Thursday, May 1, 2008

Runtuhnya Sendi-sendi Orientalisme Dalam Kajian Islam

Oleh : Didin Saefuddin Buchori

A. Pengertian

Orientalisme adalah studi Islam yang dilakukan oleh orang-orang Barat. Kritikus orientalisme bernama Edward W Said menyatakan bahwa orientalisme adalah suatu cara untuk memahami dunia Timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat Eropa1.

Secara bahasa orientalisme berasal dari kata orient yang artinya timur. Secara etnologis orientalisme bermakna bangsa-bangsa di timur, dan secara geografis bermakna hal-hal yang bersifat timur, yang sangat luas ruang lingkupnya. Orang yang menekuni dunia ketimuran ini disebut orientalis. Menurut Grand Larousse Encyclopedique seperti dikutip Amin Rais2, orientalis adalah sarjana yang menguasai masalah-masalah ketimuran, bahasa-bahasanya, kesusastraannya, dan sebagainya. Karena itu orientalisme dapat dikatakan merupakan semacam prinsip-prinsip tertentu yang menjadi ideologi ilmiah kaum orientalis.

Kata isme menunjukkan pengertian tentang suatu faham. Jadi, orientalisme bermakna suatu faham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di timur beserta lingkungannya.

B. Latar Belakang Munculnya Orientalisme

Munculnya orientalisme tidak terlepas dari beberapa faktor yang melatarbelakanginya, antara lain akibat perang Salib atau ketika dimulainya pergesekan politik dan agama antara Islam.

dan Kristen Barat di Palestina. Argumentasi mereka menyatakan bahwa permusuhan politik berkecamuk antara umat Islam dan Kristen selama pemerintahan Nuruddin Zanki dan Shalahuddin al-Ayyubi. Karena kekalahan demi kekalahan yang dialami pasukan Kristen maka semangat membalas dendam tetap membara selama berabad-abad.

Faktor lainnya adalah bahwa orientalisme muncul untuk kepentingan penjajahan Eropa terhadap negara-negara Arab dan Islam di Timur, Afrika Utara dan Asia Tenggara, serta kepentingan mereka dalam memahami adat istiadat dan agama bangsa-bangsa jajahan itu demi memperkokoh kekuasaan dan dominasi ekonomi mereka pada bangsa-bangsa jajahan.

Faktor-faktor tersebut mendorong mereka menggalakkan studi orientalisme dalam berbagai bentuknya di perguruan-perguruan tinggi dengan perhatian dan bantuan dari pemerintah mereka.

C. Dogma Orientalisme

Menurut pengamatan Amien Rais3 sekurang-kurangnya terdapat enam dogma orientalisme, yaitu pertama, ada perbedaan mutlak dan perbedaan sistematik antara Barat yang rasional, maju, manusiawi dan superior, dengan Timur yang sesat, irrasional, terbelakang dan inferior. Menurut anggapan mereka, hanya orang Eropa dan Amerika yang merupakan manusia-penuh, sedangkan orang Asia-Afrika hanya bertaraf setengah-manusia.

Edward W Said menyatakan orientalisme memandang Timur sebagai sesuatu yang keberadaannya tidak hanya disuguhkan melainkan juga tetap tinggal pasti dalam waktu dan tempat bagi Barat. Seluruh periode sejarah budaya, politik, dan sosial Timur hanyalah dianggap sebagai tanggapan semata-mata terhadap Barat. Barat adalah pelaku (actor), sedangkan Timur hanyalah penanggap (reactor) yang pasif. Barat adalah penonton, penilai dan juri bagi setiap segi tingkah laku Timur4.

Sikap-sikap orientalis kontemporer, lanjut Said, telah menguasai pers dan pikiran masyarakat. Orang-orang Arab, umpamanya, dianggap si hidung belang yang senang menerima suap yang kekayaannya merupakan penghinaan terang-terangan terhadap peradaban sejati. Selalu ada asumsi bahwa meskipun konsumen Barat tergolong minoritas dari penduduk dunia, mereka berhak untuk memiliki atau membelanjakan sebagian besar sumber daya dunia. Mengapa? Karena mereka manusia-manusia sejati yang berlainan dengan dunia Timur5.

Kedua, abstraksi dan teorisasi tentang Timur lebih banyak didasarkan pada teks-teks klasik, dan hal ini lebih diutamakan daripada bukti-bukti nyata dari masyarakat Timur yang konkret dan riil. Dalam masalah ini, para orientalis tidak bisa mengelakkan tuduhan Edward W Said bahwa mereka tidak mau menyelidiki perubahan yang terjadi dalam masyarakat Timur, tetapi lebih mengutamakan isi teks-teks kuno sehingga orientalisme berputar-putar di sekitar studi tekstual, tidak realistis. Philiph K Hitti, umpamanya, mengatakan bahwa untuk mempelajari Islam dan umatnya tidak diperlukan kerangka teori baru karena, menurutnya, masyarakat Islam yang sekarang ini masih persis sama dengan masyarakat Islam sembilan abad yang lalu.

Ketiga, Timur dianggap begitu lestari (tidak berubah-ubah), seragam, dan tidak sanggup mendefinisikan dirinya. Karena itu menjadi tugas Barat untuk mendefinisikan apa sesungguhnya Timur itu, dengan cara yang sangat digeneralisasi, dan semua itu dianggap cukup obyektif.

Keempat, pada dasarnya Timur itu merupakan sesuatu yang perlu ditakuti, atau sesuatu yang perlu ditaklukkan. Apabila seorang orientalis mempelajari Islam dan umatnya, keempat dogma itu perlu ditambah dengan dua dogma pokok lainnya.

Kelima, al-Quran bukanlah wahyu Ilahi, melainkan hanyalah buku karangan Muhammad yang merupakan gabungan unsur-unsur agama Yahudi, Kristen, dan tradisi Arab pra-Islam. Seorang orientalis bernama Chateaubriand, misalnya, mengindoktrinasi murid-muridnya bahwa al-Quran itu sekedar buku karangan Muhammad. Al-Quran tidak memuat prinsip-prinsip peradaban maupun ajaran yang memperluhur watak manusia. Ia bahkan mengatakan, al-Quran tidak mengutuk tirani dan tidak menganjurkan cinta pada kemerdekaan.

Keenam, kesahihan atau otentisitas semua hadis harus diragukan. Malah ada yang mengeritik syarat-syarat sahihnya hadis seperti yang dilakukan Joseph Schacht. Amien Rais menyindir bahwa disamping ada hadis riwayat Bukhari dan Muslim ada juga hadis riwayat Josep Schacht.

D. Tujuan Orientalisme

Edward W Said melakukan kritik yang keras terhadap orientalisme. Menurutnya, orientalisme tidak terletak dalam suatu ruang hampa budaya; ia merupakan kenyataan politik dan budaya6. Barat, tulis Said, bertanggung jawab membentuk persepsi yang keliru tentang dunia yang ingin mereka jelaskan.

Merupakan suatu kenyataan bahwa para orientalis senantiasa menyajikan karya tulisnya yang didasarkan pada tujuan tertentu. Secara garis besar tujuan itu terbagi tiga yaitu : (1) Untuk kepentingan penjajahan (2) Untuk kepentingan agama mereka (3) Untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

Untuk kepentingan penjajahan jelas tergambar dari penelitian-penelitian yang serius yang dilakukan para orientalis. Dalam kasus Indonesia, Snouck Hurgronye begitu jelas. Nama ini oleh pemerintah Belanda diberi kepercayaan untuk mengkaji Islam sedalam-dalamnya sehingga sempat menetap di Mekkah bertahun-tahun. Namun tujuan pengkajiannya tidak lain kecuali untuk melemahkan perlawanan umat Islam terhadap Belanda serta mengobrak-abrik pertahanan Persatuan dan pertahanan kaum Muslim dengan politik belah bambunya7.

Untuk kepentingan agama juga jelas karena semua penjajah yang menguasai negara-negara Muslim adalah berlatar belakang agama Kristen. Sekalipun ada teori bahwa para kolonialis tidak berambisi mengkristenkan penduduk, namun setidak-tidaknya para penginjil telah menemukan momentumnya untuk membonceng pihak kolonialis untuk menyebarkan Kristen ke tengah penduduk.

Untuk kepentingan ilmu pengetahuan; memang para orientalis berasal dari para intelek dan sarjana yang serius mengkaji masalah-masalah ketimuran. Hampir di tiap universitas di Amerika selalu ada pusat-pusat kajian ketimuran seperti pusat kajian Timur Tengah, Asia Tenggara, Asia Tengah dan Asia Selatan.

Tujuan yang ketiga dapat menghasilkan kesilmpulan yang netral atau fair tentang Islam sekalipun demi kenetralan ilmu mereka juga dapat memberi kesimpulan yang kurang fair tentang Islam. Namun tujuan pertama dan kedua sudah pasti akan menghasikan penilaian yang miring, bias dan tidak fair tentang Islam demi kepentingan kolonial dan ekspansi agama mereka.

E. Pro Kontra terhadap Orientalisme

Berbagai macam tanggapan kaum Muslimin terhadap orientalisme. Sebagian mereka ada yang menganggap seluruh orientalis sebagai musuh Islam. Mereka bersikap ekstrim dan menolak seluruh karya orientalis. Bahkan di antara mereka ada yang secara emosional menyatakan bahwa orang Islam yang mempelajari tulisan karya orientalis termasuk antek zionis8.

Mereka mempunyai argumen bahwa orientalisme bersumber pada ide-ide Kristenisasi yang menurut Islam sangat merusak dan bertujuan menyerang benteng pertahanan Islam dari dalam. Karena pada faktanya tidak sedikit karya-karya orientalis yang bertolak belakang dengan Islam. H.A.R.Gibb, misalnya, dalam karyanya Mohammedanism berpendapat bahwa al-Quran hanyalah karangan Nabi Muhammad; juga dengan menanamkan Islam sebagai Mohammedanism, Gibb mencoba menurunkan derajat kesucian agama wahyu ini, padahal ia tahu persis tak ada seorang manusia Muslim pun berpendapat bahwa Islam adalah ciptaan Muhammad SAW9.

Pandangan yang sepenuhnya negatif dikemukakan oleh Ahmad Abdul Hamid Ghurab mengenai karakter Orientalisme yaitu: pertama, orientalisme adalah suatu kajian yang mempunyai ikatan yang sangat erat dengan kolonialisme Barat; kedua, orientalisme merupakan gerakan yang mempunyai ikatan yang sangat kuat dengan Kristenisasi; ketiga, orientalisme merupakan kajian gabungan yang kuat antara kolonialisme dengan gerakan Kristenisasi yang validitas ilmiah dan obyektivitasnya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara mutlak khususnya dalam mengutarakan kajian tentang Islam; keempat, orientalisme merupakan bentuk kajian yang dianggap paling potensial dalam politik Barat untuk melawan Islam.

Sebagian lagi bersikap lebih toleran dan mereka terbagi dalam dua kelompok, satu kelompok bersikap sangat berlebihan, artinya semua karya tulis kaum orientalis dinilai sangat ilmiah sehingga bagi mereka seluruh karya orientalis sangat obyektif dan dapat dipercaya.

Kelompok lain bersikap hati-hati dan kritis; mereka selalu berusaha berpijak pada landasan keilmuan. Menurut mereka, cukup banyak karya tulis kaum orientalis yang berisi informasi dan analisis obyektif tentang Islam dan ummatnya, karena memang tidak semua karya orientalis bertolak belakang dengan Islam melainkan hanya sebagian kecilnya saja.

Maryam Jamilah menyatakan bahwa orientalisme tidak sama sekali buruk. Sejumlah pemikir besar di Barat, kata Jamilah, telah menghabiskan umurnya untuk mengkaji Islam lantaran mereka secara jujur tertarik terhadap kajian-kajian itu. Tanpa usaha mereka, banyak di antara pengetahuan berharga dalam buku-buku Islam kuno akan hilang tanpa bekas atau tidak terjamah orang11. Para orientalis dari Inggris seperti mendiang Reynold Nicholson dan Arthur J. Arberry berhasil menulis karya penting berupa penerjemahan karya-karya Islam klasik sehingga terjemahan-terjemahan itu untuk pertama kalinya dapat dikaji oleh para pembaca di Eropa.

Pada umumnya para orientalis itu benar-benar menekuni pekerjaan penerjemahan ini. Mereka yang cenderung membatasi cakupan pengkajiannya hanya pada deskripsi, kadang-kadang berhasil menulis buku-buku yang sangat bermanfaat, informatif dan membuka cakrawala pemikiran baru. Persoalan timbul pada saat mereka melangkah terlalu jauh dari batas-batas yang benar dan berusaha menafsirkan Islam dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Dunia Islam berdasarkan pandangan-pandangan pribadi yang tidak cocok.

Yang paling jelek di antara mereka adalah para orientalis yang mencoba memberikan saran kepada kita tentang bagaimana seharusnya kita memecahkan persoalan-persoalan kita dan apa yang seharusnya kita lakukan terhadap agama kita12. Kritik tajam, ilmiah dan berdampak pada dunia orientalisme datang dari Edward W Said dalam karyanya Orientalisme. Karya Guru besar Universitas Columbia, New York, ini telah menimbulkan kehebohan dan kontroversi di lingkungan dunia akademis Barat yang biasa disebut kaum orientalis.

Menurut Said, orientalisme bukan sekedar wacana akademis tetapi juga memiliki akar-akar politis, ekonomis, dan bahkan relijius. Secara politis, penelitian, kajian dan pandangan Barat tentang dunia oriental bertujuan untuk kepentingan politik kolonialisme Eropa untuk menguasai wilayah-wilayah Muslim13. Dan kolonialisme Eropa tak bisa lain berkaitan dengan kepentingan ekonomi dan sekaligus juga kepentingan keagamaan; tegasnya penyebaran Kristen.

Ketiga kepentingan yang saling terkait satu sama lain ini tersimpul dalam slogan yang sangat terkenal tentang ekspansi

Eropa ke kawasan dunia Islam, yang mencakup 3G yakni Glory, Gold and Gospel: kejayaan, kekayaan ekonomi dan penginjilan.

Semua motif dan kepentingan orientalisme ini secara implisit juga bersifat rasis. Dan ini tercermin dalam slogan missi pembudayaan terhadap dunia Timur yang terbelakang, jika tidak primitif.

Kritik keras Said yang sangat menusuk itu mau tak mau sangat mengguncangkan sendi-sendi kajian Barat terhadap dunia Timur. Hasilnya, di kalangan banyak sarjana Barat yang biasa disebut orientalis, istilah orientalisme menjadi sesuatu yang pejoratif, jika tidak disgusting14.

F. Beberapa Contoh Orientalis

1. H.A.R. Gibb

Ia meninggal tahun 1971. Dulu mengajar di Oxford dan Harvard. Pendapat-pendapat Gibb mengenai Islam sering dianggap simpatik oleh kalangan sarjana Islam sendiri. Salah satu pendapatnya yang simpatik adalah ia menyatakan bahwa Islam is indeed much more than a system of theology, it is complete civilization (Islam sesungguhnya lebih dari satu sistem teologi, ia adalah peradaban yang sempurna.

Tetapi menurut pengamatan Amien Rais, kalau diteliti dalam salah satu bukunya ia mengarahkan pembacanya supaya yakin bahwa pada zaman modern peranan Islam dalam kehidupan sosial pasti akan sirna. Secara ringkas argumennya adalah:

sebagai agama dalam arti sempit, Islam hanya kehilangan sedikit kekuatannya. Namun sebagai penentu dalam kehidupan sosial di zaman modern, Islam sedang dicopot dari singgasananya. Dalam kehidupan modern terlalu banyak masalah yang tidak ada sangkut pautnya dengan Islam. Dalam hal ini, Islam tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menyerah pada keadaan, dan Islam akan ditelan oleh perkembangan zaman15. Orang Islam yang tertarik pada Gibb ini tentu akan berpikir bahwa sekularisme memang tepat untuk kemajuan Islam.

2. Wilfred Cantwell Smith

Orientalis ini sering juga dianggap simpatik pada Islam. Bukunya Islam in Modern History sangat masyhur termasuk di negara kita. Setelah kita selesai membaca buku ini penilaian aneh segera timbul karena menurut Smith perkembangan yang paling menggembirakan dalam dunia Islam sedang dialami oleh Islam di India dan Turki.

Tetapi bagaimana mungkin Smith bisa mengambil kesimpulan yang begitu ahistorical? Islam sedang terbentur-bentur di samudera India, dan sampai sekarang pun tetap jadi minoritas yang keadaannya sangat memprihatinkan, sedangkan ketika buku Smith itu terbit (1957), Islam di Turki sedang bergulat dengan sisa-sisa Sekularisme Attaturk yang mengakibatkan luka-luka terlalu dalam.

3. Montgomery Watts

Selain dipandang lembut dan simpatik pada Islam, Watt dinilai juga sebagai sangat teliti dan hati-hati dalam mempelajari sumber-sumber Islam. Walaupun demikian kita memperoleh sebuah nasehat yang bagus dalam bab terakhir bukunya Islam and the Integration of Society. Setelah memaparkan analisisnya, Watt cukup berbesar jiwa mau mengakui bahwa Islam bisa memiliki peranan besar di dunia ini pada masa mendatang. Namun cepat ia menambahkan bahwa Islam harus bersedia mengakui asal-usulnya. Apa yang ia maksud? Tidak lebih dari pada pencampurbauran unsur-unsur Perjanjian Lama, Perjanjian Baru dan sumber-sumber lain. Logika selanjutnya adalah umat Islam supaya mau melepaskan al-Qur’an kalau ingin memiliki peranan di masa mendatang.

Karya-karya Watt tentang Islam terhitung banyak. Kebanyakan kajiannya adalah tentang sejarah Islam. Karya-karyanya antara lain adalah: Muhammad at Mecca, Muhammad at Medina, The Majesty That Was Islam, History of Islamic Spains, The Influence of Islam in Medieval Europe. Dalam karya yang disebut terakhir, ia dengan meyakinkan menegaskan jasa besar Islam di bidang ilmu pengetahuan yang kemudian diadopsi oleh orang-orang Eropa.

4. Gustave von Grunebaum

Menurut Amien Rais, tokoh ini tidak pernah menyembunyikan kebenciannya terhadap Islam. Di antara buku-bukunya yang mencaci-maki Islam

adalah Modern Islam : The Search for Cultural Identity. Dalam buku ini antara lain ia menyatakan bahwa peradaban Islam tidak memiliki aspirasi-aspirasi primer seperti peradaban lainnya. Ciri peradaban Islam adalah antikemanusiaan. Selain itu, Islam tidak punya etik formatif dan kekurangan kesegaran intelektual. Kaun Muslim tidak bisa maju, tidak ilmiah, tidak bisa obyektif, tidak kreatif, dan otoriter. Islam di tangan von Grunebaum adalah Islam yang direduksi dan ditempeli sifat-sifat negatif yang bisa dikhayalkan oleh Grunebaum. Kebenciannya juga dituangkan dalam bukunya Medieval Islam.

G. Studi Islam para Orientalis

Studi yang dilakukan para orientalis berangkat dari paradigma berfikir bahwa Islam adalah agama yang bisa diteliti dari sudut mana saja dan dengan kebebasan sedemikian rupa. Tidak mengherankan kalau mereka begitu bebasnya menilai, mengritik bahkan melucuti ajaran-ajaran dasar Islam yang bagi kaum Muslim tabu untuk dipermasalahkan.

Studi yang mereka lakukan meliputi seluruh aspek ajaran Islam seperti sejarah, hukum, teologi, quran, hadis, tasauf, bahasa, politik, kebudayaan dan pemikiran. Di antara mereka ada yang mengkaji Islam meliputi seluruh aspek tadi, ada juga yang hanya meneliti satu aspek saja. Philiph K Hitti, HAR Gibb, dan Montgomery Watt banyak menfokuskan pengkajian pada aspek sejarah Islam. Sementara Joseph Schact pada kajian hukum Islam, David Power pada kajian Quran, dan A J Arberry pada aspek tasauf.

Sebagai contoh David Power pernah meneliti sedalam-dalamnya ayat-ayat Qur’an sehingga memunculkan kesimpulan Quran tidak sempurna antara lain karena tidak adil membagi waris antara laki-laki dan perempuan. Josep Schacht pernah meneliti masalah hadis sedemikian rupa sehingga pembaca bisa tergiring ke kesimpulan bahwa hadis tidak layak menjadi sumber hukum Islam.

H. Orientalis dan Islamisis

Akhir-akhir ini pengkajian Islam oleh orang-orang bukan Islam terus dilakukan bahkan makin intensif. Pengkajian itu masih didominasi oleh para pemikir Barat. Hanya kalau dahulu para peneliti Islam disebut orientalis maka sekarang mereka tidak suka disebut orientalis. Sebutan yang mereka lebih sukai adalah Islamisis.

Menurut Azyumardi Azra kecenderungan mereka tidak ingin disebut orientalis muncul setelah kritik tajam Edward W. Said dalam bukunya Orientalisme16. Dalam buku ini Said mengungkapkan secara tajam bias intelektual Barat terhadap dunia Timur (oriental) umumnya, dan Islam serta dunia Muslim khususnya. Dengan tegar dia mengemukakan gugatan bahwa Barat bertanggung jawab membentuk persepsi yang keliru tentang dunia yang ingin mereka jelaskan.

Perbandingan Paradigma Orientalis dan Islamisis

Memang terdapat perbedaan antara keduanya. Orientalis lebih kental nuansa politis dan tendensi kencurigaannya terhadap Islam. Islamisis tampak lebih bersahabat. Kajiannya lebih bersifat ilmiah, daripada penyelidikan demi kepentingan imperialisme. Nama-nama Islamisis yang produktif saat ini adalah John L. Esposito, Karen Armstrong, Martin Lings, Annemarie Schimmel, John O. Voll, Ira M. Lapidus, Marshal GS Hodgson, Leonard Binder dan Charles Kurtzman. Di antara mereka ada yang kemudian masuk Islam seperti Annemarie Schimmel.

Esposito amat produktif menulis kajian Islam. Di antara bukunya adalah: Voices of Resurgent Islam, Ensiklopedi Dunia Islam Modern, Sejarah Peradaban Islam, Islam Politik, dan Ancaman Islam Mitos atau Realitas. Kajiannya berusaha mengungkapkan fakta seobyektif mungkin, nyaris tanpa komentar yang miring. Kecenderungan mencari kelemahan-kelemahan Islam dan umatnya seperti yang dilakukan para orientalis tampaknya tidak menonjol. Bahkan kekayaan data dan fakta menjadi ciri mereka dalam mengkaji Islam. Marshal Hodgson misalnya menguraikan peradaban Islam dalam sejarah dalam sudut pandang integral dan sistemik. Lapidus juga menawarkan horison baru peradaban Islam lewat analisis-analisisnya yang multiaspek.

Azyumardi Azra memuji karya Hodgson s ebagai contoh yang sangat baik tentang penulisan sejarah Islam setelah Perang Dunia II17 dan karya Lapidus sebagai karya paling lengkap dan komprehensif tentang sejarah masyarakat-masyarakat Muslim18

Catatan

  1. Edward W Said, Orientalisme, Terj. Asep Hikmat, Bandung: Pustaka Salman, 1996.
  2. M. Amien Rais, Cakrawala Islam, Bandung: Mizan, 1986, hlm.
  3. Ibid., hlm. 234.
  4. Said, Orientalisme, hlm. 143-144.
  5. Ibid., hlm. 143.
  6. Ibid., hlm. 16.
  7. Untuk melihat lebih jelas peran Hurgronje lihat Hamid Algadri, Snouck Hurgronye, Politik Belanda terhadap Islam dan Keurunan Belanda, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1984. dan Aqib Suminto, Politik Islam Snouck Hurgronye, Jakarta: LP3ES.
  8. Qasim Al-Samurai, Bukti-bukti Kebohongan Orientalis, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. 1.
  9. Rais, Cakrawala, hlm. 241.
  10. Ahmad Abdul Hamid Ghurab, Menyingkap Tabir Orientalisme, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993, hlm. 21.
  11. Maryam Jamilah, Islam dan Orientalisme, Sebuah Kajian Analitik, Terj. Machnun Husein, Jakarta: Rajawalipers, 1994, hlm. 11.
  12. Ibid.
  13. Said, Orientalisme, hlm. 16.
  14. Azra, Historiografi, hlm. 187.
  15. HAR Gibb, Whiter Islam, hlm. 335 sebagaimana dikutip Amien Rais dalam Cakrawala, hlm. 240.
  16. Azra, Historiografi, hlm. 187.
  17. Ibid., hlm. 68.
  18. Ibid., hlm. 65.

http://www.uika-bogor.ac.id/jur01.htm

No comments: