Thursday, May 1, 2008

Manhaj Muhaddithin Dalam Penyusunan Kitab Hadith Abad IV-VI Hijriah

Oleh : Muhid dari IAIN Sunan Ampel

Abstrak: Artikel ini membahas metode (manhaj) ulama’ hadith (muhaddithin) dalam menyusun kitab-kitab hadith pada abad IV-VI H. Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan menurut penulis terdapat beberapa metode ulama’ hadith dalam menyusun kitab-kitab hadith, yaitu;al-atraf, al-ma’ajim, al-mustadrakat dan al-musannafat. Tentu saja munculnya kitab-kitab hadith tersebut menunjukkan bahwa kegiatan kailmuan pada abad IV-VI H (abad-abad kemunduran umat Islam) masih terus berlangsung. Abad IV-VI H memang ditandai dengan kemunduran umat Islam, diwarnai dengan stagnasi pemikiran, dan tidak adanya temuan-temuan baru yang dilakukan oleh ilmuwan muslim. Disamping itu, pada abad-abad tersebut situasi politik umat Islam juga mengalami masa disintegrasi yang ditandai dengan munculnya dinasti-dinasti kecil.

Pendahuluan

Penyusunan kitab-kitab Hadith setelah abad ketiga hijriyah lebih mengarah kepada usaha mengembangkan beberapa variasi pembukuan (tadwin) terhadap kitab-kitab yang sudah ada. Maka setelah berjalan beberapa saat dari munculnya al-Kutub al-Sittah, Muwatta’ Malik bin Anas, dan Musnad Ahmad bin Hanbal, para ulama mengalihkan perhatian untuk menyusun kitab-kitab jawami’ (mengumpulkan kitab-kitab hadith menjadi satu karya), kitab sharah (kitab komentar dan uraian), kitab mukhtasar (kitab ringkasan), mentakhrij (mengkaji sanad dan mengem-balikan kepada sumbernya), menyusun kitab atraf, dan penyusunan hadith untuk kitab-kitab tertentu

Diantara usaha itu ialah mengumpulkan isi kitab Sahih al-Bukhari dan Muslim, seperti yang dilakukan oleh Ibnu al-Furrat (w.414 H), ada yang mengumpulkan isi kitab yang enam, seperti yang dilakukan oleh Abd. al-Haq Ibn Abd. al-Rahman al-Asbili yang terkenal dengan sebutan Ibn al-Kharrat (w. 583 H), al-Fairuz Abadiy, dan Ibn al-Asirt al-Jazari. Ulama-ulama yang mengumpulkan kitab-kitab hadith mengenai hukum diantaranya ialah al-Dar al-Qutny, al-Baihaqy, Ibn al-Daqiq al-‘Id, dan Ibn Qudamah al-Maqdisi. Masa perkembangan hadith pada masa ini cukup lama, mulai abad keempat hijrah terus berlangsung beberapa abad berikutnya sampai abad keenam hijrah.

Situasi Politik

Dunia Islam sejak awal abad ke-empat hijriyah mengalami kemunduran dalam bidang politik dan menjadi negara-negara kecil yang tersebar berserakan dan terpecah belah. Daulah Bani Umayyah di Andalus yang dipimpin Abdurrahman berdiri tahun 325 H. Perssoalannya karena Daulah Bani Abbas telah lemah, Bani Fatimiyah di Afrika utara telah memerdekakan diri, Daulah Ikhshidiah di Mesir sekalipun secara de jure masih di bawah kekuasaan Bani abbas namun secara de facto telah memerdekakan diri, Daulah Bani Hamdan menguasai Mousul dan Alepo dan mereka masih mengaku berafiliasi dengan Bani Abbas.

Sementara Shi’ah Zaidiyah mendirikan negara merdeka di Yaman, Daulah Samaniyah menguasai wilayah timur, Daulah Bani Buwayhid menguasai Baghdad, dan secara umum kekuasaan Bani Abbas hanya tinggal nama belaka. Keadaan politik tidak stabil, dan keadaan yang menyedihkan itu berlangsung hingga datangnya tentara Tartar yang yang dikenal dengan pasukan yang ganas dan bengis dari daratan Cina, dan juga datangnya pasukan yang dikomandani Jengis Khan. Mereka memporak-porandakan negeri-negeri Islam dalam waktu singkat, membunuh para pembesar negara hingga menguasai Baghdad, membunuh khalifah, dan kemudian menjatuh-kan khilafah Abbasiah pada tahun 656 hijrah.

Sekalipun situasi politik keadaannya menyedihkan sebagaimana disebutkan di atas, kegiatan keilmuan tidak mengalami hambatan, bahkan kegiatan keilmuan tetap eksis. Para ulama tetap melakukan perlawatan (rihlah) mencari ilmu dari suatu negeri ke negeri yang lain, mendengarkan kitab-kitab yang dibacakan gurunya, serta mendengarkan pengajaran-pengajaran gurunya.

Kegiatan Keilmuan

Pada abad ke-empat muncul gagasan bahwa para ahli hadith dalam periwayatan hadith cukup mengkaji dari apa yang telah dibukukan dalam kitab-kitab hadith karya sebelumnya. Mereka mengatakan bahwa Ibnu Mandah adalah pelawat terakhir dalam pencarian hadith. Mereka juga menganggap bahwa Ibnu Yunus al-Safady (w. 347 H) adalah Imam yang hafiz hadith sekalipun tidak melakukan perlawatan, sehingga para ulama hadith menganggapnya sebagai ulama hadith terbesar, mereka menghormati dan mengagungkannya. Ia lebih banyak membelanjakan hartanya kepada ahli-ahli hadith dari pada kepada ahli fiqih, ahli nahwu, dan sebagainya.

Usaha periwayatan hadith memang memiliki keistimewaan (maziyah) tersendiri, karena dapat memperkuat ingatan (hafalan) para muhaddith. Diantara mereka ada yang hafal ribuan hadith beserta sanadnya, padahal sanadnya sulit dan banyak yang beragam. Mereka mengatakan bahwa Ibnu Muyassir (w. 401 H) memiliki laci yang panjangnya 87 zira’ (hasta) yang memuat permulaan-permulaan hadith yang dihafal. Qadi Mousul (w.355 H) hafal 2000 hadis. Di antara mereka ada yang beribadah dengan cara membaca hadith, seperti al-Khatib al-Baghdadi membacakan kitab Sahih Bukhari kepada Karimah binti Ahmad al-Marwazi selama lima hari. Sementara muhaddith terbesar pada abad ke-empat adalah Abu al-Hasan al-Dar Qutni dan al-Hakim al-Naisaburi, dan diantara mereka berdua kiranya al-Hakim adalah yang terbesar. Al-Hakim telah menyusun peristilahan-peristilahan hadith, baik yang sahih, hasan, maupun yang da’if, yang dijadikan pokok-pokok ilmu hadith yang diaplikasikan hingga sekarang.

Abad ketiga hijrah adalah abad keemasan penyusunan kitab-kitab hadith. Pada abad tersebut telah muncul para penghafal dan imam-imam hadith, muncul juga al-Kutub al-Sittah yang sebagian besar memuat hadith-hadith sahih. Terdapat banyak perhatian ulama-ulama hadith yang membahas isnad, sejarah perawi dan kedudukannya dalam ilmu kritik hadith (al-Jarh wa al-Ta’dil). Pada abad tersebut, mereka menyusun kitab-kitab hadith tidak menukil dari kitab-kitab yang lain akan tetapi mereka menyusun hadis berdasarkan apa yang mereka hafal dari guru-guru mereka, sehingga mereka mengetahui hadith-hadith yang nilainya tinggi dan rendah, sahih dan da’if. Sedangkan ulama hadith pada abad ke-empat dan sesudahnya tinggal membukukan (menyatukan) hadith-hadith yang terpencar dalam kitab-kitab ulama pendahulunya, meringkasnya, atau mereka hanya mengurutkan dan menertibkanya.

Pada masa ini bukan berarti tidak ada lagi ulama yang menyusun kitab-kitab hadith sahih. Di antara ulama ada yang melakukan penyusunan hadis sahih, seperti Abu Hatim Muhammad Ibn Hibban (w. 354 H.), dengan karyanya Sahih Ibn Hibban. Menurut sebagian ulama, kitab sahih ini kualitasnya lebih baik dari kitab sahih karya Ibnu Majah. Berikutnya ialah Abu Bakar Muhammad Ibn Ishaq Ibn Huzaimah al-Sullami al-Naisaburi yang dikenal dengan sebutan Ibnu Huzaimah dengan karyanya Sahih Ibn Huzaimah, kemudian Abu Abdillah Ibn Muhammad Abdillah al-Naisaburi atau yang dikenal dengan al-Hakim al-Naisaburi (312-405 H.) dengan karyanya al-Sunan al-Kubra.

