Thursday, May 1, 2008

Turki: Sekuler dan Islam

Dua kota menjadi lokasi pengkajian, yakni kota Ankara sebagai ibu kota negara, dan Istanbul sebagai ibu kota Kerajaan (Islam) Usmani (Otoman Empire). Dua kota ini dipilih karena dianggap mewakili kehidupan kenegaraan dan sosial umat Islam Turki. Di kota Ankara, terdapat pusat pemerintahan sekaligus sebagai tempat pelacakan terhadap institusi pemerintahan, termasuk yang menangani urusan keagamaan Islam (Diyanet) sedang Istanbul merupakan kota lama yang sangat hidup dan dipenuhi dengan bekas-bekas kejayaan Kerajaan Usmani.

Republik Turki merupakan sebuah negara modern yang sedang berjuang untuk bergabung dengan Uni Eropa karena memang sangat dekat dengan Eropa. Sekalipun sebagian besar wilayahnya masuk dalam Benua Asia (Anatolia, kota Ankara), tapi sebagian wilayahnya masuk daratan Benua Eropa (Istanbul).

Negeri Islam ini menganut ideologi sekuler meski penduduknya 99 persen dari sekitar 60 juta orang menganut agama Islam dengan Mazhab Hanafiah. Republik Turki telah menjadi negara sekuler secara resmi setelah melalui sebuah proses panjang di bawah kepemimpinan Mustafa Kemal Attaturk (1881-1938). Republik Turki didirikan sejak tahun 1923 dan Mustafa Kemal sebagai presiden pertama yang sebelumnya (1922) mengambil alih kekuasaan temporal Khalifah di Istanbul. Kemudian pada tahun 1924, beliau menghapus jabatan khalifah. Khalifah Abd al-Majid kemudian diperintahkan meninggalkan Istanbul, Turki dan bersama keluarganya mengasingkan diri ke Swiss.

Secara perlahan tapi pasti, Kemal melakukan sekularisasi negara, yakni proses pemisahan antara Islam dengan negara dan politik. Puncaknya terjadi pada tahun 1937, yakni sekularisme dinyatakan sebagai salah satu dasar negara seperti tercantum dalam konstitusinya. Setahun kemudian, Mustafa Kemal meninggal dunia, namun ajaran yang diletakkan olehnya kemudian disebut Kemalisme sebagai dasar negara. Di samping sekularisme, dasar lain adalah nasionalisme, etatisme, westernisme, republikanisme, dan revolusionisme.

Dalam konstitusi Turki secara tegas disebutkan bahwa Republik Turki adalah sebuah negara sekuler. Ini berarti bahwa sistem politik Turki sepenuhnya memisahkan antara urusan negara dan politik dengan agama Islam. Paham sekuler ini dilaksanakan secara tegas dan keras karena memang Kemal adalah seorang tentara. Namun, gagasan beliau mendapat dukungan dari mayoritas rakyat sampai sekarang ini karena beliau adalah seorang pemimpin bangsa yang sangat berjasa dan tidak pernah cacat hingga akhir hayatnya. Ia terkenal sebagai seorang pejuang bangsa yang membebaskan bangsanya dari penjajahan sekutu setelah Perang Dunia I, termasuk dari bekas jajahannya Yunani yang ingin mendompleng pada Sekutu. Ia berhasil menggalang perlawanan rakyat Turki sehingga mampu mengalahkan Inggris dan Yunani dan diakui sebagai penguasa de facto dan de jure di Turki oleh Sekutu pada Perjanjian Lausanue di Swis. Atas jasanya inilah, Kemal kemudian diberi gelar Ghazi (Panglima Besar) dan Attaturk (Bapak Turki).

Sejak tahun 1937, Turki benar-benar menjadi sebuah negara sekuler. Semua lembaga politik sepenuhnya dibebaskan dari pengaruh dan peran ulama yang sebelumnya dalam Kerajaan Usmani amat dominan. Lembaga politik keagamaan yang ada sebelumnya sudah dihapus seluruhnya seperti Biro Syekhul Islam dan Mahkamah Syar'iah. Hukum-hukum yang berlaku sepenuhnya diambil dari Eropa sambil disesuaikan dengan Turki. Hal ini dengan lancarnya dapat dilakukan karena memang sebelumnya telah dihapus berbagai perangkat-perangkat keislaman, seperti madrasah, bahasa Arab. Termasuk yang amat penting adalah pelarangan penggunaan warna Islam dalam sistem kepartaian.

Salah satu hal yang amat tegas adalah pelarangan pemakaian simbol-simbol keagamaan dalam kehidupan resmi Negara. Turki misalnya melarang pemakaian jilbab dalam kantor dan lembaga pemerintahan. Seorang pegawai perempuan dilarang menggunakan jilbab ketika masuk kantor. Para mahasiswi pun dilarang memakainya ketika masuk dalam kampus. Tentara dan polisi tidak diperkenankan menggunakan pakaian dinas dalam melaksanakan salat. Namun pakaian dinas lain tidak termasuk karena memang pakaian sehari-hari orang Turki adalah pakaian Eropa, yakni jas.

Mengenai jilbab, meski dinyatakan dilarang bagi mahasiswi, tapi masih ada yang diberi pengecualian, yakni di Fakultas Ilahiyat (Fakultas Teologi). Memang, tidak semua fakultas tersebut yang tersebar di berbagai kota di Turki melarangnya, tapi masih ada yang membolehkan bagi mahasiswinya untuk memakai jilbab di kampus. Namun, mahasiswi ternyata telah menemukan jalan keluar. Ketika masuk kampus, mereka yang berjilbab menggunakan alat bantu berupa rambut palsu (wig) yang diletakkan di atas jilbabnya. Namun di luar kampus, mahasiswi dan masyarakat Islam diperkenankan saja menggunakan jilbab.

Jadi, Republik Turik sebagai sebuah negara benar-benar telah menjadi sekuler. Persoalan agama bukan urusan negara, tapi sepenuhnya merupakan urusan individu masing-masing warganya. Negara tidak perlu, bahkan mengharamkan ikut campur tangan dalam urusan pribadi, termasuk dalam pembiayaan.

Tampaknya, pengharaman negara terhadap pemakaian jilbab ini amat berpengaruh luas pula dalam kehidupan masyarakat di Ankara. Di kota ini, selama dua hari, kami sangat jarang menyaksikan kaum perempuan Turki memakai jilbab. Kaum perempuan benar-benar sudah bergaya seperti di Barat. Mereka melaksanakan aktivitasnya dengan pakaian ala Barat. Di mana-mana disaksikan kaum wanita memakai pakaian ketat. Wanita yang berbusana muslimat di kota Ankara boleh dihitung jari.

Kondisi ini amat berbeda dengan di kota Istanbul. Kaum wanita di kota tua ini yang dulunya bernama Konstantinople (Ibu kota Byzantium, Romawi Timur) sudah cukup banyak. Warga kota tua ini meski boleh disebut sudah juga bergaya seperti di Barat, tapi kami masih menyaksikan banyaknya kaum wanita yang berbusana muslimah sekaligus cukup melegakan penulis.

Yang menarik dari negara sekuler ini adalah bahwa Kemal hanya berhasil mensekulerkan negara, tapi masyarakatnya tetap menjadi muslim, minimal muslim dalam KTP. Bahkan, kami mendapatkan informasi bahwa di pedalaman, kehidupan masyarakat yang agamais masih amat semarak, termasuk dalam cara berpakaian kaum wanitanya, seperti di kota Konya (empat jam pejalanan darat dari Ankara). Hal ini terbukti setelah 58 tahun masa pemberlakuan sekularsime di Republik Turki, jumlah umat Islam tidak mengalami perubahan struktur apa-apa sehingga tetap hampir 100 persen muslim.

Karena warganya tetap muslim, maka tampaknya negara tidak bisa sepenuhnya menjadi sekuler seperti di negeri-negeri Barat. Kalau di Barat, negara dan warganya sudah sekuler, maka di Turki hanya negara yang sekuler, meski tidak sedikit jumlah warganya yang abangan seperti di Indonesia, yakni Islam KTP. Karena warga tetap fanatik dalam keislamannya, maka negara sekuler tidak bisa sepenuhnya tidak mengurus agama. Hanya saja, Islam dibatasi dalam pengertian ibadah, iman, dan akhlak. Masalah agama di bidang muamalat (hubungan antar manusia) sepenuhnya sudah disekulerkan.

Sebagai jalan keluar, ketiga urusan tersebut diurus oleh Diyanet. Diyanet (aparat pemerintah) inilah yang memayungi adanya Fakultas Ilahiyat, Sekolah Imam dan Khatib, Madrasah Penghafal Alquran, pendidikan agama, dan Mufti yang menangani urusan haji.

Yang paling menarik, para imam dan pengurus mesjid menjadi pegawai negara. Dalam setiap mesjid, minimal ada tiga orang yang betugas dan diberi gaji oleh pemerintah. Namun, pembangunan mesjid sepenuhnya ditangani oleh masyarakat.

Republik Turki adalah negara sekuler, tapi tetap mengurus urusan Islam karena warganya tetap teguh memegang Islam.
Sumber : Jalaluddin Rahman, Pengurus ICMI Orwil Sulsel

No comments: