diskursus keislaman, artikel Islam, bahan makalah Islam, pendidikan Islam,sosiologi Islam, Hukum Islam, Politik Islam,Sejarah Islam, penelitian Islam, islamic studies, wacana Islam, etc
Friday, June 6, 2008
Islam Anti Teror
Apa pun politik terhadap Islam yang dilancarkan oleh kekuatan non-Islam, hasilnya senantiasa berbeda dari apa yang dikejar oleh kekuatan tersebut. Lihatlah, kekuata-kekuatan dunia sedang mencoba menggunakan Islam untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya, tetapi mereka akan mengalami bahwa pada gilirannya, kelak dimanfaatkan oleh kekuatan Islam yang sangat berbeda dengan keinginan kekuatan-kekuatan dunia itu sendiri. Bulan sabit terlalu besar untuk menjadi satelit bagi siapapun.”
TEROR adalah hantu bagi setiap orang. Teror adalah bentuk kekerasan terstruktur yang mencoba menghapus dialog sebagai cara untuk menyelesaikan persoalan. Teror yang disertai kekerasan fisik, seperti peledakan bom, meski mengusung misi suci, tetapi tidak dibenarkan dalam kaidah agama manapun, dan terutama Islam.
Pesan Islam yang paling utama sebagai sebuah agama, adalah mengusung kedamaian di berbagai ruang dan waktu. Penyebaran Islam pada awal sejarahnya, terus menerus mengibarkan panji kedamaian, tegur sapa yang bijak dan penuh kesantunan.
Islam akan bersikap keras dan tegas, jika ia berhadapan dengan hak dan tanggung jawab yang harus dipikul setiap pribadi muslim. Garis keras dan tegas ini, sekadar memperlihatkan, bahwa sejak awal tumbuhnya Islam, ia disemai dengan penuh kearifan. Maka Islam tidak membenarkan aksi kekerasan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Islam tidak mengajarkan sebuah tujuan dengan menghalalkan segala cara, termasuk aksi-aksi teror melalui bom, yang berkembang diranah Indonesia.
Tapi satuhal yang harus dicermati sampai detik ini, Islam seolah-olah selalu disudutkan jika bom meledak. Islam selalu jadi objek penderita, karena secara kebetulan pelaku bom adalah orang-orang Islam.
Tentu saja kita prihatin. Mungkinkah aksi-aksi teror merupakan agenda besar dari sekelompok orang, atau himpunan negara, yang sengaja menjadikan aksi teror sebagai komoditas politik.
Pada titik ini, saya perlu memberi contoh sebuah tulisan menarik di Harian International Herald Tribune (20 Juli 2004) yang ditulis oleh Craig S. Smith. Tulisan itu bertajuk Europe fears threat from its convert ti Islam. Artikel itu bercerita tentang dua pemuda Perancis, bernama David dan Jerome yang masuk Islam dan akhirnya ditahan karena tuduhan terlibat jaringan terorisme internasional. Kasus dua bersaudara itu diangkat sebagai representasi, betapa perlunya masyarakat Eropa mencermati dan waspada terhadap kecenderungan meningkatnya konversi penduduk asli Eropa ke dalam Islam, setelah peristiwa 11 September 2001.
Tahun 2003, dinas rahasia Perancis, memperkirakan, ada sekitar 30.000-50.000 orang Perancis yang masuk Islam. Islam kabarnya merupakan agama yang paling cepat berkembang di Eropa. Dan fakta terakhir kerusuhan di Perancis, juga mengusung sekelompok pemuda Muslim. Meski pemicu awal kerusuhan di Perancis adalah persoalan diskriminasi pemerintah Perancis terhadap Islam dan kaum migran. Tulisan di International Herald Tribune itu, tentu sangat mudah mengambil kesimpulan. Atau memang ia sengaja didisain untuk memojokkan Islam. Atau ini bentuk ketakukan orang-orang Barat terhadap gelombang islamisme di Eropa dan Amerika. Kampanye internasional anti-terorisme-yang kini lebih banyak ditujukan kepada kelompok-kelompok Islam-ternyata tidak berhasil menahan laju perkembangan Islam di Eropa.
Dan untuk konteks Indonesia, pesantren dijadikan objek kampanye teror. Sebagai muslim, kita perlu prihatin, karena substansi pesantren adalah tempat menimba ilmu pengetahuan bukan sebagai tempat merancang aksi terorisme. Maksud saya, kita tetap memerangi aksi kekerasan dan terorisme, tapi juga harus mengkritisi agenda besar kampanye teror yang bermuara memusuhi Islam.
W.F. Wertheim, seorang ahli sejarah sosial ternama, memberikan ingatan berharga kepada rezim mana pun bahwa, ”Apapun politik terhadap Islam yang dilancarkan oleh kekuatan non-Islam, hasilnya senantiasa berbeda dari apa yang dikejar oleh kekuatan tersebut. Lihatlah, kekuatan-kekuatan dunia sedang mencoba menggunakan Islam untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya, tetapi mereka akan mengalami bahwa pada gilirannya, kelak dimanfaatkan oleh kekuatan Islam yang sangat berbeda dengan keinginan kekuatan-kekuatan dunia itu sendiri. Bulan sabit terlalu besar untuk menjadi satelit bagi siapa pun.”
Teror, seperti kata Guru Besar di Universitas Pensylvania, adalah industri multinasional, yang berhubungan erat antara sponsor dan institusi pemikir.(*)
Sumber: kotatangeranggo.id
Saturday, May 17, 2008
Islam: Agama yang Berkembang Paling Pesat
Oleh: HARUN YAHYA
Selama 20 tahun terakhir, jumlah kaum Muslim di dunia telah meningkat secara perlahan. Angka statistik tahun 1973 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Muslim dunia adalah 500 juta; sekarang, angka ini telah mencapai 1,5 miliar. Kini, setiap empat orang salah satunya adalah Muslim. Bukanlah mustahil bahwa jumlah penduduk Muslim akan terus bertambah dan Islam akan menjadi agama terbesar di dunia. Peningkatan yang terus-menerus ini bukan hanya dikarenakan jumlah penduduk yang terus bertambah di negara-negara Muslim, tapi juga jumlah orang-orang mualaf yang baru memeluk Islam yang terus meningkat, suatu fenomena yang menonjol, terutama setelah serangan terhadap World Trade Center pada tanggal 11 September 2001. Serangan ini, yang dikutuk oleh setiap orang, terutama umat Muslim, tiba-tiba saja telah mengarahkan perhatian orang (khususnya warga Amerika) kepada Islam. Orang di Barat berbicara banyak tentang agama macam apakah Islam itu, apa yang dikatakan Al Qur'an, kewajiban apakah yang harus dilaksanakan sebagai seorang Muslim, dan bagaimana kaum Muslim dituntut melaksanakan urusan dalam kehidupannya. Ketertarikan ini secara alamiah telah mendorong peningkatan jumlah warga dunia yang berpaling kepada Islam. Demikianlah, perkiraan yang umum terdengar pasca peristiwa 11 September 2001 bahwa "serangan ini akan mengubah alur sejarah dunia", dalam beberapa hal, telah mulai nampak kebenarannya. Proses kembali kepada nilai-nilai agama dan spiritual, yang dialami dunia sejak lama, telah menjadi keberpalingan kepada Islam.
Hal luar biasa yang sesungguhnya sedang terjadi dapat diamati ketika kita mempelajari perkembangan tentang kecenderungan ini, yang mulai kita ketahui melalui surat-surat kabar maupun berita-berita di televisi. Perkembangan ini, yang umumnya dilaporkan sekedar sebagai sebuah bagian dari pokok bahasan hari itu, sebenarnya adalah petunjuk sangat penting bahwa nilai-nilai ajaran Islam telah mulai tersebar sangat pesat di seantero dunia. Di belahan dunia Islam lainnya, Islam berada pada titik perkembangan pesat di Eropa. Perkembangan ini telah menarik perhatian yang lebih besar di tahun-tahun belakangan, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak tesis, laporan, dan tulisan seputar "kedudukan kaum Muslim di Eropa" dan "dialog antara masyarakat Eropa dan umat Muslim." Beriringan dengan berbagai laporan akademis ini, media
Gereja Katolik dan Perkembangan Islam
Gereja Katolik Roma, yang berpusat di
Salah satu pokok bahasan dalam pertemuan bulan Oktober 1999 muktamar gereja Eropa, yang dihadiri oleh hampir seluruh pendeta Katolik, adalah kedudukan Gereja di milenium baru. Tema utama konferensi tersebut adalah tentang pertumbuhan pesat agama Islam di Eropa. The National Catholic Reporter melaporkan sejumlah orang garis keras menyatakan bahwa satu-satunya cara mencegah kaum Muslim mendapatkan kekuatan di Eropa adalah dengan berhenti bertoleransi terhadap Islam dan umat Islam; kalangan lain yang lebih objektif dan rasional menekankan kenyataan bahwa oleh karena kedua agama percaya pada satu Tuhan, sepatutnya tidak ada celah bagi perselisihan ataupun persengketaan di antara keduanya. Dalam satu sesi, Uskup Besar Karl Lehmann dari Jerman menegaskan bahwa terdapat lebih banyak kemajemukan internal dalam Islam daripada yang diketahui oleh banyak umat Nasrani, dan pernyataan-pernyataan radikal seputar Islam sesungguhnya tidak memiliki dasar. (1)
Mempertimbangkan kedudukan kaum Muslim di saat menjelaskan kedudukan Gereja di milenium baru sangatlah tepat, mengingat pendataan tahun 1999 oleh PBB menunjukkan bahwa antara tahun 1989 dan 1998, jumlah penduduk Muslim Eropa meningkat lebih dari 100 persen. Dilaporkan bahwa terdapat sekitar 13 juta umat Muslim tinggal di Eropa saat ini: 3,2 juta di Jerman, 2 juta di Inggris, 4-5 juta di Prancis, dan selebihnya tersebar di bagian Eropa lainnya, terutama di Balkan. Angka ini mewakili lebih dari 2% dari keseluruhan jumlah penduduk Eropa. (2)
Kesadaran Beragama di Kalangan Muslim Meningkat di Eropa
Penelitian terkait juga mengungkap bahwa seiring dengan terus meningkatnya jumlah Muslim di Eropa, terdapat kesadaran yang semakin besar dalam menjalankan agama di kalangan para mahasiswa. Menurut survei yang dilakukan oleh surat kabar Prancis Le Monde di bulan Oktober 2001, dibandingkan data yang dikumpulkan di tahun 1994, banyak kaum Muslims terus melaksanakan sholat, pergi ke mesjid, dan berpuasa. Kesadaran ini terlihat lebih menonjol di kalangan mahasiswa universitas.(3)
Dalam sebuah laporan yang didasarkan pada media masa asing di tahun 1999, majalah Turki Aktüel menyatakan, para peneliti Barat memperkirakan dalam 50 tahun ke depan Eropa akan menjadi salah satu pusat utama perkembangan Islam.
Islam adalah Bagian Tak Terpisahkan dari Eropa
Bersamaan dengan kajian sosiologis dan demografis ini, kita juga tidak boleh melupakan bahwa Eropa tidak bersentuhan dengan Islam hanya baru-baru ini saja, akan tetapi Islam sesungguhnya merupakan bagian tak terpisahkan dari Eropa.