Manhaj Yang Dipergunakan Dalam Penyusunan Kitab.

Di samping nama-nama kitab yang telah disebutkan di atas, para ulama hadis pada abad IV-VI hijriah dalam penyusunan kitab-kitab hadith menggunakan manhaj (metode) antara lain ; al-Atraf ( الأطراف ), al-Ma’ajim ( المعاجم ), al-Mustadrakat ( المستدركات ), dan al-Musannafat ( المصنفات ).

al-Atraf ( الأطراف ).

Al-Atraf adalah jenis kitab-kitab yang disusun sebagai kumpulan hadith-hadith Nabi. Yang dimaksud dengan al-atraf adalah kumpulan hadith-hadith dari berbagai kitab induknya dengan cara mencantumkan bagian atau potongan hadith-hadith yang diriwayatkan oleh setiap sahabat.

Penyusunnya dengan menyebutkan beberapa kata atau pengertian yang menurutnya dapat mengantarkan pemahaman kepada hadith yang dimaksud. Sedangkan sanad-sanadnya terkadang ada yang ditulis sebagian saja, dan ada juga yang ditulis lengkap. Hal ini dimaksudkan agar dapat dijadikan studi komparatif sanad dalam memperjelas seluk beluk sanad.

Sebagai contoh, bila terdapat sebuah kitab kumpulan potongan hadith-hadith dari al-Kutub al-Sittah berarti bahwa kitab tersebut mencakup hadith-hadith yang diriwayatkan oleh setiap sahabat yang tercantum dalam al-Kutub al-Sittah tersebut. Pedoman penulisannya adalah potongan matan hadith atau pengertian yang menunjukkan maksud hadith, sekalipun redaksinya tidak terdapat kesamaan. Seluruh hadis dicantumkan berikut sanad-sanadnya melalui setiap sahabat dalam al-Kutub al-Sittah. Menelusuri seluruh isi berarti telah menelusuri isi al-Kutub al-Sittah (kitab-kitab induk yang enam).

Sudah jelas bahwa kitab al-Atraf banyak membantu penelitian mengenai sanad, terutama memperjelas keterputusan, memperjelas kesamaran, dan membedakan sanad yang terlalaikan, dan manfaat-manfaat yang lain. Mengenai kegunaan di bidang matan, kitab-kitab al-Atraf kurang banyak berfungsi kecuali bila telah merujuk kitab-kitab hadith induk.

Kitab-kitab yang berjenis al-Atraf antara lain :

1. Atraf al-Sahihain, karya al-Hafiz Imam Abu Mas’ud Ibrahim Ibn Muhammad Ibn Ubaid al-Dimasqi (w. 400 H.).

2. Atraf al-Sahihain, karya al-Hafiz Imam Khalf Ibn Hamdun al-Wasiti (w. 401 H.).

3. Atraf al-Kutub al-Sittah, karya al-Hafiz Syams al-Din Abu al-Fadl Muhammad Muhammad Ibn Tahir Ibn Muhammad al-Maqdisi yang dikenal dengan sebutan Ibn al-Qaysarani (w. 507 H.).

4. al-Ishraf ‘Ala Ma’rifat al-Atraf, karya al-Hafiz Abu al-Qasim Ali Ibn Abi Muhammad al-Hasan al-Dimasqi, yang digelari dengan Siqat al-Din yang dikenal dengan sebutan Ibn Asakir (w. 571 H.) yang menghimpun bagian-bagian hadis dalam kitab Sunan al-Arba’ah.

5. Tuhfat al-Ashraf bi Ma’rifat al-Atraf, karya al-Hafiz Jamaluddin Abu al-Hajjaj Yusuf Ibn Abdirrahman al-Mizzi (w. 742 H) yang menghimpun bagian-bagian hadis dalam al-Kutub al-Sittah dan kitab-kitab lain yang setaraf, yaitu Muqaddimah Sahih Muslim, Marasil Abu Dawud, ‘Ilal wa al-Sama’il karya Turmuzi, ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah karya Nasa’i.

al-Ma’ajim ( المعاجم )

Al-Ma’ajim adalah bentuk jamak dari kata Mu’jam. Pengertian Mu’jam menurut istilah muhaddithin adalah sebuah kitab yang memuat hadith-hadith yang diurutkan berdasarkan nama-nama sahabat, guru-guru hadith, negeri-negeri hadith, atau lainnya. Pada umumnya urutan nama-nama di dalamnya berdasarkan urutan huruf mu’jam atau alfabet.

Kitab-kitab yang berjenis mu’jam antara lain;al-Mu’jam al-Kabir, karya Abu al-Qasim Sulaiman Ibn Ahmad al-Tabarani (w. 360 H.). Kitab tersebut memuat musnad-musnad sahabat yang diurutkan sesuai dengan urutan huruf mu’jam ( kecuali musnad Abu Hurairah). Mu’jam tersebut memuat 60.000 hadith.

Ibnu Dahiyah mengatakan bahwa mu’jam tersebut adalah mu’jam terbesar di dunia, dan apabila disebutkan kata mu’jam maka yang dimaksudkan adalah mu’jam tersebut. Apabila bermaksud menyebutkan mu’jam selain mu’jam tersebut maka harus disebutkan identitas mu’jam yang dimaksudkan.

Masuk dalam katagori ini juga adalah al-Mu’jam al-Ausat, karya al-Tabarani. Dalam mu’jam tersebut ia mengurutkan nama-nama gurunya yang jumlahnya kurang lebih 2000 orang, dan mu’jam tersebut memuat 3000 hadith.(1) al-Mu’jam Saghir, karya al-Tabarani. Ia mentakhrij hadith yang dimuat dalam mu’jam tersebut dari 1000 gurunya. Ia hanya mencantumkan satu hadith dari masing-masing guru.(2) Mu’jam al-Sahabah, karya Ahmad Ibn Lal al-Hamdani (w. 398 H.).(3) Mu’jam al-Sahabah, karya Abu Ya’la Ahmad Ibn ‘Ali al-Musili ( 307 H.).

al-Mustadrakat ( المستدركات ).

al-Mustadrakat adalah bentuk jamak dari al-Mustadrak. al-Mustadrak adalah menyusun kitab hadith dengan cara menyusulkan hadith-hadith yang tidak tercantum dalam suatu kitab tertentu namun dalam menuliskan hadith-hadith susulan penulis mengikuti persyaratan periwayatan hadith yang dipakai oleh kitab tersebut.

Contoh kitab yang berjenis al-Mustadrak adalah al-Mustadrak ‘Ala al-Sahihain karya Abu Abdillah al-Hakim (w. 405 H.). Dalam kitab tersebut, al-Hakim menulis dan menyusun hadith-hadith yang tidak tercantum dalam Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim, namun ia mengikuti kriteria-kriteria periwayatan hadith yang ditentukan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Jadi hadith-hadith yang terdapat dalam kitab-kitab mustadrak tidak terdapat dalam kitab asalnya.

Dalam kitab al-mustadrak ini, al-Hakim menyusun tiga kelompok hadith; Hadith-hadith shahih yang mengikuti persyaratan periwayatan Imam Bukhari dan Imam Muslim, atau mengikuti persyaratan salah satu dari keduanya, yang tidak ditakhrij oleh keduanya.

Hadith-hadith shahih menurut kriterianya sendiri, sekalipun tidak mengikuti persyaratan Imam Bukhari dan Imam Muslim, atau tidak mengikuti persyaratan salah satu dari keduanya. Itulah hadith-hadith yang menurutnya dianggap sebagai Shahih al-Isnad. Hadith-hadith yang menurut dia tidak shahih tetapi ia terus terang memberi penjelasan ketidak shahihan hadith tersebut (al-Thahhan, 1991:102).

Menurut al-Thahhan, Al-Hakim terlalu mudah dalam membuat kriteria-kriteria keshahihan hadith, sehingga kriteria keshahihannya patut kita tinggalkan. Akan tetapi menurut pandangan al-Zahabi, ia menetapkan sebagian kriteria yang ditawarkan Al-Hakim dan menolak sebagian yang lain, sementara juga diam (tidak memberi komentar) dalam beberapa hal. Oleh karena itu hadith-hadith yang disusun Al-Hakim perlu dibahas dan diteliti ulang.

al-Mushannafat

Mushannaf menurut ahli hadith adalah kitab hadith yang disusun berdasarkan bab-bab fiqih, yang memuat hadith-hadith marfu’, mauquf, dan maqthu’. Dengan kata lain, musannaf adalah kitab hadith yang memuat hadith-hadith Nabi, ucapan-ucapan sahabat, fatwa tabi’in, dan kadang-kadang juga fatwa atba’ al-tabi’in yang berkaitan dengan masail fiqhiyyah.

Ada beberapa perbedaan Mushannaf dan Sunan, bahwa Mushannaf itu disusun memuat hadith-hadith marfu’, mauquf, dan maqtu’.(1) al-Sunan disusun memuat hadith-hadith marfu’ saja. Kalaupun ada hadith selain hadith marfu’ maka jumlahnya sedikit sekali, karena hadith-hadith mauquf dan maqtu’ menurut muhaddithin tidak dinamakan sunan.

Selain perbedaan-perbedaan tersebut di atas maka antara mushannaf dan sunan sama. Kitab-kitab yang berjenis mushannafat antara lain ;

1. Al-Mushannaf, karya Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin AbiSyaibahal-Kufy.

2. Al-Mushannaf, karya Abu Bakar Abdul Razaqbin Hammam al-Shan’ani.

3. Al-Mushannaf, karya Baqiy al-Din bin Makhlad al-Qurthuby.

4. Al-Mushannaf, karya Abu Sufyan Waki’ Ibn Al-Jarrah al-Kufy.

5. Al-Mushannaf , karya Abu Salamah Hammad bin salamah al-Bashri (Al- Thahhan,

Penutup

Dari beberapa pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa mulai abad ke-IV hijriah dunia Islam mengalami kemunduran dalam bidang politik. Hal itu terbukti dengan tumbuhnya negara-negara kecil yang memisahkan diri dari kekuasaan khilafah yang berpusat di Baghdad. Dengan berdirinya negara-negara kecil tersebut tentunya kekuatan dunia Islam semakin rapuh, dan ketika tentara Tartar dan pasukan yang dikomandani Jengis Khan datang menyerangnya dalam waktu yang tidak lama dunia Islam dapat dikuasai.

Pada saat kondisi politik yang menyedihkan itu, kegiatan keilmuan, utamanya kajian-kajian hadith dan ulum al-hadith tetap dapat berjalan sekalipun tidak sebagaimana pada masa keemasannya yaitu abad ketiga hijrah. Hal itu dapat kita lihat dari karya-karya ulama hadith pada saat itu. Dalam menyusun kitab-kitab hadith (utamanya pada abad ke-IV-VI hijrah) mereka menggunakan metode-metode pembukuan antara lain al-Atraf, al-Ma’ajim, al-Mustadrakat, dan al-Mushannafat.

(Jurnal Al-Afka>r,Edisi VI,Tahun ke 5 : Juli-Desember 2002)

Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabl al-Tadwin, (Qahirah:Dar al-Fikr, 1981), 340.

Subhi al-Salih, Ulum al-Hadith wa Mustalahuh, ( Ttp. : Dar al-Ilm li al-Malayin, 1988), 48.

Muhammad Muhammad Abu Zahu, al-Hadith wa al-Muhaddithun, ( Mesir : Matba’ah Misr, tt.), 421.

Ibid, 422.

Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, Juz II, ( ttp. : tp., tt.), 46-47.

Zahu, al-Hadith wa al-Muhaddithun, 423.

Abu Muhammad Abd. Al-Mahdi Ibn Abd. Al-Qadir Ibn Abd. al-Hadi, Turuq al-Takh-rij Hadith Rasulillah Saw.,(ttp. : Dar al-I’tisam, tt.), 107.

Ibid., 109.

Mahmud al-Tahhan, Usul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, ( Riyad : Maktabah al-Ma’rifah, 1991), 45-46.

Al-Tahhan, Ushul, 103.

.

No comments: