Oleh : Zuhairi Misrawi
Pascapeluncuran tesis Samuel P Huntington perihal Clash of Civilization (Benturan Peradaban), banyak pihak yang menepis dan menolak. Di Timur Tengah sendiri pernah diadakan seminar khusus untuk membahas tema tersebut.
Peradaban selalu meniscayakan dialog dan akulturasi antara satu dan yang lain. Karena itu, amatlah sulit membedakan antara Islam dan Barat. Keduanya selalu hadir, baik dalam bentuk nilai maupun simbol-simbol peradaban. Keduanya pun bercampur-baur, menyatu, dan kadang sulit dibedakan. Muhammad Abduh pernah berkata, Saya menemukan Islam di Barat tanpa kaum Muslim, sebaliknya saya menemukan kaum Muslim di Timur tanpa Islam.
Milad Hanna, pemikir Kristen Koptik, membabat habis tesis
Namun, dalam satu dasawarsa pascapeluncuran tesis tersebut, benturan antara Islam dan Barat tidak bisa dihindari. Setidaknya, benturan tersebut tidak semata-mata menyangkut ideologi, melainkan juga posisi tawar panggung politik global dari kedua belah pihak (Islam dan Barat). Dari soal invasi Amerika ke Irak, Hamas, kartun Nabi Muhammad, hingga nuklir
Karena itu, benturan dalam satu dasawarsa terakhir terasa dahsyat goncangannya. Setidaknya melibatkan negara-bangsa yang cukup besar, bahkan sesekali bernuansa kekerasan.
Pisau bermata dua
Di sinilah sesungguhnya diskursus tentang benturan peradaban perlu mendapat perhatian, terutama dalam rangka memberikan frame yang proporsional. Benturan tidak terhindarkan, tetapi bukan berarti menjadikan benturan sebagai alternatif.
Salah satu penyebabnya karena di era globalisasi ini Islam dan Barat telah menjadi diskursus yang betul-betul terbuka, bahkan telanjang. Hampir sebagian besar penghuni dunia mengenal dengan baik entitas Islam dan Barat. Buktinya, di Barat banyak sekali karya tentang Islam yang diterbitkan, bahkan menempati bidang kajian yang paling diminati. Sementara di komunitas Islam sendiri, informasi dan pemikiran tentang Barat dapat diakses dengan mudah melalui internet, media cetak, dan televisi.
Karena itu, fakta tersebut akan melahirkan dua kemungkinan, ibarat pisau bermata dua. Pertama, bisa berdampak positif, yaitu adanya pengenalan, pembacaan, dan pengayaan atas khazanah dan tradisi Barat. Dunia Islam, setidaknya, memahami dan memaklumi modernisasi sebagai salah satu alternatif untuk memajukan martabat mereka. Namun, kedua, bisa berdampak negatif karena posisi subyektif dalam mengenal Barat didasari oleh kecurigaan, kebencian, bahkan sumpah serapah (baca: penolakan total). Sikap yang kedua ini pada umumnya dilatarbelakangi oleh trauma sejarah dan sikap politik kalangan ekstremis. Nah, memuncaknya sensitivitas dan menguatnya resistensi belakangan karena sebab yang terakhir. Lalu, apa solusi yang bisa ditawarkan?
Cenderung hitam-putih
Sebenarnya dalam tataran akademis, para pemikir Islam dan Timur pada umumnya telah menawarkan pemikiran alternatif dalam rangka membaca Barat, terutama pascamerebaknya studi orientalisme yang sering kali memandang Islam secara sepihak dan sebelah mata, bahkan berbau imprealistik.
Di antara pemikir muslim yang mempunyai ambisi besar untuk menjadikan oksidentalisme sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri dalam rangka memahami dan membaca Barat adalah Hassan Hanafi. Ia menulis buku yang sangat tebal tentang Muqaddimah fiIlm al-Istighrab (Pengantar Oksidentalisme). Dalam buku tersebut ia mengingatkan bahwa sikap umat Islam terhadap Barat merupakan salah satu masalah tersendiri yang maharumit. Karena itu, dibutuhkan sebuah disiplin ilmu tersendiri. Ia mengajak agar pembacaan terhadap Barat bersifat holistik dan komprehensif. Artinya, tidak hanya sekadar melihat Barat dalam satu dasawarsa belakangan ini. Pembacaan terhadap Barat harus dimulai dari abad pertama hingga sekarang ini. Barat, seperti halnya peradaban lainnya, mempunyai kelebihan dan kekurangan, keistimewaan dan kelemahan. Karena itu, dalam menyikapi Barat tidak perlu terjebak dalam sikap-sikap yang radikalistik dan ekstremis.
Ahmad Syaikh dalam bukunya, Min al-Istisyraq ila al-istighrab (Dari Orientalisme Menuju Oksidentalisme), menyimpulkan bahwa orientalisme maupun oksidentalisme merupakan disiplin kajian yang kering dan bertepuk sebelah tangan. Tatkala muncul orientalisme, orang- orang Islam pada umumnya tidak memberikan respons yang bersifat akademis dan dialogis. Orientalisme tidak direspons dengan oksidentalisme.
Nah, apa yang terjadi belakangan ini harus diakui sebagai kenyataan terburuk yang pernah dihadapi studi oksidentalisme karena studi terhadap Barat kelihatannya bersifat parsial, bahkan politis. Anti-Barat digunakan sebagai komoditas politik daripada sebagai sebuah disiplin keilmuan untuk membangun peradaban kemanusiaan yang adiluhung. Karena itu, reaksi yang muncul cenderung bersifat hitam-putih.
Karena itu, dibutuhkan sikap oksidentalistik yang konstruktif. Yaitu, memandang Barat secara moderat dan rasional, di samping tidak menumpulkan sikap kritis. Sikap oksidentalistik semacam ini pernah digagas oleh Ibnu Rush dalam kitabnya, Fashl al-Maqal fi Taqrir ma bayn al-Syariah wa al-Hikmah min al-Ittishal, bahwa kebenaran yang datang dari mereka yang berbeda keyakinan (Barat) harus diterima. Sebaliknya, bila mereka membawa kekeliruan/kesalahan, harus dimaafkan dan diperbaiki. Sikap oksidentalistik yang seperti inilah yang kita butuhkan saat ini.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0603/10/opini/2498234.htm
No comments:
Post a Comment