisme. 2. Kepala sekolah memiliki input manajemen yang lengkap dan jelas, yangditunjukkan oleh kelengkapan dan kejelasan dalam tugas (apa yang harus dikerjakan, yang disertai fungsi, kewenangan, tanggungjawab, kewajiban, dan hak), rencana (diskripsi produk yang akan dihasilkan), program (alokasi sumberdaya untuk merealisasikan rencana), ketentuan-ketentuan/limitasi (peraturan perundang-undangan, kualifikasi, spesifikasi, metoda kerja, prosedur kerja, dsb.), pengendalian (tindakan turun tangan), dan memberikan kesan yang baik kepada anak buahnya. 3. Kepala sekolah memahami, menghayati, dan melaksanakan perannya sebagai manajer (mengkoordinasi dan menyerasikan sumberdaya untuk mencapai tujuan), pemimpin (memobilisasi dan memberdayakan sumberdaya manusia), pendidik (mengajak nikmat untuk berubah), wirausahawan (membuat sesuatu bisa terjadi), penyelia (mengarahkan, membimbing dan memberi contoh), pencipta iklim kerja (membuat situasi kehidupan kerja nikmat), pengurus/administrator (mengadminitrasi), pembaharu (memberi nilai tambah), regulator (membuat aturan-aturan sekolah), dan pembangkit motivasi (menyemangatkan). Catatan: manajer tangguh, menurut hasil-hasil penelitian kelas kakap dunia, paling tidak memiliki sejumlah kompetensi seperti berikut. Menurut Enterprising Nation (1995), manajer tangguh memiliki delapan kompetensi, yaitu: (a) people skills, (b) strategic thinker, (c) visionary, (d) flexible and adaptable to change, (e) self-management, (f) team player, (g) ability to solve complex problem and make decisions, and (h) ethical/high personal standards. Sedang American Management Association (1998) menuliskan 18 kompetensi yang harus dimiliki manajer tangguh, yaitu: (a) efficiency orientation, (b) proactivity, (c) concern with impact, (d) diagnostic use of concepts, (e) use of unilateral power, (f) developing others, (g) spontaneity, (h) accurate self-assessment, (i) self-control, (j) stamina and adaptability, (k) perceptual objectivity, (l) positive regard, (m) managing group process, (n) use of sosialized power, (o) self-confidence, (p) conceptualization, (q) logical thought, and (r) use of oral presentation. 4. Kepala sekolah memahami, menghayati, dan melaksanakan dimensi-dimensi tugas (apa), proses (bagaimana), lingkungan, dan keterampilan personal, yang dapat diuraikan sebagai berikut: (a) dimensi tugas terdiri dari: pengembangan kurikulum, manajemen personalia, manajemen kesiswaan, manajemen fasilitas, pengelolaan keuangan, hubungan sekolah-masyarakat, dsb; (b) dimensi proses, meliputi pengambilan keputusan, pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program, pengkoordinasian, pemotivasian, pemantauan dan pengevaluasian, dan pengelolaan proses belajar mengajar; (c) dimensi lingkungan meliputi pengelolaan waktu, tempat, sumberdaya, dan kelompok kepentingan; dan (d) dimensi keterampilan personal meliputi organisasi diri, hubungan antar manusia, pembawaan diri, pemecahan masalah, gaya bicara dan gaya menulis (Lipham, 1974; Norton, 1985). 5. Kepala sekolah mampu menciptakan tantangan kinerja sekolah (kesenjangan antara kinerja yang aktual/nyata dan kinerja yang diharapkan). Berangkat dari sini, kemudian dirumuskan sasaran yang akan dicapai oleh sekolah, dilanjutkan dengan memilih fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran, lalu melakukan analisis SWOT (Strength, Weaknes, Opportunity, Threat) untuk menemukan faktor-faktor yang tidak siap (mengandung persoalan), dan mengupayakan langkah-langkah pemecahan persoalan. Sepanjang masih ada persoalan, maka sasaran tidak akan pernah tercapai. 6. Kepala sekolah mengupayakan teamwork yang kompak/kohesif dan cerdas, serta membuat saling terkait dan terikat antar fungsi dan antar warganya, menumbuhkan solidaritas/kerjasama/kolaborasi dan bukan kompetisi sehingga terbentuk iklim kolektifitas yang dapat menjamin kepastian hasil/output sekolah. 7. Kepala sekolah menciptakan situasi yang dapat menumbuhkan kreativitas dan memberikan peluang kepada warganya untuk melakukan eksperimentasi-eksperimentasi untuk menghasilkan kemungkinan-kemungkinan baru, meskipun hasilnya tidak selalu benar (salah). Dengan kata lain, kepala sekolah mendorong warganya untuk mengambil dan mengelola resiko serta melindunginya sekiranya hasilnya salah. 8. Kepala sekolah memiliki kemampuan dan kesanggupan menciptakan sekolah belajar . 9. Kepala sekolah memiliki kemampuan dan kesanggupan melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah sebagai konsekuensi logis dari pergeseran kebijakan manajemen, yaitu pergeseran dari Manajemen Berbasis Pusat menuju Manajemen Berbasis Sekolah (dalam kerangka otonomi daerah). Untuk lebih jelasnya, lihat Gambar 2 "Pergeseran Kebijakan dari Manajemen Berbasis Pusat menuju Manajemen Berbasis Sekolah" (Slamet PH, 2000). 10. Kepala sekolah memusatkan perhatian pada pengelolaan proses belajar mengajar sebagai kegiatan utamanya, dan memandang kegiatan-kegiatan lain sebagai penunjang/pendukung proses belajar mengajar. Karena itu, pengelolaan proses belajar mengajar dianggap memiliki tingkat kepentingan tertinggi dan kegiatan-kegiatan lainnya dianggap memiliki tingkat kepentingan lebih rendah. 11. Kepala sekolah mampu dan sanggup memberdayakan sekolahnya (Slamet PH, 2000), terutama sumberdaya manusianya melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan sumberdaya. Kurangnya �rasa memiliki� pada para pelaksana pendidikan. Perencanaan strategis yang kurang dipahami para pelaksana, dan komunikasi dialogis yang kurang terbuka. Prinsip �melakukan sesuatu secara benar dari awal� belum membudaya merupakan penghalang dalam pelaksanaan manajemen peningkatan mutu. Untuk itu perlu ditanamkan kepada warga sekolah untuk mempunyai �rasa memiliki�, bangga terhadap sekolahnya. Hal ini bisa terlaksana jika para warga sekolah itu merasa puas terhadap pelayanan sekolah. Dalam MMT (Manajemen Mutu Terpadu) keberhasilan sekolah diukur dari tingkat kepuasan pelanggan, baik internal maupun eksternal. Sekolah dikatakan berhasil jika mampu memberikan pelayanan sama atau melebihi harapan pelanggan. Dilihat jenis pelanggannya, maka sekolah dikatakan berhasil jika :
E. Kesimpulan Dan Saran Berdasarkan uraian diatas maka dapat penulis disimpulkan sebagai berikut : 1. Berdasarkan rendahnya mutu SDM pada era otomomi daerah dan menyongsong era global, maka perlu bagi pemerintah untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional. Dalam perbaikan mutu pendidikan tersebut manajemen mutu yang diadaptasi dari Total Quality Management yang ada Industri Modern, layak untuk diadaptasai dalam Manajemen Pendidikan. Pada prinsipnya manajemen mutu ini berbasis sekolah memberdayakan semua komponen sekolah, dan sekolah sebagai unit produksi yang melayani siswa, orang tua, pihak pemakai/penerima lulusan, dan guru/karyawan. 2. Masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan manajemen peningkatan mutu adalah sikap mental para pengelola pendidikan, tidak adanya tindak lanjut dari evaluasi program, gaya kepemimpinan yang tidak mendukung, kurangnya �rasa memiliki� para pelaksana pendidikan. Dan belum membudayanya prinsip �melakukan sesuatu secara benar dari awal�. Kendala-kendala itu disebabkan oleh adanya kepemimpinan yang tidak berjiwa entrepeneur dan tidak tangguh, adanya sentralistrik manajemen pendidikan, dan rendahnya etos kerja apara pengelola, kurangnya melibatkan semua pihak untuk berpartisipasi. Dari kesimpulan tersebut penulisan ini perlu penulis sarankan sebagai berikut : 1. Manajemen Peningkatan Mutu yang sering di seminarkan dan dikenalkan pada dunia pendidikan, ternyata banyak warga sekolah terutama guru yang belum tahu, kenal, dan memahami. Kebanyakan hanya diketahui oleh kepala sekolah, dan calon kepala sekolah. Disarankan agar hal ini disebarluaskan dan betul-betul bisa dilaksanakan di sekolah-sekolah. 2. Perlu ditingkatkan etos kerja, motivasi, kerjasama tim, moral kerja yang baik, punya rasa memiliki, mau bekerja keras agar Manajemen Mutu Pendidikan dapat terlaksana secara optimal sehingga mampu menghasilkan Mutu SDM. Disamping itu diperlukan seorang kepala sekolah yang berjiwa �pemimpin� dengan visi yang baik. DAFTAR PUSTAKA : Anonim, 2000. Panduan Manajemen Sekolah, Depdiknas, Dikmenum Anonim, 2000. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan/Kultur Sekolah, Depdiknas, hand out pelatihan calon kepala sekolah, Direktorat Sekolah lanjutan Pertama, 2000 Gaspersz, Vincent. 2000. Penerapan Total Management In Education (TQME) Pada Perguruan Tinggi di Indonesia, Jurnal Pendidikan (online), Jilid 6, No. 3 (http://www.ut.ac.id diakses 20 Januari 2001). Hanafiah, M. Jusuf, dkk, 1994. Pengelolaan Mutu Total Pendidikan Tinggi, Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Nasution, MN, 2000. Manajemen Mutu Terpadu, Ghalia Indonesia, Jakarta Slamet, PH. 2000. Karakteristik Kepala Sekolah Yang Tangguh, Jurnal Pendidikan, Jilid 3, No. 5 (online) (http://www.ut.ac.id diakses 20 Januari 2001). Usman, Husaini, Peran Baru Administrasi Pendidikan dari Sistem Sentralistik Menuju Sistem Desentralistik, dalam Jurnal Ilmu Pendidikan, Februari 2001, Jilid 8, Nomor 1. |
No comments:
Post a Comment