Thursday, May 1, 2008

Maulid Nabi, dari Ritual ke Keteladanan

* Zaenudin Al-Hanif, Editor Ensiklopedi Tematis Dunia Islam IB Van Hoeve, Jakarta


SEBENARNYA, selain Idul Fitri dan Idul Adha, dalam Alquran dan hadis tidak ditemukan perintah merayakan hari besar Islam lain, seperti Maulid Nabi. Informasi bahwa kaum muslim merayakan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad saw tidak ditemukan dalam sejarah Islam periode sangat awal, tetapi perintah untuk mengambil pelajaran dari peristiwa atau kejadian masa lalu ditemukan dalam banyak ayat Alquran. Bahkan Alquran sendiri berisi banyak kisah masa silam, yang tentunya dimaksudkan untuk dijadikan pelajaran.

Sebagaimana kisah-kisah dalam Alquran, peristiwa yang terjadi dalam sejarah Islam dan berhubungan dengan ajaran Islam juga mengandung banyak pelajaran. Karena itu, perayaan hari-hari besar Islam termasuk salah satu upaya kaum muslim untuk mengambil pelajaran.

Perayaan Maulid Nabi untuk pertama kali diselenggarakan Dinasti Fatimiyah di Mesir, yaitu pada masa pemerintahan Abu Tamim yang bergelar al-Mu'izz li Din Allah (yang membuat agama Allah jaya; 953 M-975 M). Didorong keinginan menjadi penguasa populer terutama di kalangan Syiah, ia memperkenalkan beberapa perayaan, salah satu di antaranya ialah perayaan Maulid Nabi. Dalam 'paket' merayakan Maulid Nabi saw itu, penguasa Fatimiyah menggunakan kesempatan tersebut untuk memberi hadiah kepada orang tertentu, seperti penjaga masjid, perawat makam ahlulbait, dan para pejabat.

Setelah Dinasti Fatimiyah berakhir dan digantikan Dinasti Ayubiyah, yang dikenal sangat ketat menganut aliran Suni, peringatan Maulid Nabi terus dilaksanakan. Salahuddin al-Ayyubi (1138-1193), penguasa pertama dinasti ini, memanfaatkan perayaan Maulid Nabi untuk membakar semangat jihad kaum muslim dalam menghadapi peperangan hebat melawan kaum Salib.

Perayaan Maulid Nabi diselenggarakan dengan beragam corak; terdapat perbedaan antara satu daerah dan daerah lain, serta coraknya itu terus berkembang dari masa ke masa sesuai dengan situasi dan kondisi serta budaya kaum muslim di wilayah masing-masing. Di Indonesia peringatan Maulid Nabi juga diselenggarakan dengan meriah dan dipandang sebagai salah satu hari besar Islam yang terbesar setelah Idul Fitri dan Idul Adha. Perayaan itu diadakan sebulan penuh, yaitu pada Rabiulawal, bahkan sering kali pula lebih dari sebulan sehingga masih dirayakan pada Rabiulakhir.

Di Lombok, Nusa Tenggara Barat, terutama oleh para anggota Nahdlatul Wathan, Maulid Nabi dirayakan dengan sangat meriah dan penuh dengan suasana spiritual. Di Keraton Yogyakarta acara peringatan ini dikenal dengan Sekaten (asalnya: syahadatain), yang diselenggarakan dalam waktu yang cukup panjang dan sangat kuat dipengaruhi budaya lokal. Cara ini tentu berbeda dengan yang dilaksanakan di masjid pada zaman lampau, yakni dengan membaca syair Arab yang bernama Maulid Syaraf al-Anam. Konon, meskipun dirayakan di masjid, pada zaman lampau pembacaan Maulid Syaraf al-Anam itu diikuti dengan pembakaran kemenyan. Model perayaan terakhir ini yang bercampur dengan paham animisme dan dinamisme masih bertahan di beberapa daerah di Indonesia.

Adapun di pesantren tradisional, perayaan Maulid Nabi dihiasi dengan acara membaca al-Barzanji (kitab berbahasa Arab yang berisi syair pujian kepada Nabi Muhammad saw), tahlil, dan doa bersama. Ada juga peringatan yang diadakan pada tingkat desa, seperti yang diselenggarakan di sebagian daerah terpencil di Sumatra Utara dan beberapa daerah lain. Dewasa ini tampaknya umat Islam Indonesia merayakan Maulid Nabi saw lebih meriah dan semarak dibandingkan dengan umat Islam di negeri Islam lainnya. Pada 12 Rabiulawal menjadi hari besar nasional. Musala, masjid, kantor, dan Istana Negara menyelenggarakan perayaan Maulid Nabi dengan menampilkan berbagai jenis kegiatan.

Demikian penting arti Maulid Nabi bagi masyarakat muslim Indonesia, bahkan mereka menyebut bulan Rabiulawal dengan bulan Mulud (Jawa) dan Mo'lot (Aceh), dan menyebut Rabiulakhir/Rabiul Tsani dengan Bakda Mulud (Jawa: setelah Mulud) dan bulan Adoe Mo'lot (Aceh: adik Mo'lot).

Beraneka warna dan cara masyarakat muslim dalam menunjukkan apresiasi kecintaannya kepada Nabi Muhammad dalam bentuk Maulid Nabi. Namun, perayaan ini sering kering makna karena sekadar ritual keagamaan. Momen ini akan lebih bermakna apabila diikuti dengan keteladanan kepada Nabi Muhammad saw.

Nabi Muhammad saw dikenal sebagai sosok manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi. Berasal dari keluarga sederhana, ia mampu menegakkan dan menyebarkan salah satu agama terbesar di dunia, agama Islam. Dan pada saat yang bersamaan tampil sebagai seorang pemimpin tangguh, tulen, dan efektif. Kini empat belas abad sesudah wafatnya, pengaruhnya masih tetap kuat dan mendalam serta berakar.

Ia juga dikenal sebagai sosok yang kukuh terhadap kebenaran dan tidak mudah menyerah, seperti perkataannya kepada Abu Thalib, pamannya, ''Paman, demi Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan, biar nanti Allah yang akan membuktikan kemenangan itu di tanganku atau aku binasa karenanya''.

Namun demikian, Muhammad adalah manusia biasa, bukan malaikat tetapi mempunyai perangai seperti malaikat. Ia makan dan minum, menikah, bekerja, tetapi ia mampu mengendalikan diri dari ego pribadi dan mampu memilah mana yang halal dan haram. Ia manusia yang unik dan menarik yang jauh dari klenik. Dengan tutur katanya yang lemah lembut ia pun mau care and share (peduli dan mau berbagi) dengan sesama walaupun terhadap anjing yang sedang kehausan. Keteladanan inilah yang membuat mereka yang sudah beriman dan menyatakan diri sudah berislam pada masa itu makin besar cintanya kepada Islam dan makin kukuh pula imannya, walaupun mendapat ancaman dan siksaan dari kaum kafir.

Keteladanan dan jiwa besar Nabi Muhammad inilah juga yang turut melatarbelakangi Michael H Hart dalam bukunya, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Dalam bukunya, Hart menempatkan sosok Nabi Muhammad saw dalam urutan pertama dari seratus tokoh lainnya yang memberikan perubahan dalam sejarah manusia. Tentunya, karya Hart ini membuat umat Islam semakin bangga terhadap kenabian Muhammad dan di sisi lain mencengangkan sekaligus membikin penasaran bagi penganut agama-agama lain.

Nilai-nilai keteladanan ini seharusnya dapat diaktualisasikan umat Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sehingga tidak terjebak pada upacara ritualitas perayaan Maulid Nabi semata. Orang lain butuh akan keteladanan dari diri kita dan kita pun butuh keteladanan dari orang di luar kita. Ketika nilai-nilai keteladanan ini telah hilang dari masyarakat maka yang ada hanyalah kecurigaan yang tak pernah pupus.***


Sumber : www.media-indonesia.co.id

No comments: