Thursday, May 1, 2008

Rekonsiliasi Kultural Islam dan Budaya Lokal

Oleh M Khoirul Muqtafa, Koordinator Piramida Circle Jakarta


TULISAN Khamami Zada dengan tajuk 'Menggagas Islam Pribumi' yang dimuat Harian Media Indonesia awal bulan lalu (7/2) menarik untuk dikaji kembali. Dalam tulisan tersebut, Khamami menawarkan 'Islam Pribumi' sebagai alternatif baru gerakan Islam. Islam Pribumi ingin membebaskan puritanisme, otentifikasi, dan segala bentuk pemurnian Islam yang telah memberangus budaya lokal dengan dalih bidah serta menjaga kearifan lokal tanpa menghilangkan identitas normatif Islam.

Sebagai jawaban dari Islam otentik, Islam Pribumi mengandaikan tiga hal, demikian Khamami. Pertama, Islam Pribumi memiliki sifat kontekstual, yakni Islam dipahami sebagai ajaran yang terkait dengan konteks zaman dan tempat. Kedua, Islam Pribumi bersifat progresif, yakni kemajuan zaman bukan dipahami sebagai ancaman terhadap penyimpangan ajaran dasar agama (Islam), tetapi dilihat sebagai pemicu untuk melakukan respons kreatif secara intens. Ketiga, Islam Pribumi memiliki karakter membebaskan. Dalam pengertian, Islam menjadi ajaran yang dapat menjawab berbagai problem kemanusiaan secara universal tanpa melihat perbedaan agama dan etnik. Dengan demikian, Islam tidak kaku dan rigid dalam menghadapi realitas sosial masyarakat yang selalu berubah.

Tulisan berikut bermaksud ikut urun rembuk diskusi tentang Islam Pribumi. Utamanya dalam konteks relasi agama dan budaya lokal sebagai titik tolak Islam Pribumi.

Signifikansi

Relasi agama (Islam) dan budaya lokal memang meyisakan tarik ulur persoalan yang kerap memancing ketegangan. Di satu sisi budaya lokal dianggap tak lebih sebagai 'parasit' bagi agama dan karenanya harus disingkirkan. Di saat yang sama agama pun dianggap sebagai 'momok' bagi budaya lokal yang siap mengancam dan memberangus eksistensinya. Agama dan budaya lokal kemudian ter(di)posisikan secara oposisi biner dan konfrontatif. Yang pertama, bersifat normatif dan yang kedua berbasis faktual. Yang pertama ranah yang didambakan dan, yang kedua, ranah aktualitas dan karenanya tak didambakan. Yang pertama enak didengar dan indah dimeditasi sedangkan yang kedua menyakitkan untuk dipandang dan mengerikan untuk diperkirakan. Tak pelak, budaya lokal semakin tidak mendapatkan tempat di ruang publik.

Nah, pada aras demikian, Islam Pribumi akan menemukan signifikansinya. Islam Pribumi hadir untuk menyelesaikan persoalan dikotomis antara agama dan budaya lokal. Agama dan budaya lokal dipandang sebagai dua kekuatan yang menyatu dalam realitas sosial. Agama sebagai ajaran transendental atau --meminjam istilah Peter L Berger--ajaran-- langit mampu bersentuhan dan dipahami oleh umat manusia ketika ia mampu membumikan dirinya dalam realitas kultural. Dan, pada titik ini sebenarnya kebudayaan merupakan media yang menjembatani antara realitas langit (transendental) dengan realitas bumi.

Islam Pribumi juga bukan sinkretisme sebagaimana tecermin dalam tulisan Akh Muzakki ('Menakar Islam Pribumi', MI, 21/2). Karena ia hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri. Juga bukannya upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman teks. Sedangkan sinkretisme sendiri adalah usaha memadukan teologia atau sistem kepercayaan lama tentang sekian banyak hal yang diyakini sebagai kekuatan gaib berikut dimensi eskatologisnya dengan Islam.

Menuju rekonsiliasi

Lebih jauh, Islam Pribumi akan menemukan bentuknya dalam rekonsiliasi kultural. Yakni rekonsiliasi yang mempertimbangkan hak-hak kultural masyarakat lokal. Terutama menyangkut relasi agama dan budaya lokal. Nah, sampai di sini persoalan orisinalitas dan otentisitas memang selayaknya ditinjau dan dibincangkan kembali. Dalam Islam, apakah yang menjadi rujukan dari otentisitas dan orisinalitas adalah Islam yang ada di Mekah yang disebut sebagai pusat (centrum). Sedangkan yang lain diposisikan sebagai marjin (periferi) dan harus nurut yang di sentrum? Apakah ini juga berarti bahwa agama yang sudah 'terkontaminasi' oleh berbagai bentuk budaya lokal, yang tidak seratus persen seperti yang ada di centrum adalah kurang absah dan sudah menyimpang?

Ironis, ketika kita masih terjebak pada persoalan 'orisinal dan otentik' yang sarat dengan nuansa purifikasi yang --dengan demikian-- pembungkaman bahkan penumpasan terhadap unsur-unsur 'nonagama' (baca: budaya lokal) legitimate. Padahal, dalam kenyataannya, keduanya justru telah saling membaur dan susah untuk dipilah-pilah. Di dalam mengagungkan Tuhan dan mengungkapkan rasa indah akan hubungan manusia dengan Sang Khalik, agama-agama kerap menggunakan kebudayaan secara masif. Simak saja, ikon-ikon, patung-patung, lukisan-lukisan, atau prosesi-prosesi saat penyaliban Isa al-Masih. Bahkan drama politik biasa --seperti terbunuhnya Sayidina Hussein di tangan anak buah Yazid, yakni Muslim bin Aqil, di Kota Karballa-- kadang-kadang diangkat sebagai peristiwa agama yang diperingati setiap 10 Muharam (Abdurrahman Wahid, 2001). Karenanya 'orisinal dan otentik' mesti didekonstruksi dan dimaknai kembali secara lebih arif sesuai dengan kondisi yang melingkupinya sehingga keberadaan agama tidak akan menimbulkan ancaman bagi yang lain.

Rekonsiliasi kultural ini memungkinkan upaya untuk saling menopang dan melestarikan antara agama dan budaya lokal. Proses rekonsiliasi ini tidak berjalan secara 'koeksistensi' melainkan 'proeksistensi' yang terjelmakan ke dalam tindakan dan aksi-aksi yang jelas dalam kehidupan sehari-hari sehingga kolaborasi keduanya menjadikannya lebih acceptable dalam masyarakat.

Memosisikan agama sebagai sesuatu yang ideal, universal, dan bertolak dari kesempurnaan dan keabadian doktrin, sering melupakan kenyataan bahwa agama mengalami apa yang disebut Weber 'sistemisasi dan rasionalisasi': seolah-olah agama sama sekali tidak memunyai asal-usul sosial dan kulturalnya yang dengan demikian sisi-sisi manusiawinya. Jika demikian, maka apa yang saat ini sebagai agama, sakral, bukan mustahil ia semula hanyalah 'kebudayaan' yang telah menempuh perjalanan historis dan sosiologis sedemikian rupa, sehingga ia lalu masuk ke dalam ranah 'agama'. Maka sebenarnya, agama dan kebudayaan tidak berada di aras yang berbeda, tetapi keduanya berada di dalam ruang pengalaman manusia.

Sudah semestinya agama (baca: Islam) yang diturunkan ke bumi dengan segala isinya harus membumi, mampu bersandingan dengan 'yang lain' (the other). Ia tidak harus dilangitkan (sakral) karena hanya akan menjadi sesuatu yang sia-sia sebab tidak akan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan manusia. Padahal sesungguhnya agama diturunkan untuk manusia. Agama harus ditarik ke dalam wilayah profan di mana manusia sebagai khalifah di bumi mampu meng-creat keberagamaannya disesuaikan dengan kondisi sosio-kultural yang melingkupinya. Agama tidak harus menjadi amunisi untuk menghabisi budaya lokal yang ada malah akan saling menyetubuhi menuju rekonsiliasi kultural, sehingga agama benar-benar membumi, indigenous.***


Sumber : www.media-indonesia.co.id

No comments: