Saturday, May 3, 2008

PENDIDIKAN PERUBAHAN

Oleh : Dr. H. Kuntowijoyo. M.A.

Didiklah anak-anakmu, sebab mereka akan mengalami

zaman yang berbeda dengan zaman kamu (Hadis)

Kebetulan berita-berita sekitar akan didirikannya pabrik pesawat N-250 di Amerika bersamaan dengan adanya Muktamar NU ke-29 di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, dan mengamuknya Gunung Merapi di Desa Turgo, S1eman, DIY. Semuanya terjadi pada penghujung 1994. Tentu saja ada persa­maan dan perbedaan antara mereka yang sampai Amerika dengan peserta Muktamar di Desa Cipasung dan korban lahar panas di Turgo. Persamaannya ialah mereka sama-sama orang Indonesia. Namun perbedaannya mengejutkan; mereka berbeda dalam sistem pengetahuan, atau perbedaan dalam tahapan perkembangan budaya.

'Tipologi

(Tipologi di bawah ini banyak dipengaruhi oleh Max We­ber, meskipun ada perubahan dan penambahan di sana-sini. Ia menyebut tiga macam masyarakat berdasarkan orientasinya, yaitu tradisional, rasional-nilai, dan rasional-murni)

Indonesia ternyata tidak hanya terdiri dari ribuan pulau, ratusan bahasa, dan puluhan suku bangsa akan tetapi juga terdiri dati berlapis-lapis tingkatan sosial dan berlapis-lapis tingkatan budaya. Hanya dengan cara memahami gejala-gejala itu, meskipun menyakitkan hati, sebuah manajemen yang rasional akan berhasil. Secara kasar, ada empat tingkatan budaya yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Tipe IV

Berasal dari zaman Pra-sejarah. Kita pasti tidak menyangka bahwa Indonesia punya rakyat yang masih hidup pada zaman Pra­sejarah. Kalau lima belas tahun yang lalu kita naik mobil dari Dili ke Baucau di Timor Timur lewat pantai utara, kita akan melihat orang berendam dalam air dengan tombak di tangan; ketahuilah, orang itu sedang mencari ikan.

Di jalan kita akan bertemu rombongan orang, terdiri dari enam orang, masing-masing dengan tombak di tangan, dan seekor anjing. Mereka sedang berburu rusa. Rusa itu akan datang setelah rumput di bukit yang dibakar mulai menghijau. Rumah-rumah yang bulat beratap rumbia dan tidak berkamar-kamar adalah tempat anak-anak dibesarkan. Adapun kalau ayah-ibu ada keperluan, itu dikerjakan di luar rumah dan disebut beta os. Privacy juga diperlukan, anak-anak tak boleh tahu apa yang dikerjakan orang tua. Aturan bagi mereka mudah saja. Kalau ada pohon digambar satu kepala kerbau, itu artinya kurang lebih berbunyi: "Barangsiapa menebang pohon ini, hukumannya ialah seekor kerbau".

Hal yang saMa juga ada di Irian. Berbeda sedikit, ialah mereka yang tinggal di hulu sungai Mahakam, yang kita sebut perambah hutan itu. Agak berbeda lagi ialah orang Badui Banten ­hanya beberapa jam dari Ibukota. Belum lagi orang Samin, suku Bajau, dan orang-orang terpencil di hutan-hutan, di tengah zamrud katulistiwa itu. Mereka itulah -bukan mereka, karena kita bersaudara­yang kita masukkan dalam Tipe IV.

Tipe III

Mereka masih hidup pada tingkatan Pra-industrial atau agraris. Tinggal di desa, diatur oleh tradisi. Meskipun sama-sama beragama Islam, setidaknya ada dua varian, yang dapat merupakan kontinum, yaitu santri dan abangan. Sama-sama memelihara jin, tapi bagi santri jin adalah khadam, pesuruh yang tidak pernah diberi makan. Bagi abangan jin adalah danyang yang dapat dimintai tolong, tapi periu diberi makan, biasanya berupa bunga atau kemenyan. Pada Muktamar NU di Cipasung tidak segan-segan panitia mengungkapkan di depan teve bahwa jin-jin dikerahkan membantu Banser dalam tugas keamanan.

Ketika Gunung Merapi memuntahkan lahar, diberitakan bahwa danyang penunggu gunung marah. Rupanya danyang itu seperti manusia, yang kadang-kadang suka marah. Pada tahun 1910-an danyang Gunung Merapi daerah Surakarta bernama Kyai Sapujagad -rupanya setelah itu ada nama-nama lain. Orang yang disuruh memberi sesaji akan bilang: "Kulo sedaya dipun utus Kanjeng Sinuwun, ndika kapurih njagi ketentreman ing praja" ("Kami semua disuruh Kanjeng Sinuwun, engkau disuruh menjaga keamanan negeri"), Susahnya, orang disuruh, harus mcnghormat raja sekaligus menunjukkan persahabatan antara penunggu dengan raja, sementara harus memberi kesan bahwa bangsa manusia itu di atas bangsa lelembut, makhluk halus.

Walhasil mereka pakai bahasa krama madya, setengah tinggi setengah rendah. Dalam solidaritas, tingkatan ini menunjukkan kesetiaka­wanan paguyuban (mechanic solidarity), yaitu setia kawan yang akan datang dengan sendirinya, seperti dalam gotong-royong dan sambutan. Kegagalan BPR Nusumma mungkin tidak karena faktor eksternal (ada hambatan), internal (tidak ada kesepakatan tentang bunga), atau kurangnya profesionalisme, tetapi karena faktor budaya (perbankan konvensional termasuk Tipe I, padahal mayoritas NU termasuk Tipe III).

Tipe II

Ada perbedaan sistem pengetahuan antara kota besar, kota sekunder, kota kedl, dan kota gurem. Tetapi, marilah untuk sementara kota-kota itu kita anggap sebagai persemian orientasi nilai.

Ada tingkat rasionalitas tertentu dalam orientasi berdasar nilai. James Peacock dalam penelitiannya tentang Muhammadiyah, kira-kira 30 tahun yang lalu, jadi ketika Yogyakarta masih secara statistik kota sekunder, pernah menanyakan apakah orang percaya jin.

Tentu saja bagi orang Muhammadiyah percaya adanya yang gaib itu termasuk ajaran agama. Tetapi segalanya adalah jin. Tidak ada makhluk khusus yang disebut danyang, prewangan, thuyul, memedi, dan lelembut (penunggu, menjadikan orang kaya, pembuat kaya, hantu, dan makhluk halus). Nama-nama makhluk halus itu makin banyak bagi Tipe III dan IV, sebuah involusi (perkembangan ke dalam) dalam sistem pengetahuan.

Berbicara tentang rasionalitas, pemberantasan khurafat mempunyai efek rasionalisasi. Perhitungan untung-rugi secara rasional hanya mungkin apabila orang tidak pergi kepada dukun, kuburan, tempat-tempat keramat, dan membuat perjanjian dengan makhluk halus. Ijtihad dan pemusnahan bid'ah kembali kepada Alquran dan Sunnah berarti menghilangkan beban budaya, supaya agama tidak bertabrakan dengan kemajuan. Dalam keadaan ini, agama adalah nilai perenial yang dapat masuk ke mana-mana, ke dalam Tipe I, Tipe II, Tipe III, Tipe IV, dan sebagainya. (Nanti, kalau sudah ada megapolis yang bernama Jabotabek (Jakarta-Bogor-Tangerang-Beka­si, Gerbang Kertosusilo (Gersik-Bangkalan-Mojokerto-Surabaya­Sidoarjo-Lamongan), atau yang lain, akan ada budaya Tipe I Plus).

Mula-mula Islam disebarkan dalam budaya Tipe II (Mekah, Madinah), masuk ke Indonesia mula-mula pada Tipe II (Samudra Pasai, Demak, Gersik, Banda Aceh, Cirebon, Banten, Jayakarta, Makasar), tetapi kemudian terutama ke pedalaman dalam Tipe III (Mataram). Sementara itu pusat-pusat Islam di luar Jawa juga masuk dalam Tipe II, karena mereka lebih rasional.

Bentuk budaya dalam Tipe II bermacam-macam. Dalam Islam kita kenal ormas, pengajian, lembaga - lembaga pendidikan, usrah, masjid, kepanduan, olahraga, halaqah, dan sebagainya. Yang penting dalam budaya kota ada santunan kepada penduduk yang mobile, berpindah-pindah, seperti pemuda, pelajar, pegawai, dan buruh, yang tidak terdapat dalam Tipe Ill (memang di desa terdapat penduduk yang boro, mengembara mencari pekerjaan, tapi jumlahnya sedikit).

Tipe I

Keuka B.J. Habibie menemui Jimmy Carter dan Henry Kissinger pada akhir 1994 ia mewakili Indonesia Tipe I, ia bertindak sebagai seorang profesional. Tentu saja profesionalisme adalah budaya obyektif (We ber menyebutnya Zweekratio1llllitaet, rasionalitas murni. Maka pahalanya (reward) tergantung dari kesadarannya (niat, apakah hanya profesionalisme, kepuasan kerja, atau ada nilai yang lain). Mereka yang dari Tipe I dan tidak dapat menterjemahkan nilai dari Tipe II, kalau dia punya komitmen, akan mengalami schizophrenia, terbelah jiwanya.

Banyak orang mewakili Tipe I, bekerja di dalam atau di luar negeri. Itu terjadi ketika Bukaka, Bakrie Brothers, atau Humpuss membuka hubungan bisnis dengan luar negeri, membuka tambak udang, atau membuka hutan. Mereka mewakili semangat metro­politan. "Go International" dan globalisasi mewakili budaya metro­politan yang obyektif. Tempat-tempat seperti bank, hotel, restoran, pabrik, departement store, production house, media massa, enter­tainer, transportasi, LSM, pendidikan, komunikasi, gedung bioskop, dan lain-lain adalah Tipe I, siapa pun boleh di dalamnya.

Semua itu dari segi budaya bebas nilai. Di sinilah orang dapat mengalami sekularisasi objektif(terpisahnya bidang-bidang lain dari agama) dan sekularisasi subjektif (terpisahnya pengalaman dari agama) .

Dalam budaya Tipe I, tidak ada bedanya antara Jakarta dengan Bangkok, Singapura, Tokyo, Taipeh, atau Hong Kong. Kota­kota di Indonesia terancam akan jadi Tipe I.

Tipe I menjanjikan anonimitas yang lebih sempurna, sehingga pelanggaran moral sukar diamati. Meskipun demikian seharusnya pelanggaran pidana dan perdata mudah diamati, karena ada hukum dan law enforcement. Nilai dari Tipe II sudah digantikan oleh kesadaran bam yang bernama civil religion. Tugas berat kita ialah bagaimana nilai dari Tipe II diobjektivisasikan dalam Tipe 1. Peralihan dari budaya Tipe II ke Tipe I rupanya tidak terhindarkan.

Dalam budaya simbolik, tidak ada bedanya antara Jakarta dengan New York, London, Paris, atau Amsterdam. Apa yang efektif bagi Tipe II, bisa tidak efektif pada Tipe I. Agama harus diberi simbol yang memadai, dalam budaya Tipe I agama juga harus memakai simbol Tipe I pula. Bila hikmah tidak hanya berarti "dengan bijaksana", tetapi juga "kebijaksanaan" termasuk rekayasa simbol, seperti fllsafat, bahasa mitologi, seni, sejarah, dan ilmu.

Definisi examplary center (teladan) harus diperluas, tidak saja meliputi ahli agama, tapi juga dalang, pelawak, artis, selebriti, ilmuwan, sastrawan, pengusaha, dan sebagainya. Kembali ke alam, back to nature, tidak harus diartikan kembali ke Tipe III atau Tipe IV. Herbal medicin-pun di Barat dikemas dalam botol, diberi label menarik, diberi keterangan tentang komposisi, disahkan otoritas belwenang, dan dipajang secara menarik, pokoknya serba higienis dan estetis.

Pendidikan Perubahan

1. Integrasi nasional tidak hanya berarti negatif, yaitu tidak adanya gangguan SARA. Akan tetapi, juga harus berarti positif, yaitu pemerataan. Dari segi budaya pemerataan itu masih kurang. Penduduk Indonesia ternyata terbagi-bagi. Ada penduduk dengan sistem pengetahuan Tipe IV, Tipe III, Tipe II, dan Tipe I.

2. Yang tidak menghendaki perubahan dan menghendaki status quo, berarti tidak menghendaki integrasi nasional dan mempunyai selera turis. Mereka kerasan dengan sebutan the exotic East.

3. Pendidikan Perubahan sebagai gerakan penyadaran sangat penting dilaksanakan, supaya integrasi nasional juga berarti pemerataan sistem pengetahuan.

4. Pendidikan Perubahan dapat dilaksanakan oleh peme­rintah, orsospol, armas, LSM, dan sebagainya.

5. Untuk setiap Tipe, kutikulum harus mencakup berbagai disiplin ilmu, yaitu tentang masyarakat, ekonomi, seni, teknologi, agama. Muatan untuk setiap mata ajaran {masyarakat, ekonomi, agama) ialah bagaimana organisasi, hubungan sasial, dan perilaku. Yang lainnya (seni, teknologi) ialah organisasi sosial dan bentuknya.

6. Setiap organisasi penyelenggara dapat menambahkan kekhususan, misalnya untuk arganisasi keagamaan dapat menyertakan pengalaman pribadi dalam dakwah.(ar

No comments: