MASALAH poligami langsung saja mengemuka ketika orang membicarakan Undang-Undang Perkawinan (UU Nomor 1 Tahun 1974) dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983. Masalah ini sangat peka, bersifat personal-individual, dan hampir tidak ada relevansinya dengan pemahaman seseorang mengenai konsep demokrasi dan keadilan menyangkut masalah lain.Berbagai pihak pun memiliki interpretasinya sendiri-sendiri terhadap masalah ini, tergantung kepentingan dan keprihatinannya; apalagi karena bunyi teks dalam hukum dan peraturan pemerintah itu sangat terbuka untuk berbagai interpretasi.
Hal yang sama juga terjadi pada hukum-hukum keluarga (personal laws) di banyak negara, khususnya negara-negara berdaulat dengan mayoritas penduduk beragama Islam dan negara-negara berdaulat yang memang menggunakan Islam sebagai dasar hukum untuk mengatur kehidupan bernegara.
Seperti dikemukakan Tahir Mahmood dalam buku Personal Law in Islamic Countries, History, Text and Comparative Analysis (1987), hukum keluarga bisa diartikan sebagai prinsip-prinsip hukum yang diterapkan berdasarkan ketaatan beragama berkaitan dengan hal-hal yang secara umum diyakini memiliki aspek religius menyangkut peraturan keluarga, perkawinan, perceraian, hubungan dalam keluarga, kewajiban dalam rumah tangga, warisan, pemberian maskawin, perwalian, dan lain-lain
Hukum keluarga di negara-negara tersebut - kecuali Turki - selama ini diperlakukan sebagai disiplin hukum yang terpisah, berbeda dari hukum-hukum perdata lainnya. Hukum itu juga memiliki tempat khusus dalam masyarakat Islam global.
Pada banyak negara di dunia, termasuk di negara-negara di mana penduduk muslim merupakan minoritas, hukum keluarga yang secara kental dipengaruhi keyakinan agama sebagai dasar yang suci tetap memperoleh perhatian besar.
Meski demikian, sejak tahun 1911 telah terjadi reformasi dan kodifikasi hukum keluarga - baik sebagian maupun seluruhnya - pada 22 negara Islam. Pembaharuan itu merupakan konsekuensi dari situasi politik yang berkembang di negara masing-masing.
TAHAP pertama pembaruan terjadi tahun 1911-1950, ketika angin kodifikasi dan pembaruan hukum melanda dunia sejak pertengahan abad ke-19. Di Kerajaan Ottoman dan kawasan Islam lainnya, pembaruan dan kodifikasi berbagai hukum dan perundangan tidak rumit, sehingga bisa dilakukan bertahap dan terus menerus.
Namun kodifikasi hukum keluarga harus menunggu lebih lama. Faktor masyarakat yang amat sangat sensitif membuat para reformis harus bertindak sangat hati-hati. Sampai akhir pertengahan abad ke-20, pembaruan dan kodifikasi dalam hukum keluarga baru bisa dilakukan secara amat bertahap.
Tahap kedua terjadi tahun 1951-1970, sebagai konsekuensi berakhirnya Perang Dunia II dan kemerdekaan yang diperoleh sejumlah negara, baik di Afrika maupun Asia, termasuk negara-negara Islam baru yang lahir dari perpecahan subkawasan India pada tahun 1947. Setelah menghirup udara bebas nasionalisme, kedaulatan dan kemerdekaan, mereka harus membongkar sistem hukum dan peradilannya untuk mengumumkan konstitusi nasional yang baru.
Sebagai bagian proses nasionalisasi hukum dan yurisprudensi, kodifikasi dan pembaruan, peraturan dan statuta baru dari hukum keluarga juga mendesak dibahas di beberapa negara Islam di Afrika Utara, Barat, Selatan dan negara-negara di Asia Tenggara.
Tahap ketiga dari pembaruan dan kodifikasi hukum keluarga terjadi dalam kurun waktu 16 tahun, antara tahun 1971-1986. Situasi antara negara satu dan lainnya sangat berbeda tergantung perkembangan masyarakat masing-masing. Ada negara-negara yang sangat progresif, namun pada saat bersamaan juga muncul gerakan-gerakan untuk merestorasi dan melindungi lembaga tradisional Shariah.
Situasi mengenai segala peraturan dan perundangan berkaitan dengan hukum keluarga berbeda-beda di setiap negara. Konstitusi Nasional Aljazair, Brunei, Mesir, Iran, Irak, Jordania, Kuwait, Malaysia, Maroko, Pakistan, Somalia, Suriah, Tunisia dan dua Yaman (Utara dan Selatan) mendeklarasikan Islam sebagai agama negara. Shariah, hukum berdasarkan Islam secara spesifik menjadi dasar hukum utama atau sumber dasar dari berbagai hukum dan perundangan di Aljazair, Mesir, Kuwait, Yaman Utara dan Suriah; sementara hukum dasar dalam pembuatan hukum dan pelaksanaan pengadilan di Iran, Libya, Pakistan dan Sudan mengikuti Shariah.
Dengan demikian, kodifikasi, pembaharuan atau regulasi secara hukum dari hukum-hukum keluarga yang dilakukan di negara-negara itu tidak dapat dilakukan secara "non-Islami" atau tidak sejalan dengan Shariah sebagai dasar dari semua perundangan di negara-negara itu.
Hanya Somalia dan Tunisia yang melakukan reformasi dan kodifikasi hukum keluarga secara radikal dalam aspek-aspek tertentu, seperti peraturan dalam pewarisan dan kemudian juga menyangkut peraturan dan hukum mengenai poligami. Di negara-negara itu, meski pun Islam merupakan agama negara, namun tidak ada mandat konstitusional untuk menganut hukum Shariah. Sementara di Turki, hukum keluarga saat ini merupakan bagian yang penting dari peraturan perdata sehingga hukum agama tidak bisa campur tangan.
Di Pakistan, dibentuk pengadilan khusus Shariah, sementara di Iran konstitusi Islam yang baru membentuk lembaga pengawasan untuk membantu pemerintah menjaga semua hukum dan perundangan agar mengacu secara ketat pada Shariah, termasuk hukum keluarga.
Di banyak negara Islam ditekankan pentingnya keluarga sebagai unit dasar masyarakat, negara memberikan perlindungan khusus pada keluarga, perempuan, ibu dan anak.
Namun ada juga beberapa negara di mana hukum keluarga belum diubah ke dalam bentuk peraturan, sementara pengadilan masih menggunakan perjanjian-perjanjian hukum klasik. Arab Saudi, misalnya, tidak memiliki peraturan perdata atau statuta hukum keluarga. Sebagai sumber dasar untuk peraturan keluarga, hak-hak keluarga dan pewarisan, negara itu menggunakan teks Hanbali tahun 1928.
Negara lain yang tidak memiliki kodifikasi hukum keluarga adalah Qatar. Kesultanan Oman juga belum mengkodifikasi satu aspek pun dari hukum keluarga meski pun negara itu membuat kemajuan yang luar biasa dalam berbagai cabang hukum lainnya.
***
DEFINISI perkawinan dalam hukum keluarga yang berlaku di negara-negara itu merefleksikan berbagai elemen dari konsep Islam mengenai perkawinan; seperti perlindungan moral pasangan (Aljazair), kepercayaan pada Tuhan sebagai dasar keluarga (Indonesia), hidup dalam kemitraan (Irak dan Suriah), kehidupan keluarga (Jordania, Yaman Utara), pelaksanaan tanggung jawab keluarga (Maroko) dan kesetaraan hak serta tanggung jawab pasangan (Somalia, Yaman Selatan).
Hukum keluarga pada beberapa negara Islam memberikan batasan minimum usia dalam perkawinan. Usia minimum laki-laki untuk perkawinan lebih tua dibandingkan perempuan, kecuali pada sedikit negara di mana usia minimum keduanya sama.
Di Aljazair, Indonesia, Irak, Lebanon, Yaman Utara, Somalia, Suriah, Tunisia dan Turki, perkawinan pada usia yang lebih rendah dari usia minimum yang mendapat izin dari pengadilan merupakan kasus pengecualian, dan secara umum dilakukan dengan izin wali nikah.
Pelanggaran usia minimum berakibat pada pembatalan perkawinan (Indonesia, Irak, Tunisia), hukuman penjara atau denda (Banglades, Malaysia, Pakistan, Yaman Utara). Semua aliran hukum Islam membutuhkan izin wali bagi pernikahan di bawah usia pubertas.
Poliandri merupakan hal yang amat terlarang dalam Islam. Menurut peraturan perundang-undangan pada beberapa negara Islam diumumkan, perkawinan dengan perempuan dalam masa iddah adalah melanggar hukum.
Mengenai poligami, Tahir Mahmood mengutip Al Quran (IV:3) yang mengatakan, meski pun seseorang diizinkan mempunyai empat istri pada waktu yang sama, namun mereka yang tidak bisa memperlakukan istri-istrinya secara adil dan setara, tidak boleh melakukannya. Perkawinan monogami akan lebih baik karena menghindarkan laki-laki berbuat tidak adil.
Izin bagi laki-laki untuk melakukan poligami sangat kondisional, tidak absolut dan karenanya sangat dibatasi dengan peraturan, perjanjian atau hukum.
Di Maroko, Lebanon dan Jordania, undang-undangnya secara khusus mengakui hak setiap perempuan untuk menentukan syarat-syarat bagi kemungkinan perkawinan kedua suaminya saat ia masih menjadi istri yang sah. Pelanggaran dari syarat atau ketentuan yang dibuat sang istri itu memungkinkan ia untuk mengajukan cerai.
Di Aljazair, hukum secara jelas menyebutkan perkawinan kedua yang dikehendaki harus di-"justifikasi" dan suami harus mampu memperlakukan kedua istrinya secara setara. Sedangkan kedua istri itu memiliki hak yang sama untuk mengajukan tuntutan cerai.
Hukum keluarga di Maroko (juga Mesir) secara khusus memungkinkan istri menulis perjanjian yang isinya menentang perkawinan kedua yang dilakukan suaminya. Pelanggaran perjanjian ini akan memberi hak bagi istri untuk mengajukan tuntutan cerai.
Setiap laki-laki yang akan menikah (untuk kedua kali dan seterusnya) harus memberikan seluruh fakta berkaitan dengan status perkawinannya pada saat itu. Istri pertama dapat mengajukan gugatan cerai jika perkawinan kedua mengakibatkan penderitaan bagi dirinya.
Di Indonesia, Irak, Malaysia, Somalia, Yaman Selatan dan Suriah, laki-laki beristri yang ingin memiliki istri lagi harus meminta izin pada pengadilan, sementara di Banglades dan Pakistan ia harus mendapatkan izin dari lembaga kuasi-pengadilan atau lembaga arbitrasi.
Di Somalia, Indonesia, Yaman Selatan pengadilan hanya mengizinkan perkawinan kedua kalau istri pertama tidak dapat melakukan fungsinya sebagai istri, mempunyai cacat fisik atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau tidak dapat berfungsi sebagai istri. Namun, keberatan istri untuk hal yang sama terjadi pada suami, tidak disinggung.
Di Banglades, Irak, Pakistan, istri pertama dapat mengajukan tuntutan cerai kalau perkawinan kedua tidak dilakukan secara hukum. Hukum di Maroko dan Yaman Utara melarang bigami kalau laki-laki tidak bisa berlaku adil terhadap lebih dari satu istri.
Namun di Turki dan Tunisia bigami dilarang keras. Di Tunisia, bahkan perkawinan bigami dianggap cacat dapat dikenai tuntutan pidana. Sementara dalam soal waris, Somalia melakukan perubahan yang sangat radikal dengan memberikan jumlah warisan yang sama besar antara perempuan dan laki-laki. (mh)
No comments:
Post a Comment