Oleh Masykurudin Hafizd
Penulis adalah Alumnus Pesantren Manba’ul Ma’arif, Denanyar Jombang
Perang Salib berawal dari Maklumat Perang suci yang diserukan oleh Paus Urbanus II pada tahun 1095. Hal ini didorong oleh keinginan kaum Kristen Eropa untuk menjadikan tempat-tempat suci umat Kristen, terutama Yerussalem untuk bisa masuk ke wilayah mereka sehingga melakukan serangkaian operasi militer melawan tentara muslim di sepanjang kawasan Mediterania Timur. Perang ini kerap dilihat sebagai awal kontak yang melahirkan ketegangan dan sikap permusuhan antara Barat dan Timur. Perbincangan tentang konflik antaragama, terutama agama-agama besar dunia—Yahudi, Kristen, dan Islam—sering kali dihubungkan dengan peristiwa Perang Salib.
Menurut Anne-Marie Eddé dari Universitas de Reims, perang salib dari sudut pandang Barat telah menghasilkan karya-karya yang begitu kaya dan melimpah dalam waktu lebih dari satu abad. Sepertinya, studi dan riset tinjauan sejarah Perang Salib jauh lebih banyak dilakukan oleh kaum Barat.
Di sisi lain, sangat sedikit studi yang mencermati respon kaum muslim terhadap Perang Salib sehingga tidak heran jika Perang Salib lebih banyak dihadirkan secara Eropasentris. Sudah lama diyakini bahwa perang salib membawa pencerahan besar kepada kaum Eropa Barat yang dulu bisa dikatakan sangat tertinggal ketika ilmu pengetahuan dan kebudayaan maju pesat di negara-negara Timur Tengah, bahkan meluas hingga ke Barat ke Andalusia dan ke Timur ke daratan India.
Prof. Carole Hillenbrand, Guru Besar Studi Islam dan Bahasa Arab dari Universitas Eidinburgh adalah salah satu penulis yang mencoba mengambil perspektif Islam dari Perang Salib. Dia menulis buku yang berjudul The Crusades : Islamic Perspectives (terjemah Indonesia : Perang salib, sudut Pandang Islam) . Buku setebal 808 Halaman ini menyajikan reaksi kaum muslim terhadap tentara Salib dengan menjelaskan pula konsep jihad saat menghadapi kaum Salib. Dia juga menjelaskan strategi militer, persenjataan, pertempuran laut, benteng-benteng serta interaksi kaum muslim dengan kaum Salib tersebut.
Buku ini, sebagaimana dikatakan oleh penulis, mencoba memasuki alam pikir umat Islam Abad Pertengahan yang merasakan penderitaan akibat Perang Salib, dan berdasarkan sumber-sumber itu, mengungkapkan setidaknya perasaan dan reaksi umat Islam terhadap intervensi Eropa barat di wilayah dan di dalam kehidupan mereka.
Sikap melihat Perang Salib dari sudut pandang Islam memang sudah seharusnya dilakukan di tengah aroma Eropasentrisme yang merebak. Kajian buku ini dimaksudkan untuk memberikan pengimbangan kecenderungan yang Eropasentristik itu.
Harus diakui, Perang Salib adalah cikal bakal hubungan antara Barat dan Timur. Perang Salib telah membentuk persepsi kaum Barat tentang dunia Islam sebagaimana perang itu juga membentuk pandangan umat Islam terhadap Barat. Perang Salib setidaknya telah mempengaruhi kesadaran kedua belah pihak dalam interaksi selanjutnya misalnya ungakapan Crusades dari Presiden George Bush saat menyatakan perang terhadap terorisme.
Perang salib berlangsung selama kurang lebih dua abad (1096-1291). Perang ini terjadi karena adanya penaklukan kota-kota penting dan tempat suci kaum Kristen oleh kaum Muslim misalnya Suriah, Asia Kecil, Spanyol dan Sicilia. Disebut perang Salib karena kaum Kristen menggunakan Salib sebagai simbol pemersatu.
Menurut Philip K. Hitti dalam The History Of Arabs, Perang Salib terjadi dalam tiga periode. Periode pertama disebut periode penaklukan (1096-1144) di mana Paus Urbanus II bisa membangkitkan semangat kaum Kristen untuk bersiap melaksanakan penyerbuan. Mereka menaklukkan Anatolia Selatan, Tarsus, Antiokia, Aleppo dan Edessa. Kemenangan pasukan Salib ini telah mengubah peta dunia Islam karena dari kemenangan ini berdirilah beberapa kerajaan di bawah pemerintahan Kristen di Timur.
Periode kedua adalah reaksi umat Islam (1144-1192). Jatuhnya beberapa wilayah kekuasaan Islam ke tangan kaum Salib membangkitkan kesadaran kaum muslimin untuk menhimpun kekuatan guna menghadapi mereka. Di bawah kepemimpinan Imaduddin Zangi, Nuruddin Zangi dan Shalahuddin al-Ayyubi, kaum muslim bisa menundukkan wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh pasukan Salib misalnya Edessa, Aleppo, Damascus, Antikoia dan Mesir.
Periode ketiga adalah berlangsung dari 1193-1291 yang lebih dikenal dengan perang saudara atau periode kehancuran dalam perang Salib. Tindakan tentara Salib untuk membebaskan Baitul Makdis beralih menjadi ambisi politik dan sesuatu yang bersifat material.
Dari ketiga periode itulah, Carole Hillenbrand membuka cakrawala dan informasi tentang pemikiran, sikap dan reaksi kaum muslim pada saat tentara Salib datang. Dia menunjukkan, tentara Salib membawa banyak hikmah yang tak ternilai harganya karena mereka dapat berkenalan dengan kebudayaan dan peradaban Islam yang sudah sedemikian majunya. Kebudayaan yang mereka peroleh dari kaum Muslim seperti bidang militer, seni, astronomi, perdagangan, pertanian, kesehatan, kebersihan dan kepribadian sedikit banyak telah memberikan pencerahan kepada mereka. []
No comments:
Post a Comment