Eropa dan dunia Islam telah saling berhubungan dekat selama berabad-abad. Pertama, negara Andalusia (756-1492) di Semenanjung Iberia, dan kemudian selama masa Perang Salib (1095-1291), serta penguasaan wilayah Balkan oleh kekhalifahan Utsmaniyyah (1389) memungkinkan terjadinya hubungan timbal balik antara kedua masyarakat itu. Kini banyak pakar sejarah dan sosiologi menegaskan bahwa Islam adalah pemicu utama perpindahan Eropa dari gelapnya Abad Pertengahan menuju terang-benderangnya Masa Renaisans. Di masa ketika Eropa terbelakang di bidang kedokteran, astronomi, matematika, dan di banyak bidang lain, kaum Muslim memiliki perbendaharaan ilmu pengetahuan yang sangat luas dan kemampuan hebat dalam membangun.
Bersatu pada Pijakan Bersama: "Monoteisme"
Perkembangan Islam juga tercerminkan dalam perkembangan dialog antar-agama baru-baru ini. Dialog-dialog ini berawal dengan pernyataan bahwa tiga agama monoteisme (Islam, Yahudi, dan Nasrani) memiliki pijakan awal yang sama dan dapat bertemu pada satu titik yang sama. Dialog-dialog seperti ini telah sangat berhasil dan membuahkan kedekatan hubungan yang penting, khususnya antara umat Nasrani dan Muslim. Dalam Al Qur'an, Allah memberitahukan kepada kita bahwa kaum Muslim mengajak kaum Ahli Kitab (Nasrani dan Yahudi) untuk bersatu pada satu pijakan yang disepakati bersama:
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)." (QS. Ali 'Imran, 3: 64)
Ketiga agama yang meyakini satu Tuhan tersebut memiliki keyakinan yang sama dan nilai-nilai moral yang sama. Percaya pada keberadaan dan keesaan Tuhan, malaikat, Nabi, Hari Akhir, Surga dan Neraka, adalah ajaran pokok keimanan mereka. Di samping itu, pengorbanan diri, kerendahan hati, cinta, berlapang dada, sikap menghormati, kasih sayang, kejujuran, menghindar dari berbuat zalim dan tidak adil, serta berperilaku mengikuti suara hati nurani semuanya adalah sifat-sifat akhak terpuji yang disepakati bersama. Jadi, karena ketiga agama ini berada pada pijakan yang sama, mereka wajib bekerja sama untuk menghapuskan permusuhan, peperangan, dan penderitaan yang diakibatkan oleh ideologi-ideologi antiagama. Ketika dilihat dari sudut pandang ini, dialog antar-agama memegang peran yang jauh lebih penting. Sejumlah seminar dan konferensi yang mempertemukan para wakil dari agama-agama ini, serta pesan perdamaian dan persaudaraan yang dihasilkannya, terus berlanjut secara berkala sejak pertengahan tahun 1990-an.
Kabar Gembira tentang Datangnya Zaman Keemasan
Dengan mempertimbangkan semua fakta yang ada, terungkap bahwa terdapat suatu pergerakan kuat menuju Islam di banyak negara, dan Islam semakin menjadi pokok bahasan terpenting bagi dunia. Perkembangan ini menunjukkan bahwa dunia sedang bergerak menuju zaman yang sama sekali baru. Yaitu sebuah zaman yang di dalamnya, insya Allah, Islam akan memperoleh kedudukan penting dan ajaran akhlak Al Qur'an akan tersebar luas. Penting untuk dipahami, perkembangan yang sangat penting ini telah dikabarkan dalam Al Qur'an 14 abad yang lalu:
Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai. (QS. At Taubah, 9: 32-33)
Tersebarnya akhlak Islami adalah salah satu janji Allah kepada orang-orang yang beriman. Selain ayat-ayat ini, banyak hadits Nabi kita SAW menegaskan bahwa ajaran akhlak Al Qur'an akan meliputi dunia. Di masa-masa akhir menjelang berakhirnya dunia, umat manusia akan mengalami sebuah masa di mana kezaliman, ketidakadilan, kepalsuan, kecurangan, peperangan, permusuhan, persengketaan, dan kebobrokan akhlak merajalela. Kemudian akan datang Zaman Keemasan, di mana tuntunan akhlak ini mulai tersebar luas di kalangan manusia bagaikan naiknya gelombang air laut pasang dan pada akhirnya meliputi seluruh dunia. Sejumlah hadits ini, juga ulasan para ulama mengenai hadits tersebut, dipaparkan sebagaimana berikut:
Selama [masa] ini, umatku akan menjalani kehidupan yang berkecukupan dan terbebas dari rasa was-was yang mereka belum pernah mengalami hal seperti itu. [Tanah] akan mengeluarkan panennya dan tidak akan menahan apa pun dan kekayaan di masa itu akan berlimpah. (Sunan Ibnu Majah)
… Penghuni langit dan bumi akan ridha. Bumi akan mengeluarkan semua yang tumbuh, dan langit akan menumpahkan hujan dalam jumlah berlimpah. Disebabkan seluruh kebaikan yang akan Allah curahkan kepada penduduk bumi, orang-orang yang masih hidup berharap bahwa mereka yang telah meninggal dunia dapat hidup kembali. (Muhkhtasar Tazkirah Qurtubi, h. 437)
Bumi akan berubah seperti penampan perak yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan ... (Sunan Ibnu Majah)
Bumi akan diliputi oleh kesetaraan dan keadilan sebagaimana sebelumnya yang diliputi oleh penindasan dan kezaliman. (Abu Dawud)
Keadilan akan demikian jaya sampai-sampai semua harta yang dirampas akan dikembalikan kepada pemiliknya; lebih jauh, sesuatu yang menjadi milik orang lain, sekalipun bila terselip di antara gigi-geligi seseorang, akan dikembalikan kepada pemiliknya… Keamanan meliputi seluruh Bumi dan bahkan segelintir perempuan bisa menunaikan haji tanpa diantar laki-laki. (Ibn Hajar al Haitsami: Al Qawlul Mukhtasar fi `Alamatul Mahdi al Muntazar, h. 23)
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, Zaman Keemasan akan merupakan suatu masa di mana keadilan, kemakmuran, keberlimpahan, kesejahteraan, rasa aman, perdamaian, dan persaudaraan akan menguasai kehidupan umat manusia, dan merupakan suatu zaman di mana manusia merasakan cinta, pengorbanan diri, lapang dada, kasih sayang, dan kesetiaan. Dalam hadits-haditsnya, Nabi kita SAW mengatakan bahwa masa yang diberkahi ini akan terjadi melalui perantara Imam Mahdi, yang akan datang di Akhir Zaman untuk menyelamatkan dunia dari kekacauan, ketidakadilan, dan kehancuran akhlak. Ia akan memusnahkan paham-paham yang tidak mengenal Tuhan dan menghentikan kezaliman yang merajalela. Selain itu, ia akan menegakkan agama seperti di masa Nabi kita SAW, menjadikan tuntunan akhlak Al Qur'an meliputi umat manusia, dan menegakkan perdamaian dan menebarkan kesejahteraan di seluruh dunia.
Kebangkitan Islam yang sedang dialami dunia saat ini, serta peran Turki di era baru merupakan tanda-tanda penting bahwa masa yang dikabarkan dalam Al Qur'an dan dalam hadits Nabi kita sangatlah dekat. Besar harapan kita bahwa Allah akan memperkenankan kita menyaksikan masa yang penuh berkah ini.
Rujukan:
1. "
2. "Muslims in
3. Time, 24 Desember 2001.
Sumber: www.fai.uhamka.ac.id
Saturday, May 10, 2008
PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER MUHAMMAD ABID AL-JABIRI TENTANG TURÂTS DAN HUBUNGAN ARAB DAN BARAT
Zulkarnain
Al-Jabiri is a Muslim thinker who tried to realize the glory and progress of Arab-Islam. He thought this could be done only when the soul of Islamic glory during the era of the Prophet and the middle ages were brought to life. In his book, al-Khithab al-'Arabi al Mu'asir, he elaborates the methodology of Arabian thinking about turâts (civilization), which has to be implemented in Arab-Islam societies. The study analyses his thoughts of the turâts and the problems in its implementation in Muslim communities.
Term Kunci: turâts, pemikiran modern Islam, peradaban
Dalam penelitiannya terhadap metodologi akal Arab mengenai turâts, yang ia tuangkan dalam karyanya al-Khithab al-'Arabi al Mu'asir, ia sampai kepada kesimpulan bahwa pemikiranan Arab masih berputar dalam lingkaran yang tidak mencapai kemajuan apa pun dalam banyak persoalan yang dihadapi selama ini. Al-Jabiri mencatat sebuah karakter problem struktural dalam pemikiran Arab, yakni kecenderungan untuk memberi otoritas referensial pada model masa lampau. Pemikiran Arab tidak bertolak dari realitas, tatapi berangkat dari satu model masa lalu yang secara konstan menghalanginya dari pertemuan dengan realitas, dan konsekuensinya mengalihkan wacananya pada apa "yang mungkin", secara intelektual diangap seolah-olah sebagai fakta yang nyata. Selain menggunakan model masa lalu, pemikiran Arab juga meminjam model pemikiran Eropa. Dalam kasus terakhir ini, pemikiran Arab terjebak pada problem yang sama. Untuk itulah al-Jabiri melihat perlunya jalan keluar dari problem tersebut.
Jalan keluarnya adalah independensi dan pembebasan diri dari "otoritas referensial" baik model "Turâts" (warisan) Arab Islam maupun model kebudayaan dan pemikiran Eropa. Caranya tidak menyingkirkan tradisi dan menghabaikan kebudayaan Barat, tetapi dengan dialog kritis dengan keduanya, untuk memahami historitas dan retivitas konsep-konsep serta kategori-kategori yang ada di dalamnya. Lebih jauh, kritisisme serta kategori-kategori di dalamnya. Lebih jauh kritisme ini dapat terlaksana bila terdapat kesadaran Arab bahwa dirinya merupakan produk perkembangan sejarah. Angan-angan Arab sejak masa nahdah, yang diselimuti oleh pengaruh warisan masa lalu dan pemikiran Eropa, harus dikoreksi melalui "Kritik Nalar Arab" untuk membongkar struktur epistemologis, struktur politis dan strukturalis, kebudayaan Arab secara ilmiah. Pembongkaran struktur epistemologis dilakukan dalam dua buku yang pertama Takwin al'Aql al-'Arabi dan Bunyah al-'Aql al-'Arabi. Pembongkaran struktur serta pembongkaran epistemologinya pada bukunya al- Aql al-Akhlaqi al-Arabi. Maka untuk lebih jelasnya akan dipaparkan dalam pembahasan, agar pemikiran al-Jabiri mengenai turâts menjadi jelas.
Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan untuk penelitian ini adalah pendekatan historis dan filosofis. Pendekatan ini didasarkan atas pertimbangan, bahwa pemikiran Muhamamd Abid al-Jabiri dalam berbagai bukunya yang menjadi objek studi ini berada dalam lingkup teori yang merupkan hasil karya sendiri. Sedangkan konsep-konsep dan pemikirannya hanya mungkin didekati dengan mengunakan pendekatan historis sebagai metode penyelidikan yang memungkinkan untuk memahami segala sesuatu secara lebih komprehensif dan sehakiki mungkin yang terdapat dalam berbagai karyanya tersebut. Sedangkan pendekatan filosofis, yaitu suatu pendekatan yang sistematis yang didasarkan kepada hasil pemikiran filosofis, tokoh-tokoh terkemuka dan sebagainya mengenai. pemikiran Muhammad Abid al-Jabiri.
Penelitian ini berbentuk pemaparan, penjelasan, penilaian dan kritik terhadap subjek atau bidang tertentu, dan pendekatan seperti ini bersifat normatif. Dengan menggunakan metodologi seperti yang disebutkan di atas, maka studi ini mengunakan metode induktif dan deduktif secara berdampingan tanpa mempersoalkan mana yang harus dilakukan.
Sumber data; Adapun sumber datanya, berupa data primer dan sekunder. Data primernya adalah buku karya Muhammad Abid al-Jabiri. Sedangkan data sekundernya adalah berbagai buku yang berkenaan dengan judul penelitian ini.
Langkah-langkah pengumpulan data dan analisis: Langkah pertama yang dilakukan selain merancang desain operasional yang dibuat secara tentatif, juga melakukan pendalaman terhadap sejumlah literatur yang relevan untuk memperkaya wawasan dan konsep-konsep tentang studi yang dilakukan. Langkah kedua, merupakan pengumpulan data dari sumber tertulis baik yang primer maupun sekunder. Selama pengumpulan data berlangsung, kritik sumber langsung dilaksanakan. Data yang berasal dari sumber yang lolos kritik akan segera digolong-golongkan menurut sistematis yang secara tentative telah dirancang. Langkah ketiga, adalah melakukan interpretasi terhadap data yang telah digolong-golongkan, terutama untuk menemukan saling hubungan berbagai informasi yang dikandungnya, kemudian dianalisis dengan penelaran yang logis, yang umum dipakai dalam pendekatan ini ialah metode content analysis (analisis isi), yaitu metode yang berusaha memahami sistem pemikiran dengan jalan merekonstruksikan kemudian dianalisis dengan penalaran yang logis. Langkah terakhir dari seluruh kegiatan ini adalah menyajikan laporan penelitian lengkap dalam satu sistematika yang telah dirancang secara tentative, sebagaimana akan dikemukakan berikut ini.
Temuan Penelitian
Biografi al-Jabiri Muhammad al-Jabiri lahir di Figuig, sebelah selatan Maroko pada tahun 1936. dan pendidikannnya dimulai dari tingkat ibtidaiyah di madrasah Burrah Wataniyyah, yang merupakan sekolah agama swasta yang didirikan oleh oposisi kemerdekaan. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di sekolah menenggah dari tahun 1951-1953 di Casablanca dan memperoleh Diploma Arabic high School setelah Maroko merdeka. Sejak awal al-Jabiri telah tekun mempelajari filsafat. Pendidikan filsafatnya di mulai tahun 1958 di univeristas Damaskus Syiria. Al-Jabiri tidak bertahan lama di universitas ini. Setahun kemudian dia berpindah ke universitas Rabat yang baru didirikan. Kemudian dia menyelesaikan program Masternya pada tahun 1967 dengan tesis Falsafah al-Tarikh Inda Ibn Khaldun, di bawah bimbingan N. Aziz Lahbabi ( w.1992), dan gurunya juga seorang pemikir Arab Maghribi yang banyak terpengaruh oleh Bergson dan Sarter.
Al-Jabiri meraih gelar doktor falsafat pada tahun 1970 di bawah bimbingan Najib Baladi, disertasi Doktornya juga berkisar seputar pemikiran Ibn Khaldun dengan judul, Fikr Ibn Khaldun al-Asabiyyah wa al-Dawlaha Ma'alim Nazariyyah Khalduniyah fi al-Tarikh al-Islami. (Pemikiran Ibn Khaldun, Asabiyah dan Negara: Rambu-rambu Paradigmatik Pemikiran Ibn Khaldun dalam Sejarah Islam)
Pada dekade 50-an, ketika masih kuliah di universitas, Muhammad al-Jabiri banyak membaca dan mempelajari ajaran Marxisme yang memang tumbuh subur di dunia Arab saat itu. Ia bahkan mengaku sebagi salah seorang pengagum ajaran Marx. Kenyataan ini bukanlah suatu yang aneh. Sebagai seorang yang lahir dan tumbuh di Negara bekas protektoriat Perancis, al-Jabiri tidak kesulitan untuk mengakses buku atau pemikiran berbahasa Perancis, Postruktruralis maupun posmodernis yang rata-rata memang lahir dari Perancis. Akan tetapi, ia kemudian meragukan efektivitas pendekatan Marxian dalam konteks sejarah Pemikiran Islam, apalagi setelah membaca karya Yves Lacoste yang membandingkan Karl Marx dengan Ibn Khaldun, antara Barat dan Islam. Dari situ kemudian dia balik mempertanyakan asumsi-asumsi para peneliti orentalis yang mengkaji Islam dinilainya terlalu memaksakan kehendak, sehingga perlu membangun metodologi tersendiri terhadap turâts Arab.
Berdasarkan metode yang di gagasnya, al-Jabiri mulai meneliti tentang kebudayaan dan pemikiran Islam, namun dalam hal ini ia hanya membatasi dirinya hanya pada Islam-Arab, tempat lahirnya Islam dan muncul dipermukaan bumi ini, dan kebanyakan sejarah kebudayaan Islam ditulis dalam berbahasa Arab, dan juga tulisan non-Arab tentang kebudayaan Islam, seperti teks-teks Persia, baik yang ditulis cendikiwan muslim maupun cendikiawan non muslim, agar hasilnya kualitatif dan tidak berat sebelah tentang sejarah kebudayaan Islam, selain dalam metodologinya ia juga membatasi pada persoalan efistemologi, yakni mekanisme berpikir yang mendominasi kebudayaan Arab dalam berbagai hal-hal, yang kebanyakan telah dipengaruhi kebudayaan pemikiran Barat, karena itu dalam banyak karyanya, al-Jabiri tidak akan mempersoalkan persoalan yang berbau ideologis dari agama yang di anutnya.
Muhammad al-Jabiri adalah seorang politikus asal Maroko, ia merupakan salah seorang pemikir Islam kontemporer yang kreatif, sangat kritis dan sekaligus provokatif, di kalangan pemikir Arab, yang memiliki pemikiran dan ide yang cemerlang untuk memajukan dunia Arab khususnya.
Dia adalah merupakan seorang aktivis politik berideologis sosialis, yang bergabung dengan partai Union Nationale Des Forces Populaires (UNFP), yang kemudian berubah menjadi Union Sosialis Des Forces Populaires (USFP) pada tahun 1975 dan menjadi pengurus partai tersebut., di samping aktif dalam berpolitik, al-Jabiri juga banyak bergerak dibidang pendidikan, dari tahun 1964 dia telah mengajar filsafat di sekolah menengah, dan secara aktif terlibat dalam program pendidikan Nasional. Pada tahun 1966 dia bersama dengan Mustafa al-Omari dan Ahmaed Sattati menerbitkan dua buku teks. Pertama tentang pemikiran Islam dan kedua tentang filsafat. Buku terkahir mempunyai dampak yang besar bagi para mahasiswa selama akhir dekade 1960-an dan awal 1970an. Buku ini menekankan hubungan antara turâts, dan masyarakat, serta peran penting yang dimainkan pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam konteks masyarakat yang sedang menuju perubahan. Aktivitas al-Jabiri dalam bidang pendidikan dengan segala problematikanya, telah menghasilkan bagian yang cukup penting bagi pembentukan intelektualnya selama periode itu.
Al-Jabiri sebagai seorang pemikir, dan kajian yang kritis tentang turâts (sejarah) kebudayaan Islam sebagai bagian dari kegiatan intelektualnya dalam berbagai hal yang dapat menguncang cara berpikir para pemikir dunia Arab, baik disadari ataupun tidak, tetapi hasil pemikirannya paling tidak dapat memperkaya sejarah pemikiran dan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang cara membaca Turâts Arab.
Dari awal, al-Jabiri mengatakan bahwa dia menggunakan pendekatan Sejarah kebudayaan Islam, serta rasa keingintahuannya yang modern dan berlebihan, dia tidak mengikuti pandangan bahwa kenyataan sejarah hanya sesuai untuk warisan budaya Barat saja. Sebaliknya dia berpendapat, bahwa kenyataan sejarah dapat diterapkan dalam semua sejarah umat manusia dan tidak ada pilihan lain dalam menafsirkan sejarah kebudayaan Islam, dengan menghubungkan konteks historis Islam.
Dengan demikian, dia serius ingin menjelaskan kenyataan turâts Arab, dengan menggunakan dan mempertimbangkan metodologi sejarah ini sebagai bagain dari apa yang ia sebut dengan turâts, hal tersebut tidak akan membuat kerancuan berpikir tentang tentang sejarah kebudayaan Islam tersebut, tetapi adalah untuk memperjelas tentang keberadaan kebudayaan Islam itu sendiri. Kebudayaan Barat dan Arab itu sangat jauh berbeda, maka dia mengatakan tidak boleh mengikuti turâts Barat dalam membaca turâts Arab.
Karya-karya Al-Jabiri
Al-Jabiri telah menghasilkan berpuluh karya tulis, baik yang berupa artikel Koran, majalah atau berbentuk buku. Topik yang selalu dicovernya juga bervariasi dari isu sosial dan politik hingga filsafat dan teologi. Karir intelektualnya seperti dimulai dengan penerbitan buku Nahwu wal Turast-nya, disusul dua tahun kemudian dengan al-Khitab al-'Arabi al Mua'sir Dirasah Naqdiyyah Tahliyyah, kedua buku tersebut seperti sengaja dipersiapkan sedemikian rupa sebagai pengantar kepada grand proyek inteletualnya 'Naqd al-al' Aql al-'Arabi (kritik akal Arab).
Buku ini bertujuan sebagai upaya untuk membongkar formasi awal pemikiran Arab-Islam dan mempelajari langkah apa saja yang dapat diambil dari pemikiran Islam klasik tersebut. Untuk karya ini telah menerbitkan Takwim al-'Aql al-'Arabi, Bunya al-'Aql-'Arabi, al-A'ql al-Siyasi-'Arabi, al-'Aq al-Akhalqi al Arabiyyah, Dirasah Taahliliyah Naqdiyyah li Nuzum al-Qiyam fi al-Thaqafah al-Arabiyyah. Karya terpentingnya yang termasuk al-Turath wa al Hadatshah, Ishkaliyyah al Fikr al-'Arabi al-Mua'asir, Tahafual al-thafut intisaran li ruh al-Ilmiyyah wa ta'sisan li akhlaqiyat al-Hiwar, Qadaya al-Fikr al 'Mu'asir Al'awlamah, Sira' al-Hadarat, al-Wahdah ila al-Ahklaq, al-Tasamuh, al-Dimaqratiyyah. Tahun 1996, al-Mashru al-Nahdawi al-'Arabi Muraja'ah naqdiyayh, al-Din wa al Dawlah wa Thabiq al-Shari'ah, Mas'alah al-Hawwiyah, al-Muthaqqafun fi al-Hadarah al-'Atabiyyah Mihnab ibn Hambal wa Nukkhah Ibn Rusyd, al-Tahmiyyah al-Basyaraiyyah di al-Watan al-A'rabi.
Kemudian dua buku berikutnya: al-Aql al-Siyîsî Arabî dan al-Aql Akhlâqî Arabî menjelaskan dari sisi metode praktik (amaliyah) yang mempraktekkan pendekatan teori pada medan nyata politik dan akhlaq. Karenanya, jika dilihat sepintas upaya dari Kritik Akal Arab ini berpeluang menjadikan masa depan dunia Arab-Islam lebih cerah. Proyeknya tidak lepas dari tradisi, kesimpulan ini bisa kita bidik dalam karya Binyah dan Takwîn: sumber-sumber klasik disana dibahas dalam bentuk yang mewakili. Bahkan Kamal Abdul Latief dalam buku al-Turâts wa al-Nahdah: Qirâ’ah fî A’mal Abid al-Jabiri memberi kesaksian mengagumkan: "al Jabiri membaca isi kitab turâts dan menulis penjelasan sekaligus mengkritik krangka pikir serta pola pemikiran Arab-Islam...".
Pemikiran Al Jabiri Tentang Turâts
Istilah "tradisi dan modernitas" yang digunakan dalam dikursus pemikiran Arab kontemporer merujuk kepada tema idiomatik yang bervarian, terkadang digunakan al- Turâts al-hadatsah. al- Turâts wa al-Tajdid. Al-Ashlah wa al-hadatsah, seluruh istilah tersebut berarti tradisi dan modernitas seluas-luas maknanya. Akan tetapi istilah Turâts paling sering digunakan dan paling sering disebut. Bahkan istilah itu kini menjadi kata kunci buat memasuki diskursus pemikiran Arab kontemporer. Secara literaral Turâts berarti warisan atau peninggalan yaitu berupa kekayaan ilmiah yang ditinggalkan atau diwariskan oleh orang-orang terdahulu. Istilah tersebut merupakan produk asli wacana Arab kontemporer,dan tidak ada padanan yang tepat dalam literatur bahasa Arab klasik untuk mewakili istilah tersebut.
Istilah-istilah al-adah (kebiasaan) urf (adat) dan sunnah (kehidupan Rasul) meskipun mengandung makna tradisi, tetapi tidak mewakili apa yang dimaksud dengan istilah turâts. Begitu juga dalam literatur bahasa-bahasa Eropa, tidak ada variabel tepat. Menurut al-Jabiri, kata legacy dan heritage dalam bahasa Inggris atau patrimonie dan legs dalam bahasa Perancis tidak mewakili yang dipikirkan oleh orang Arab tentang turâts.
Bagi al-Jabiri, turâts tidak hanya sekedar warisan budaya dan peradaban yang terkubur dan berada dalam kerangkeng pemikir masa lalu. turâts baginya tetap masih diperlukan spiritnya pada saat ini, terutama dalam menghadapi kooptasi peradaban lain atas dunia Islam. Dengan demikian, starting point atau langkah awal untuk menghidupkan kembali turâts (ihyâ’ut turâts) dalam konteks masyarakat saat ini adalah dengan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya nilai turâts dan kontribusinya dalam setiap pranata kehidupan. Selain itu, umat Islam juga harus memahami adanya korelasi antara turâts dengan tujuan serta orientasi umat Islam saat ini.
Ada tiga metodologi epistemologis untuk membongkar nalar Arab tentang turâts, menurut al-Jabiri, yaitu, Pertama epistemologis bayani, epistemologis Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan teks, nas secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran, secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu penafsiran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks. Dalam bayani rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam sasaran keagamaan metode bayani adalah aspek eksoterik (syariat).
Dengan demikian sumber pengetahuan bayani adalah teks. Dalam istilah ushul fiqh, yang dimaksud nas sebagai sumber pengetahuan bayani adalah Alquran dan hadis. Dikalangan ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber ajaran Islam yang utama adalah Alquran, al-Sunnah dan Ijma’. Ketentuan ini sesuai dengan agama Islam itu sendiri sebagai wahyu yang berasal dari Allah Swt, yang penjabarannya dilakukan oleh Nabi Muhamamd saw. Di dalam Alquran surat an-Nisa ayat 59.
Kedua Epistemologi al-Irfan, Dalam menerjemahkan kata al-Irfan, kita berhadapan dengan dua padanan yang serupa tapi tak sama, yang pertama adalah "Gnose/gnosis" yang berarti pengetahuan intuitif tentang hakikat spiritual yang diperoleh tanpa proses belajar. Sedangkan yang kedua adalah "gnostik" yang dikhususkan kepada pengetahuan tentang Allah yang dinisbahkan kepada: gnostiksisme, sebuah aliran kebatinan yang muncul di abad ke-2 M. Kelihatannya pengertian kedualah yang dikehendaki oleh al-Jabiri.
Sebagai aktivitas kognitif, gnostik berarti sesuatu yang dikatakan oleh para pemeluknya sebagai al-Kasyf dan al-bayan ( intuisi). Sebagai lapangan kognitif, gnostik adalah sinkretisme dari legenda, kepercayaan dan mitos berbaju agama yang dijadikan legitimasi pembenaran dari apa yang diyakini oleh pemeluknya sebagai pengertian esoteris yang tersembunyi dibalik wujud eksoteris dari teks agama. Adapun dari perspektif epistemologinya, gnostik merupakan konsep dan prosedur yang membangun dunia berpikir gnostik dalam pembentukan turâts, dengan dua porosnya, yang pertama adalah pengalihan bahasa, dengan menggunakan pasangan efistemologis makna eksoteris/esoteris yang sejajar dengan pasangan kata/makna dalam trend akal teoritis. Hanya saja al-Jabiri melihat pasangan ini secara terbalik artinya menjadikan makna sebagai asal dan kata sebagai cabang. Kedua mengabdi dan menggali manfaat secara bersamaan, baik secara terang-terangan maupun secara implisit, dengan menggunakan pasangan epistemologis kewalian/kenabian yang paralel dengan pasangan epistemologis dalam pembentukan turâts Arab.
Pengetahuan irfani adalah merupakan lanjutan dari bayani, pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks bayani, tetapi pada kasyf, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisis teks tetapi dengan hati nurani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepada-Nya. Dari situ kemudian dikonsepsikan atau masuk dalam pikiran sebelum dikemukan kepada orang lain. Secara metodologis pengetahuan ruhani diperoleh melalui tiga tahapan yaitu, persiapan, penerimaan, dan pengungkapan baik secara lukisan maupun tulisan.
Ketiga Epistemologi Burhani, berbeda dengan epistemologi bayani dan irfani, yang masih berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks, juga tidak pada pengalaman. Burhani menyadarkan diri kepada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang ia sesuai dengan logika rasional. Perbandingan ketiga epistemologi ini, seperti dijelaskan al-Jabiri, bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogis non fisik atau furu' kepada yang asal, irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani kepada Tuhan dengan penyatuan universal, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.
Dengan demikian, sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau intitusi. Rasio inilah yang dengan dalil-dalil logika, memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi-informasi yang masuk lewat panca indera, yang dikenal dengan istilah tasawwur dan tasdiq. Tasawwur adalah proses pembentukan konsep berdasarkan data-data dari indera, sedang tasdiq adalah proses pembuktian terhadap kebenaran konsep tersebut.
Selanjutnya, untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, epistemologi burhani menggunakan silogisme. Dalam bahasa Arab, silogisme diterjemahkan dengan qiyas atau al-Qiyas al-Jami' yang mengacu kepada makna asal. Secara istilah, silogisme adalah suatu bentuk argumen dimana dua proposisi yang disebut premis, dirujukan bersama sedemikian rupa. Sehingga sebuah keputusan pasti menyertai. Namun karena pengetahuan burhani tidak murni bersumber kepada rasio objek-objek eksternal, maka ia harus melalui tahapan-tahapan sebelum dilakukan silogisme yaitu 1. tahap pengertian, 2. tahap pernyataan, 3. tahap penalaran.
Dengan metode terakhir, pengetahuan atau hikmah yang diperoleh tidak hanya yang dihasilkan oleh kekuatan akal tetapi juga lewat pencerahan rohaniah, dan semua itu disajikan dalam bentuk rasional dengan menggunakan argumen rasional. Pengetahaun atau hikmah ini tidak hanya memberikan pencerahan kognisi tetapi juga realisasi, mengubah wujud sipenerima pencerahan itu sendiri dan merealisasikan pengetahuan yang diperoleh sehingga terjadi transformasi wujud, semua itu tidak bisa tercapai kecuali dengan mengikuti syariat, sehingga sebuah pemikiran harus menggunakan metode bayani.
Kritik al-Jabiri Terhadap Pemikiran Hubungan Arab-Barat tentang Turâts
Al-Jabiri, sangat prihatin tentang Arab (Islam) yang senantiasa mengalami kemunduran dalam berbagai aspek, karena itu ia melontarkan pertanyaan penting untuk dipikirkan. Benarkah Arab telah mengalami kemunduran dalam pikiran, benarkan pemikiran yang diadopsi oleh Arab adalah sepenuhnya dari Barat. Bagi al-Jabiri, kemunduran Arab dalam pikiran adalah merupakan refeksi dari zaman posmo. Pada tingkat sosiologis, era posmo di tandai dengan sejumlah ciri-ciri pokok antara lain semangat pluralisme, rasa sekeptis yang meningkat terhadap ortodoksi-ortodoksi tradisional, yang menolak dunia sebagai totalitas universal.
Kemudian al-Jabiri bertanya-tanya apakah Islam bisa bangkit kembali dan kejayaan tentang turâts. Ini adalah pertanyaan yang selalu mengiang-ngiang antara utopia dan harapan. Maka menjelang dan pascakolonialisme, gerakan-gerakan Islam terutama yang bernuansa pemikiran, di samping gerakan revolusi, bermunculan di seluruh belahan dunia Islam khususnya Arab. Gerakan-gerakan Islam yang ada sampai saat ini berupaya untuk mengembalikan kemajuan turâts yang telah lama hilang, juga berupaya merevitalisasi turâts yang lama, kepada turâts yang baru. Tetapi dalam dataran visi aplikatif al-Jabiri berbeda dengan para tokoh yang lain yang ingin memajukan dunia Arab, bahkan perbedaan ini mengarah kepada munculnya penghujatan terhdap ide yang dikemukakan oleh al-Jabiri.
Dalam soal hubungan Arab dan Barat, al-Jabiri membagi sikap muslim dengan tiga kategori, yaitu tradisonalis, radikalis dan modernis. Pertama, tradisonalis adalah pemikiran yang lebih mementingkan pesan-pesan universal Islam dari pada perbedaan personal atau sektarian yang sempit. Karena itu, kelompok ini punya kecenderungan sufistik, karena sufistik menurut al-Jabiri termasuk memiliki pesan penting tentang universalisme dan toleransi, kecenderungan tersebut bisa diatasi.
Kedua radikalis atau pemikiran yang berusaha mengimplementasikan ajaran Islam lewat perjuangan bersenjata dan konfrontasi. Mereka yang termasuk dalam kelompok ini pada umumnya amat benci dan jijik dengan apa yang disebut Barat, sehingga mereka banyak membangkitkan kemarahan dan kebencian masyarakat muslim terhadap Barat. Mereka mempublikasikan pikiran-pikiran yang merefleksikan kelemahan umum umat Islam terhadap ketidakadilan, diskriminasi, dan sejenisnya. Sikap-sikap dan perilaku tersebut sangat sesuai dengan sikap stereotype media dunia sehigga nama mereka sering muncul dalam media massa dan menjadi terkenal meski secara kuantitas jumlah mereka tidak banyak.
Ketiga, modernis, yaitu pemikiran yang mempunyai keyakinan bahwa agama sebagai kekuatan, obat mujarab, dan bimbingan sudah tidak diperlukan dan tidak sahih lagi dalam keadaan sekarang. Mereka yang termasuk dalam kelompok ini menolak tradisi Islam untuk kemudian menggantikannya dengan ide-ide dan tradisi di luar Islam. Kebanyakan dari kelompok ini adalah para sarjana muslim yang terdidik dan menerima pemikiran Marxisme secara total di samping peradaban Barat. Mereka cukup dikenal di Barat dan dianggap sebagai panutan oleh mahasiswa karena tradisionalis tampak sebagai orang tua yang kolot sementara kaum radikal adalah manusia liar. Dalam hubungan sesamanya, kaum modernis pada umumnya membentuk organisasi-organisasi yang rapi yang saling mendukung antara satu dengan yang lainnya. Mereka cukup vokal dan sering menjadi juru bicara resmi media tentang Islam. Meski demikian menurut al-Jabiri. Posisi apa yang dilakukan kaum moderrnis tidak banyak memberi pengaruh pada kebanyakan masyrakat muslim Arab. Hal ini, al-Jabiri mengeluhkan banyak tulisan mereka justru menciptakan perasaan cemas dan dikhianati di kalangan masyarakat muslim.
Sementara itu al-Jabiri membagi kalangan Barat yang berhubungan dengan Islam kedalam tiga kategori, orentalis tradisionalis, sarjana baru, dan generalis media. Pertama, kaum orientalis, kelompk ini pada umumnya melihat dan mengkaji Islam, termasuk juga Timur berdasarkan semangat kolonialisme dan superioritas Barat. Oleh karena itu, dalam pikiran orientalis tidak terdapat sesuatu yang pokok yang diperlukan dalam sebuah kajian ilmiah, yaitu konsep kemanusiaan yang universal yang meliputi seluruh manusia tanpa perbedaan warna kulit dan keyakinan. Dengan menolak kemanusiaan itu berarti orientalisme telah merasuk jiwa dan menghilangkan semangat ke arah munculnya pemahaman dan pengetahuan tentang orang lain secara lengkap utuh dan obyektif.
Kedua, sarjana baru yaitu kelompok pemikiran dari Barat yang lahir pasca orientalisme tradisional dan tidak dipengaruhi superioritas kultural atau rasisme. Karena karya dan kajian mereka lebih akademis dan objektif tanpa memihak. Mereka mempunyai dan menguasai metodologi penelitian yang baik sehingga memungkinkan responden berbicara atas namanya sendiri. Mereka memberi kesempatan bagi di dengarnya suara orang lain melalui literatur dan para sarjananya sendiri.
Ketiga, kaum generalis dan orang media, kelompok ini menurut al-Jabiri lebih dekat dan bahkan lebih kejam dan lebih liar dari pada kaum oreintalis sendiri. Mereka menggunakan khazanah-khazanah klasik orientalis yang sudah basi dan tidak ilmiah untuk menghantam Islam dan masyarakatnya. Mereka telah melupakan peranannya sebagai pengamat netral dan menjadi peserta aktif dalam drama politik yang menggambarkan Islam dalam sosok kaum yang tidak pernah ramah. Betapa di antaranya bahkan menasehati pemerintah untuk segera menguasai Negara-negara muslim menguasi kekayaan dan ladang minyak demi keamanan Barat.
Hubungan Islam dan Barat merupakan fenomenal dalam sejarah yang menumbuhkan kembali semangat iman, stagnasi pemikiran dan fikih, serta gerakan (harakah) dan jihad. Hubungan ini juga membawa ujian-ujian bagi umat Islam sehingga mendorong mereka mencari sebab-sebab kejatuhan dan kehinaan yang menimpa. Beranjak dari kesadaran ini, mereka menemukan kesadaran baru, yaitu: menghidupkan iman, mengaktifkan pemikiran, dan menggairahkan gerakan Islam. Dalam hal ini, Alquran telah mengisyaratkan melalui kisah perjalanan Bani Israil (awal surat al-Israa') dan Al-Hadits yang menjelaskan tentang lahirnya pembaharu setiap satu abad. Sejarah Islam pun membuktikan isyarat ini.
Hubungan Islam dan Barat yang sedang diperbincangkan ini merupakan fase kesadaran baru yang sedang marak di Dunia Arab Islam pasca fase kehinaan akibat kolonialisme. Hubungan Islam dan Barat mulai muncul menjelang Perang Dunia II pecah dan semakin kokoh pada era sesudahnya hingga mencapai momentum perkembangan yang paling spektakuler sejak akhir dasawarsa 1970-an. Hubungan ini semakin mengakar dalam organisasi-organisasi Islam yang membawa kesadaran baru. Berdirilah misi-misi Islam yang mengembalikan kepercayaan mengenai kebenaran Islam dan kebesaran turâts.
Hubungan Islam dan Barat, menimbulkan berbagai pengaruh bagi Dunia Arab. Hubungan tersebut merupakan respon terhadap berbagai tantangan dan bekerja sama dengan kekuatan sejarah lain yang bergerak di negeri-negeri lain. Dalam pengertian, hubungan Islam dan Barat, tidak hanya bergumul dengan ideal-ideal Islam saja, melainkan juga dengan realitas serta berbagai aliran dan paham. Karenanya, kita terkadang masih perlu mengembalikan wacana tentang hubungan Islam dan Barat, kepada akar-akar pemikiran Arab secara keseluruhan. Ide-ide yang dikemukakan oleh al-Jabiri untuk memajukan dunia Arab tentang turâts, dengan idenya tidaklah terputus dari lingkungan sekitarnya. Demikian pula hubungan Islam dan Barat, tidak hanya mengakar di bumi Arab.
Pembahasan
Pemikiran al-Jabiri tentang Turâts
Kesalahan fatal lain yang banyak disinyalir olah para pengkritisinya adalah sikap selektif al-Jabiri dalam membuat kutipan. Ia cenderung memlilih perkataan dan pendapat orang lain yang hanya sesuai dengan tujuan dan ideologinya demi untuk mempertahankan pandangannya, meskipun dalam pendapat tersebut tidak sesuai dengan konteks yang diinginkan. Sebagai contoh, menurut Tizini dalam sebuah seminar yang dihadirinya di Tunis pada tahun 1982, al-Jabiri pernah mengungkapkan bahwa pikiran al fikr dan akal Arab adalah bayani. Untuk memperkuat argumennya dia telah menyebutkan al jahidz dalam kitab al-Baya wa al Tahyin sebagai contoh, kata Tizini dalam hal ini Jabiri telah melaksanakan dua kesalahan
Pertama generelasi yang dilakukan atas pemikiran Arab dengan hanya mengambil satu contoh yaitu al-Jahid, kedua sample yang digunakannya yaitu al-jahidz, tidak dapat mewakili keseluruhan bangunan akal Arab. Contoh lain adalah yang diungkapkan oleh Nur al Din al Daghir dalam usahanya untuk membuktikan dan mempertahankan rasionalitas mazhab Arab Maghribi, di mana ia menjadi bagian dari padanya, dan selanjutnya membuktikan keterpengaruhan Shiah dengan pemikiran asing, ia hanya merujuk kepada empat buku teks Syiah saja. Sementara untuk membuktikan hal yang sama dari kelompok Sunni dan hanya memilih buku yang punya kecenderungan salafi Ashariyyah seperti Maqalat Islamiyyin-nya Imam al Ashari, al-Farq Bayn firaq-nya Abdul Qahar, Mihaya al Aqdam-nya Shahrastani, al-Masail fi al Khilaf bayn al Basriyyin wa al Baqdadiyin-nya Ibn Rusyd Naysaburi dan al-Fatawa-nya Ibn Taimiyyah.
Berdasarkan fakta ini maka tak salah kiranya banyak penulis seperti Ali Harb yang menilai bahwa kajian turast al-Jabiri penuh dengan muatan ideologis, Arab maghribi centrism, bahkan secara khusus Sunni Arab Maghribi Minded. Jadi, al-Jabiri adalah seoarang ideolog, yang telah memiliki pola berpikir dan ideologi tertentu, yang kemudian dia gunakan untuk menelaah tradisi Islam. Jika ia menuduh sejumlah imam besar seperti al Ghazali, terkooptasi dan terpengaruh oleh kekuasaan ketika itu, maka ia sendiri pun terbukti terkooptasi dan terpengaruih oleh ideologi tertentu. Jadi persepsinya terhadap ulama terdahulu yang belum tentu benar itu sebenarnya dipengaruhi oleh kondidsi dirinya yang telah terkooptasi oleh ideologi.
Dalam pandangan Nuruddin al Ghadir, metode yang sedang dikembangkan oleh al-Jabiri sebenarnya sangat berbahaya bagi tradisi Arab Islam itu sendiri ia bahkan sempat berkesimpulan bahwa sesungguhnya buku-buku al-Jabiri itu tidak layak untuk diterbitkan, karena pada prinsipnya kajian-kajiannya dalam turâts bukan untuk merekonstruksi turâts, tapi malah menghancurkannya. Ghadir, menuliskan berdasarkan fakta ini (kritik yang dilakukan al-Jabiri), maka sesungguhnya ide al-Jabiri itu pada akhirnya hanya akan mencabik-cabik turâts pada seluruh dimensinya, bahkan akan mencabik eksistensi turâts orang Arab.
Bila kita cermati secara jujur menggkaji model-model kajian turâts yang ditawarkan oleh pemikir kontemporer Arab muslim lain, maka kemungkinan besar kita juga akan sampai pada kesimpulan seperti yang dibuat oleh Ghadir ini, sehingga beliau menilai bahwa apapun model metodologi yang saat ini ditawarkan oleh pemikir Arab muslim kontemporer. Maka sesungguhnya justru berakhir pada pemenggalan turâts itu sendiri. Sayangnya dalam kancah pemikiran di Indonesia, metodologi-metodologi seperti inilah yang ingin kita kembangkan dalam upaya untuk merekonstruksi (turâts) peradaban Islam kembali.
Baik sadar atau tidak al-Jabiri sebenarnya telah hanyut ke dalam rentetan kelompok liberal yang menurutnya menjadikan peradaban Barat sebagai model ideal dalam membangun kembali turâts Islam. Gagasan al-Jabiri yang perlu dipertanyakan juga adalah keinginannya agar umat Islam melakukan epistemic rupture sebagaimana yang dilakukan Barat. Alasannya karena proses ini sudah pernah dilakukan oleh Ibn Rusyd ketika berhasil memutuskan hubungan epistemologinya dengan mazhab pemikiran yang dibangun Ibn Sina dan Ghazali, hanya menurut al-Jabiri secara kuat terpengaruh oleh pemikiran Hermeticism Yunani. Tetapi benarkah Ibn Rusyd berhasil melepaskan dari jaringan pemikiran yang dibangun oleh falsafah Arab timur dengan mazhab peripatetiknya. Sebab realitasnya Ibn Rusyd sebagaimana al-Farabi dan Ibn Sina terpengaruh oleh pemikiran Yunani.
Memang benar bahwa Ibn Rusyd bukan tipikal tapi ahli filsafat yang telah berhasil memberikan arah tersendiri dalam filsafat. Namun al-Jabiri tidak dapat menafikan bahwa Ibn Rusydlah tradisi filsafat peripatetic mencapai titik keilmuannya. Bahkan menurut al-Jabiri tidak boleh dibaca seorang pemikir klasik dalam bentuk fragmentatif. Al Ghazali misalnya tidak bisa dibaca hanya sebagai filsuf, karena dia juga seorang theologian, ahli fiqh, sufi dan seterusnya. Demikian juga halnya dengan seorang faqih harus dibaca dalam kapasistasnya yang bervariasi. Demikianlah seterusnya dengan mufassir, ahli sejarah dan sebagainya.
Pengunggulan yang dilakukan oleh al-Jabiri atas epistemologi dan logika modernitas, dengan meniscayakan kekuatan "rasionalisme" dan menyandarkan sepenuhnya pada revitalisasi epistemologi diskursus filosofis dan penyelidikan empiris, hanya akan mengkerdilkan posisi Turâts peradaban Islam di tengah peradaban modern. Dengan menggunakan prototipe Ibn Rusyd, dan menghalau semua khazanah tradisi keilmuan Islam di luarnya, peradaban Arab-Islam hanya akan terseok pada proses peminggiran (marginalisasi) peradaban dunia. Karena tentunya hal ini akan memaksa kita menggantungkan diri pada upaya yang juga dilakukan oleh Humanisme di Renaissan Eropa. Yakni menjadikan Yunani sebagai satu-satunya kiblat peradaban. Dalam pandangan penulis, hal ini hanya akan menimbulkan "keminderan" dalam mengungkap orisinalitas peradaban Arab-Islam. Dalam hal ini, tanpa sadar, al-Jabiri telah mengubur impiannya untuk mencari autentisitas Islam.
PENUTUP
Dari pembahasan di atas dapatlah dipahami, bahwasannya pemikiran al-Jabiri memfokuskan kajian pada turâts yang dimiliki Arab Islam, terutama terfokus pada turâts abad pertengahan. Kajian terhadap turâts ataupun modernitas (Eropa) ini menjadi sangat strategis, dengan alasan bahwa ternyata terdapat beberapa kutub pemikiran yang memperlakukan keduanya secara berbeda antara pro-kontra. Para intelektual senior sebelum al-Jabiri dengan melakukan beberapa dialog dan kajian di antara mereka untuk menentukan format terbaik dalam merekonstruksi akal Arab tentang turâts yang tengah mengalami keterpurukan saat itu.
Al-Jabiri memandang bahwa turâts yang dibangun oleh Barat telah menghujamkan kaki-kakinya secara paksa. Hal ini telah berlangsung sejak adanya imperialisme dan kolonialisme di negara-negara Arab. Barat menurut Jabiri telah memaksakan dirinya sebagai model yang mendunia. Seolah turâts Eropa menjadi sebuah model kemajuan yang harus ditiru oleh negara-negara muslim yang nota bene tengah dijajah oleh Barat. unsur-unsur yng telah membangun turâts Eropa adalah semangat untuk menguasai wilayah lain sebagai bagian dari kedaulatannya, sehingga dengan sendirinya mereka dapat memasukkan budaya sekuler yang mereka miliki. Hal ini menunjukkan adanya konflik kepentingan ideologi yang dihembuskan dunia Barat.
Oleh karena itu, menurutnya perlu adanya ideologi tandingan yang muncul dari negara-negara di dunia Ketiga, khususnya dari Dunia Arab-Islam. Alur yang ditawarkan oleh ideologi baru ini mesti melakukan perlawanan terhadap dominasi Barat. Secara politis, alur ini akan banyak tergantung pada kepemimpinan yang dimunculkan oleh negara-negara ini sebagai pembela kepentingan turâts. Mereka yang mampu memainkan perannya sebagai pengususng turâts tandingan adalah mereka yang memiliki kualitas yang "menjanjikan", yakni negara yang memiliki turâts, dengan keunggulan budaya dan keberlangsungan peranan yang dimainkannya secara historis, peranan regional yang tak tertandingi, dan pengalaman dalam mengaplikasikan turâts untuk perubahan (revolusi), serta adanya desakan eksternal yang mematikan langkah-langkah turâts selama ini.
Penulis adalah dosen fakultas Ushuluddin IAIN Sumatera Utara dan alumni S2 IAIN Sumatera Utara Medan.
Pustaka Acuan
Abd Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Masdar Helmi (Bandung: Gema Risalah Press,1996).
Al-Karmi Hasan, al-Mughni al-Akbar, (Beirut: Librairie, 1988).
Al-Jabiri, Bunyah al-'Aqlu al-'Arabi, (Beirut:Dar al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991).
__________, Iskaliyyat al-Fikr al-'Arabi al-Mu'asir, (Beirut: Markaz Dirasah al-Arabiyah).
___________,al-Turâts wa al-Hadatsah: Dirasah wa Munaqasat (Beirut: al-Markaz al Tsaqafi al- Arabi, 1991).
____________, al- 'Aql al-Siyasi al-'Arabi Muhadditatuh wa Tajaliyyatuh (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-'Arabi, 1991).
____________, Takwin al-Aql al-Arabi (Beirut: Markaz al Tsaqafi al Arabi, 1991).
Akbar S Ahmed, Postmpdernism and Islam: Predicament and Promise terj Postradisionalisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam, ed, M. Sirozi, (Bandung: Mizan cet IV, 1996) hlm.52).
A.W. Benn, History of English Rationalism in the Nieteenth Cnetury (New York: Rusell and Rusel, 1962).
Al-Karmi Hasan, al-Mughni al-Akbar, (Beirut: Librairie, 1988).
Ahmad Baso,"Pengantar dalam Jabiri, Post-Tradisionalisme Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2000)
Ali Harb, Naqd al-Nass (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-Arabi, 1993).
A.Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, edisi revisi, (Jakarta: Rajawali Perss, cet II, 2002).
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan Dalam Islam, terj. Farid Wajidi, (Yogyakarta: LSSPA, 2000)
______________, Islam dan Pembebasan terj Hairus Salim, (Yogyakarta: LKiS, 1993).
Arthur Hyman dan James Walsh ed, Philosophy in the Middle Age (Indianapolis: Hacket Publishing Company, 1986).
Al-Zarqani, Manabil al-Arfan fi Ulumul Qur’an (Mesir: Isa al-Baby, tt.
Evrand Ibrahamian, Khomeinism:Essay on the Islamic Republic,(London: Tauris, 1993).
Ibn Rusyd¸ Kaitan Filsafat Dengan Syari'at¸ terj Shadiq nor, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996).
Fuad Jabali, Ibn Khaldun and IslamicTthought Style A Sosial Perspectif, terj Ibn Khaldun Dan Pola Pemikiran Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus cet II, 2003).
M. Aunul Abied Shah, ed, Islam Garda Depan: Mosaik pemikrian Islam Timur Tengah, (Bandung: Mizan, cet I, 2001)
Parvis Morewedge, Islamic Philosofhy and Mysticism (New York: Caravan Books, 1981)
Akbar S Ahmed, Postmodernism and Islam: Predicament and Promise terj Postradisionalisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam, ed, M. Sirozi, (Bandung: Mizan cet IV, 1996)
Smith Alhadar, Palestina dalam Pandangan Imam Khomeini, (Jakarta: Madani Grafika, 2004).
Solomon Grayzel, A History of The Jews, (New York: Meridian 1984.
Stephen R. Humpreys, "artikel dalam Michael Curtis" (Ed.), Religion and Politics in Middle East, (Boulder: Westview, 1981).
The Charter of Allah: The Platform Islamic Resistance Movement (HAMAS), htt://www.fas.org/irp/world/para/docs/880818.htm, 25.02/06.
The HAMAS Background, Information Division, Israel Foreign Ministry – Jerusalem Mail all Queries to ask@israel-info.gov.il. URL: http://www.israel-mfa.gov.il. Gopher://israel-info. gov.il.
Tore Kjeilen, Encyclopaedia of Orient, Atlas of the Orient, Babel: arabic,
W. Lacquer, A. History of Zionism, (New York: 1972).
Yusril Ihza Mahendara, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999).
Yusuf Qardhawi, Al Quds Masalah Kita Bersama, terj. Tim Samahta-Sanggar Terjemah dan Pustaka ICMI Orsat Kairo, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1999).
Sumber:www.litagama.org
Saturday, May 3, 2008
Perang Salib: Perspektif Islam
Penulis adalah Alumnus Pesantren Manba’ul Ma’arif, Denanyar Jombang
Perang Salib berawal dari Maklumat Perang suci yang diserukan oleh Paus Urbanus II pada tahun 1095. Hal ini didorong oleh keinginan kaum Kristen Eropa untuk menjadikan tempat-tempat suci umat Kristen, terutama Yerussalem untuk bisa masuk ke wilayah mereka sehingga melakukan serangkaian operasi militer melawan tentara muslim di sepanjang kawasan Mediterania Timur. Perang ini kerap dilihat sebagai awal kontak yang melahirkan ketegangan dan sikap permusuhan antara Barat dan Timur. Perbincangan tentang konflik antaragama, terutama agama-agama besar dunia—Yahudi, Kristen, dan Islam—sering kali dihubungkan dengan peristiwa Perang Salib.
Menurut Anne-Marie Eddé dari Universitas de Reims, perang salib dari sudut pandang Barat telah menghasilkan karya-karya yang begitu kaya dan melimpah dalam waktu lebih dari satu abad. Sepertinya, studi dan riset tinjauan sejarah Perang Salib jauh lebih banyak dilakukan oleh kaum Barat.
Di sisi lain, sangat sedikit studi yang mencermati respon kaum muslim terhadap Perang Salib sehingga tidak heran jika Perang Salib lebih banyak dihadirkan secara Eropasentris. Sudah lama diyakini bahwa perang salib membawa pencerahan besar kepada kaum Eropa Barat yang dulu bisa dikatakan sangat tertinggal ketika ilmu pengetahuan dan kebudayaan maju pesat di negara-negara Timur Tengah, bahkan meluas hingga ke Barat ke Andalusia dan ke Timur ke daratan India.
Prof. Carole Hillenbrand, Guru Besar Studi Islam dan Bahasa Arab dari Universitas Eidinburgh adalah salah satu penulis yang mencoba mengambil perspektif Islam dari Perang Salib. Dia menulis buku yang berjudul The Crusades : Islamic Perspectives (terjemah Indonesia : Perang salib, sudut Pandang Islam) . Buku setebal 808 Halaman ini menyajikan reaksi kaum muslim terhadap tentara Salib dengan menjelaskan pula konsep jihad saat menghadapi kaum Salib. Dia juga menjelaskan strategi militer, persenjataan, pertempuran laut, benteng-benteng serta interaksi kaum muslim dengan kaum Salib tersebut.
Buku ini, sebagaimana dikatakan oleh penulis, mencoba memasuki alam pikir umat Islam Abad Pertengahan yang merasakan penderitaan akibat Perang Salib, dan berdasarkan sumber-sumber itu, mengungkapkan setidaknya perasaan dan reaksi umat Islam terhadap intervensi Eropa barat di wilayah dan di dalam kehidupan mereka.
Sikap melihat Perang Salib dari sudut pandang Islam memang sudah seharusnya dilakukan di tengah aroma Eropasentrisme yang merebak. Kajian buku ini dimaksudkan untuk memberikan pengimbangan kecenderungan yang Eropasentristik itu.
Harus diakui, Perang Salib adalah cikal bakal hubungan antara Barat dan Timur. Perang Salib telah membentuk persepsi kaum Barat tentang dunia Islam sebagaimana perang itu juga membentuk pandangan umat Islam terhadap Barat. Perang Salib setidaknya telah mempengaruhi kesadaran kedua belah pihak dalam interaksi selanjutnya misalnya ungakapan Crusades dari Presiden George Bush saat menyatakan perang terhadap terorisme.
Perang salib berlangsung selama kurang lebih dua abad (1096-1291). Perang ini terjadi karena adanya penaklukan kota-kota penting dan tempat suci kaum Kristen oleh kaum Muslim misalnya Suriah, Asia Kecil, Spanyol dan Sicilia. Disebut perang Salib karena kaum Kristen menggunakan Salib sebagai simbol pemersatu.
Menurut Philip K. Hitti dalam The History Of Arabs, Perang Salib terjadi dalam tiga periode. Periode pertama disebut periode penaklukan (1096-1144) di mana Paus Urbanus II bisa membangkitkan semangat kaum Kristen untuk bersiap melaksanakan penyerbuan. Mereka menaklukkan Anatolia Selatan, Tarsus, Antiokia, Aleppo dan Edessa. Kemenangan pasukan Salib ini telah mengubah peta dunia Islam karena dari kemenangan ini berdirilah beberapa kerajaan di bawah pemerintahan Kristen di Timur.
Periode kedua adalah reaksi umat Islam (1144-1192). Jatuhnya beberapa wilayah kekuasaan Islam ke tangan kaum Salib membangkitkan kesadaran kaum muslimin untuk menhimpun kekuatan guna menghadapi mereka. Di bawah kepemimpinan Imaduddin Zangi, Nuruddin Zangi dan Shalahuddin al-Ayyubi, kaum muslim bisa menundukkan wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh pasukan Salib misalnya Edessa, Aleppo, Damascus, Antikoia dan Mesir.
Periode ketiga adalah berlangsung dari 1193-1291 yang lebih dikenal dengan perang saudara atau periode kehancuran dalam perang Salib. Tindakan tentara Salib untuk membebaskan Baitul Makdis beralih menjadi ambisi politik dan sesuatu yang bersifat material.
Dari ketiga periode itulah, Carole Hillenbrand membuka cakrawala dan informasi tentang pemikiran, sikap dan reaksi kaum muslim pada saat tentara Salib datang. Dia menunjukkan, tentara Salib membawa banyak hikmah yang tak ternilai harganya karena mereka dapat berkenalan dengan kebudayaan dan peradaban Islam yang sudah sedemikian majunya. Kebudayaan yang mereka peroleh dari kaum Muslim seperti bidang militer, seni, astronomi, perdagangan, pertanian, kesehatan, kebersihan dan kepribadian sedikit banyak telah memberikan pencerahan kepada mereka. []
Thursday, May 1, 2008
Sejarah Gerakan Misionaris Di dunia Islam
Bagian Pertama
Di antara realitas dan berita mengenai negara-negara Islam, adakalanya kita bertemu dengan masalah yang memang penting dan layak untuk diperhatikan. Kehadiran dan aktivitas misionaris agama di negara-negara Islam merupakan salah satu topik penting yang beberapa waktu lalu menjadi pembahasan dalam media
Kehadiran misionaris agama di negara-negara Islam merupakan satu gerakan yang kompleks dan ada kalanya berbentuk kegiatan kebudayaan yang tersembunyi. Kegiatan ini sebagian besar mendapat dukungan moral dan materil dari para kapitalis besar di barat. Dengan melihat kepada aktivitas dan kinerja mereka dalam masyarakat Islam selama beberapa dasawarsa yang lalu, banyak pengamat masalah sejarah dan politik yang menilai bahwa para misionaris ini adalah pelaksana kebijakan imperialisme dunia.
Pembahasan yang ingin kami sampaikan pada pertemuan kita kali ini ialah aktivitas misionaris di negara-negara Islam serta meninjau sejarah kedatangan, tujuan, dan metode aktivitas mereka dalam masyarakat Islam.
Aktivitas misionaris di negara-negara Islam memiliki sejarah yang panjang. Misionaris adalah sebutan untuk siapa saja yang mengemban tanggungjawab untuk menyebarkan kristen. Misionaris masuk ke berbagai negara dengan tujuan untuk memperkenalkan dan memperluas penyebaran akidah Kristen. Tetapi seiring dengan berlalunya zaman, mereka masuk seiring dengan invasi kaum imperialis. Dengan cara ini mereka mampu menyusup masuk dan melakukan infiltrasi di kawasan-kawasan yang telah ditaklukkan kaum imperialis tersebut. Pak, peneliti Cina dalam bukunya yang berjudul
“Delegasi misionaris agama bisa memberikan keuntungan buatku di
Pada awalnya aktivitas misionaris hanya bergantung pada tenaga manusia. Seiring dengan perkembangan zaman, para misionaris bergerak secara lebih sistematik dan dalam rangka mencapai tujuannya, mereka membentuk lembaga-lembaga dan organisasi. Aeten Sezar, penulis Turki mengenai hal ini menulis:
“Pada abad ke17 masehi, gereja Katolik Roma yang memiliki kekuasaan atas pemerintahan Eropa, mendirikan Kementerian Propaganda Agama di Vatikan dengan mendirikan dan mengembangkan agama kristen di dunia. Bersamaan dengan gerakan ini, sekolah propaganda agama asing telah dibangun di
Yang memberikan kesempatan bagi meluasnya kehadiran misionaris kristen di negara-negara timur adalah masuknya tentara imperialis di kawasan itu. Seperti yang kita ketahui bersama, aksi penjajahan Portugis dan Spanyol mendapat dukungan Paus Iskandar ke-enam pada abad ke 15 masehi. Paus memberi dukungan kepada pemerintah Spanyol dan
Kardinal Ximenes pada tahun 1516, dalam rangka perluasan infiltrasi dan pengokohan gerakan kristen, memberi perintah supaya setiap serangan ke India Timur dan Barat haruslah diiringi oleh misionaris kristen. Adakalanya delegasi dakwah agama juga disertai oleh penemu dunia. Abdulhadi Haeri, penulis buku ‘Pertentangan pertama pemikiran
“Langkah pertama dunia barat dalam menaklukkan bumi timur pada dasawarsa 15 masehi dilakukan oleh orang-orang Portugis. Pelopor pertama dari kaum penjajah itu adalah Henry si Pelaut. Dia juga disebut sebagai pemimpin besar kelompok Kristen. Ambisinya yang terbesar adalah menumpas umat Islam. Dia berusaha keras memperluas imperialisme portugis di timur dan melakukan kristenisasi di
Sebagian percaya bahwa sebab utama permusuhan di antara sebagian kapitalis dengan umat Islam adalah dampak dari perang salib. Karl Heinrich Bekker, orientalis dan politikus Jerman, menyebutkan bahwa permusuhan kapitalis gereja dengan Islam mempunyai sejarah yang bermula sejak zaman kemunculan Islam. Islam kemudian semakin berkembang pada abad pertengahan dan secara gradual masuk ke negara-negara berpenduduk kristen. Gairdner juga membenarkan pernyataan Bekker ini. Dia menyatakan bahwa kekuatan yang tersembunyi dalam Islam menyebabkan Eropa merasa takut dan terjadilah permusuhan antara gereja dan Islam.
Invasi dua negara imperialis Portugis dan Spanyol ini, kemudian diikuti pula oleh negara Eropa yang lain seperti Belanda, Perancis, Inggeris, dan
Selepas itu, agama Protestan juga turut melakukan aktivitas mereka di dunia timur dan memperluas agama mereka di negara-negara jajahan.
http://www.irib.ir/worldservice/melayuRADIO/misionaris/01misionaris.htm
Turki: Sekuler dan Islam
Dua kota menjadi lokasi pengkajian, yakni kota Ankara sebagai ibu kota negara, dan Istanbul sebagai ibu kota Kerajaan (Islam) Usmani (Otoman Empire). Dua kota ini dipilih karena dianggap mewakili kehidupan kenegaraan dan sosial umat Islam Turki. Di kota Ankara, terdapat pusat pemerintahan sekaligus sebagai tempat pelacakan terhadap institusi pemerintahan, termasuk yang menangani urusan keagamaan Islam (Diyanet) sedang Istanbul merupakan kota lama yang sangat hidup dan dipenuhi dengan bekas-bekas kejayaan Kerajaan Usmani.
Republik Turki merupakan sebuah negara modern yang sedang berjuang untuk bergabung dengan Uni Eropa karena memang sangat dekat dengan Eropa. Sekalipun sebagian besar wilayahnya masuk dalam Benua Asia (Anatolia, kota Ankara), tapi sebagian wilayahnya masuk daratan Benua Eropa (Istanbul).
Negeri Islam ini menganut ideologi sekuler meski penduduknya 99 persen dari sekitar 60 juta orang menganut agama Islam dengan Mazhab Hanafiah. Republik Turki telah menjadi negara sekuler secara resmi setelah melalui sebuah proses panjang di bawah kepemimpinan Mustafa Kemal Attaturk (1881-1938). Republik Turki didirikan sejak tahun 1923 dan Mustafa Kemal sebagai presiden pertama yang sebelumnya (1922) mengambil alih kekuasaan temporal Khalifah di Istanbul. Kemudian pada tahun 1924, beliau menghapus jabatan khalifah. Khalifah Abd al-Majid kemudian diperintahkan meninggalkan Istanbul, Turki dan bersama keluarganya mengasingkan diri ke Swiss.
Secara perlahan tapi pasti, Kemal melakukan sekularisasi negara, yakni proses pemisahan antara Islam dengan negara dan politik. Puncaknya terjadi pada tahun 1937, yakni sekularisme dinyatakan sebagai salah satu dasar negara seperti tercantum dalam konstitusinya. Setahun kemudian, Mustafa Kemal meninggal dunia, namun ajaran yang diletakkan olehnya kemudian disebut Kemalisme sebagai dasar negara. Di samping sekularisme, dasar lain adalah nasionalisme, etatisme, westernisme, republikanisme, dan revolusionisme.
Dalam konstitusi Turki secara tegas disebutkan bahwa Republik Turki adalah sebuah negara sekuler. Ini berarti bahwa sistem politik Turki sepenuhnya memisahkan antara urusan negara dan politik dengan agama Islam. Paham sekuler ini dilaksanakan secara tegas dan keras karena memang Kemal adalah seorang tentara. Namun, gagasan beliau mendapat dukungan dari mayoritas rakyat sampai sekarang ini karena beliau adalah seorang pemimpin bangsa yang sangat berjasa dan tidak pernah cacat hingga akhir hayatnya. Ia terkenal sebagai seorang pejuang bangsa yang membebaskan bangsanya dari penjajahan sekutu setelah Perang Dunia I, termasuk dari bekas jajahannya Yunani yang ingin mendompleng pada Sekutu. Ia berhasil menggalang perlawanan rakyat Turki sehingga mampu mengalahkan Inggris dan Yunani dan diakui sebagai penguasa de facto dan de jure di Turki oleh Sekutu pada Perjanjian Lausanue di Swis. Atas jasanya inilah, Kemal kemudian diberi gelar Ghazi (Panglima Besar) dan Attaturk (Bapak Turki).
Sejak tahun 1937, Turki benar-benar menjadi sebuah negara sekuler. Semua lembaga politik sepenuhnya dibebaskan dari pengaruh dan peran ulama yang sebelumnya dalam Kerajaan Usmani amat dominan. Lembaga politik keagamaan yang ada sebelumnya sudah dihapus seluruhnya seperti Biro Syekhul Islam dan Mahkamah Syar'iah. Hukum-hukum yang berlaku sepenuhnya diambil dari Eropa sambil disesuaikan dengan Turki. Hal ini dengan lancarnya dapat dilakukan karena memang sebelumnya telah dihapus berbagai perangkat-perangkat keislaman, seperti madrasah, bahasa Arab. Termasuk yang amat penting adalah pelarangan penggunaan warna Islam dalam sistem kepartaian.
Salah satu hal yang amat tegas adalah pelarangan pemakaian simbol-simbol keagamaan dalam kehidupan resmi Negara. Turki misalnya melarang pemakaian jilbab dalam kantor dan lembaga pemerintahan. Seorang pegawai perempuan dilarang menggunakan jilbab ketika masuk kantor. Para mahasiswi pun dilarang memakainya ketika masuk dalam kampus. Tentara dan polisi tidak diperkenankan menggunakan pakaian dinas dalam melaksanakan salat. Namun pakaian dinas lain tidak termasuk karena memang pakaian sehari-hari orang Turki adalah pakaian Eropa, yakni jas.
Mengenai jilbab, meski dinyatakan dilarang bagi mahasiswi, tapi masih ada yang diberi pengecualian, yakni di Fakultas Ilahiyat (Fakultas Teologi). Memang, tidak semua fakultas tersebut yang tersebar di berbagai kota di Turki melarangnya, tapi masih ada yang membolehkan bagi mahasiswinya untuk memakai jilbab di kampus. Namun, mahasiswi ternyata telah menemukan jalan keluar. Ketika masuk kampus, mereka yang berjilbab menggunakan alat bantu berupa rambut palsu (wig) yang diletakkan di atas jilbabnya. Namun di luar kampus, mahasiswi dan masyarakat Islam diperkenankan saja menggunakan jilbab.
Jadi, Republik Turik sebagai sebuah negara benar-benar telah menjadi sekuler. Persoalan agama bukan urusan negara, tapi sepenuhnya merupakan urusan individu masing-masing warganya. Negara tidak perlu, bahkan mengharamkan ikut campur tangan dalam urusan pribadi, termasuk dalam pembiayaan.
Tampaknya, pengharaman negara terhadap pemakaian jilbab ini amat berpengaruh luas pula dalam kehidupan masyarakat di Ankara. Di kota ini, selama dua hari, kami sangat jarang menyaksikan kaum perempuan Turki memakai jilbab. Kaum perempuan benar-benar sudah bergaya seperti di Barat. Mereka melaksanakan aktivitasnya dengan pakaian ala Barat. Di mana-mana disaksikan kaum wanita memakai pakaian ketat. Wanita yang berbusana muslimat di kota Ankara boleh dihitung jari.
Kondisi ini amat berbeda dengan di kota Istanbul. Kaum wanita di kota tua ini yang dulunya bernama Konstantinople (Ibu kota Byzantium, Romawi Timur) sudah cukup banyak. Warga kota tua ini meski boleh disebut sudah juga bergaya seperti di Barat, tapi kami masih menyaksikan banyaknya kaum wanita yang berbusana muslimah sekaligus cukup melegakan penulis.
Yang menarik dari negara sekuler ini adalah bahwa Kemal hanya berhasil mensekulerkan negara, tapi masyarakatnya tetap menjadi muslim, minimal muslim dalam KTP. Bahkan, kami mendapatkan informasi bahwa di pedalaman, kehidupan masyarakat yang agamais masih amat semarak, termasuk dalam cara berpakaian kaum wanitanya, seperti di kota Konya (empat jam pejalanan darat dari Ankara). Hal ini terbukti setelah 58 tahun masa pemberlakuan sekularsime di Republik Turki, jumlah umat Islam tidak mengalami perubahan struktur apa-apa sehingga tetap hampir 100 persen muslim.
Karena warganya tetap muslim, maka tampaknya negara tidak bisa sepenuhnya menjadi sekuler seperti di negeri-negeri Barat. Kalau di Barat, negara dan warganya sudah sekuler, maka di Turki hanya negara yang sekuler, meski tidak sedikit jumlah warganya yang abangan seperti di Indonesia, yakni Islam KTP. Karena warga tetap fanatik dalam keislamannya, maka negara sekuler tidak bisa sepenuhnya tidak mengurus agama. Hanya saja, Islam dibatasi dalam pengertian ibadah, iman, dan akhlak. Masalah agama di bidang muamalat (hubungan antar manusia) sepenuhnya sudah disekulerkan.
Sebagai jalan keluar, ketiga urusan tersebut diurus oleh Diyanet. Diyanet (aparat pemerintah) inilah yang memayungi adanya Fakultas Ilahiyat, Sekolah Imam dan Khatib, Madrasah Penghafal Alquran, pendidikan agama, dan Mufti yang menangani urusan haji.
Yang paling menarik, para imam dan pengurus mesjid menjadi pegawai negara. Dalam setiap mesjid, minimal ada tiga orang yang betugas dan diberi gaji oleh pemerintah. Namun, pembangunan mesjid sepenuhnya ditangani oleh masyarakat.
Republik Turki adalah negara sekuler, tapi tetap mengurus urusan Islam karena warganya tetap teguh memegang Islam.
Sumber : Jalaluddin Rahman, Pengurus ICMI Orwil Sulsel
Revitalisasi Oksidentalisme
Oleh : Zuhairi Misrawi
Pascapeluncuran tesis Samuel P Huntington perihal Clash of Civilization (Benturan Peradaban), banyak pihak yang menepis dan menolak. Di Timur Tengah sendiri pernah diadakan seminar khusus untuk membahas tema tersebut.
Peradaban selalu meniscayakan dialog dan akulturasi antara satu dan yang lain. Karena itu, amatlah sulit membedakan antara Islam dan Barat. Keduanya selalu hadir, baik dalam bentuk nilai maupun simbol-simbol peradaban. Keduanya pun bercampur-baur, menyatu, dan kadang sulit dibedakan. Muhammad Abduh pernah berkata, Saya menemukan Islam di Barat tanpa kaum Muslim, sebaliknya saya menemukan kaum Muslim di Timur tanpa Islam.
Milad Hanna, pemikir Kristen Koptik, membabat habis tesis
Namun, dalam satu dasawarsa pascapeluncuran tesis tersebut, benturan antara Islam dan Barat tidak bisa dihindari. Setidaknya, benturan tersebut tidak semata-mata menyangkut ideologi, melainkan juga posisi tawar panggung politik global dari kedua belah pihak (Islam dan Barat). Dari soal invasi Amerika ke Irak, Hamas, kartun Nabi Muhammad, hingga nuklir
Karena itu, benturan dalam satu dasawarsa terakhir terasa dahsyat goncangannya. Setidaknya melibatkan negara-bangsa yang cukup besar, bahkan sesekali bernuansa kekerasan.
Pisau bermata dua
Di sinilah sesungguhnya diskursus tentang benturan peradaban perlu mendapat perhatian, terutama dalam rangka memberikan frame yang proporsional. Benturan tidak terhindarkan, tetapi bukan berarti menjadikan benturan sebagai alternatif.
Salah satu penyebabnya karena di era globalisasi ini Islam dan Barat telah menjadi diskursus yang betul-betul terbuka, bahkan telanjang. Hampir sebagian besar penghuni dunia mengenal dengan baik entitas Islam dan Barat. Buktinya, di Barat banyak sekali karya tentang Islam yang diterbitkan, bahkan menempati bidang kajian yang paling diminati. Sementara di komunitas Islam sendiri, informasi dan pemikiran tentang Barat dapat diakses dengan mudah melalui internet, media cetak, dan televisi.
Karena itu, fakta tersebut akan melahirkan dua kemungkinan, ibarat pisau bermata dua. Pertama, bisa berdampak positif, yaitu adanya pengenalan, pembacaan, dan pengayaan atas khazanah dan tradisi Barat. Dunia Islam, setidaknya, memahami dan memaklumi modernisasi sebagai salah satu alternatif untuk memajukan martabat mereka. Namun, kedua, bisa berdampak negatif karena posisi subyektif dalam mengenal Barat didasari oleh kecurigaan, kebencian, bahkan sumpah serapah (baca: penolakan total). Sikap yang kedua ini pada umumnya dilatarbelakangi oleh trauma sejarah dan sikap politik kalangan ekstremis. Nah, memuncaknya sensitivitas dan menguatnya resistensi belakangan karena sebab yang terakhir. Lalu, apa solusi yang bisa ditawarkan?
Cenderung hitam-putih
Sebenarnya dalam tataran akademis, para pemikir Islam dan Timur pada umumnya telah menawarkan pemikiran alternatif dalam rangka membaca Barat, terutama pascamerebaknya studi orientalisme yang sering kali memandang Islam secara sepihak dan sebelah mata, bahkan berbau imprealistik.
Di antara pemikir muslim yang mempunyai ambisi besar untuk menjadikan oksidentalisme sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri dalam rangka memahami dan membaca Barat adalah Hassan Hanafi. Ia menulis buku yang sangat tebal tentang Muqaddimah fiIlm al-Istighrab (Pengantar Oksidentalisme). Dalam buku tersebut ia mengingatkan bahwa sikap umat Islam terhadap Barat merupakan salah satu masalah tersendiri yang maharumit. Karena itu, dibutuhkan sebuah disiplin ilmu tersendiri. Ia mengajak agar pembacaan terhadap Barat bersifat holistik dan komprehensif. Artinya, tidak hanya sekadar melihat Barat dalam satu dasawarsa belakangan ini. Pembacaan terhadap Barat harus dimulai dari abad pertama hingga sekarang ini. Barat, seperti halnya peradaban lainnya, mempunyai kelebihan dan kekurangan, keistimewaan dan kelemahan. Karena itu, dalam menyikapi Barat tidak perlu terjebak dalam sikap-sikap yang radikalistik dan ekstremis.
Ahmad Syaikh dalam bukunya, Min al-Istisyraq ila al-istighrab (Dari Orientalisme Menuju Oksidentalisme), menyimpulkan bahwa orientalisme maupun oksidentalisme merupakan disiplin kajian yang kering dan bertepuk sebelah tangan. Tatkala muncul orientalisme, orang- orang Islam pada umumnya tidak memberikan respons yang bersifat akademis dan dialogis. Orientalisme tidak direspons dengan oksidentalisme.
Nah, apa yang terjadi belakangan ini harus diakui sebagai kenyataan terburuk yang pernah dihadapi studi oksidentalisme karena studi terhadap Barat kelihatannya bersifat parsial, bahkan politis. Anti-Barat digunakan sebagai komoditas politik daripada sebagai sebuah disiplin keilmuan untuk membangun peradaban kemanusiaan yang adiluhung. Karena itu, reaksi yang muncul cenderung bersifat hitam-putih.
Karena itu, dibutuhkan sikap oksidentalistik yang konstruktif. Yaitu, memandang Barat secara moderat dan rasional, di samping tidak menumpulkan sikap kritis. Sikap oksidentalistik semacam ini pernah digagas oleh Ibnu Rush dalam kitabnya, Fashl al-Maqal fi Taqrir ma bayn al-Syariah wa al-Hikmah min al-Ittishal, bahwa kebenaran yang datang dari mereka yang berbeda keyakinan (Barat) harus diterima. Sebaliknya, bila mereka membawa kekeliruan/kesalahan, harus dimaafkan dan diperbaiki. Sikap oksidentalistik yang seperti inilah yang kita butuhkan saat ini.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0603/10/opini/2498234.htm