Monday, June 16, 2008

hanya sebatas umar bin khattab?

Oleh: syafii maarif

Hampir semua buku sejarah Islam, jika berbicara tentang al khulafa al rasyidun, meliputi pemerintahan Abu Bakr (632-634), Umar ibn Khattab (634-644), Ustman ibn Affan (644-656), dan Ali ibn Abi Thalib (656-661). Dalam bahasa Inggris biasa diterjemahkan the rightly guided caliphs (para khalifah yang berada di jalan yang benar). Di jalan benar artinya para khalifah itu masih mengikuti teladan Nabi dalam memimpin masyarakat dan pemerintahan. Bedanya terletak pada fakta bahwa mereka tidak lagi langsung dikawal wahyu dalam mengurus masalah-masalah masyarakat, negara, dan agama sebagaimana halnya Nabi akhir zaman itu. Sedikit saja Nabi khilaf sebagai manusia biasa, wahyu pun langsung menegur. Pasca-Nabi, teguran langsung itu tidak pernah terjadi lagi. Inilah yang sering memicu masalah. Manusia yang nisbi tidak selalu sepakat dalam membaca apalagi menyelesaikan masalah yang senantiasa datang dan pergi.
Seorang pembaru dalam bingkai tradisi Islam dari India, Shah Wali Allah (1703-1762), memang berpendapat bahwa pasca-keempat khalifah di atas tidak ada lagi khalifah. Namun, yang naik tahta adalah para raja, despot, atau tiran, kecuali Umar II (Umar ibn Abdul Aziz, 717-720) yang berupaya mengembalikan situasi politik menurut pola kakeknya, Umar ibn Khattab, sekalipun ia berasal dari puak Umayyah. Maka, tidaklah mengherankan jika ada penulis memasukkan Umar II sebagai khalifah kelima dalam kategori al khulafa al rasyidun. Sekalipun masa pemerintahannya tidak lama, sistem despotik kambuh kembali. Dalam perspektif ini, jika masih saja ada pihak yang meratapi tumbangnya kekhilafahan Turki Usmani, tentu dilihat dari sudut pandang keadidayaan imperium itu, bukan dari sisi akhlak politik.
Di ujung judul Resonansi ini dibubuhkan tanda tanya, mengapa? Jawaban terhadap pertanyaan inilah yang menjadi titik pusat pembicaraan kita kali ini. Adalah adik kandung Hasan al Banna, bernama Jamal al Banna (kelahiran 1920) yang namanya luput dari perhatian saya selama ini telah mengilhami saya untuk menulis Resonansi ini. Berkat Bung Khairul Imam yang meminta saya memberi kata pengantar terjemahan salah satu karya Jamal, Al Islam: Din Wa Umma, Laisa Dinan Wa Daula atau dalam bahasa Indonesia adalah Islam: Agama dan Umat, bukan Agama dan Negara (Kekuasaan), terbit pertama kali tahun 2003, saya mulai mengenal pemikiran penulis Mesir ini. Judul terjemahan sedikit menghebohkan, tetapi tidak menyimpang, yaitu Runtuhnya Negara Madinah: Islam Kemasyarakatan vs Islam Kenegaraan, yang akan beredar tidak lama lagi setelah perbaikan terjemahan dilakukan.
Karya ini, bagi saya, sangat menarik. Jamal dengan sangat berani dalam ijtihad politiknya, sekalipun harus berseberangan dengan tokoh semisal Abu al Ala al Maudi, Sayyid Qutb, dan Ayatullah Khomeini yang membela doktrin bahwa Islam adalah agama dan negara. Saya tidak akan mengupas masalah yang sarat kontroversi ini karena telah melakukannya lebih seperempat abad yang lalu, sekalipun tidak sekomprehensif karya Jamal di atas. Yang sangat baru, setidak-tidaknya bagi saya, adalah pendapat Jamal bahwa era al khulafa al rasyidun telah terhenti dengan terbunuhnya Umar ibn Khattab oleh seorang budak Iran pada 644. Lalu, mengapa Jamal tidak memasukkan Ustman dan Ali ke dalam deretan para khalifah yang lurus itu?
Jamal tidak meragukan bahwa Ustman adalah seorang baik dan dermawan serta berasal dari puak Umayyah yang awal masuk Islam. Bahkan, Ustman mengawini dua putri nabi. Bukankah ini sebuah keistimewaan? Tetapi, Jamal tidak mau tergoda oleh semua atribut mulia ini. Di mata Jamal, pemerintahan Ustman adalah pemerintahan yang lemah, amat bergantung kepada bantuan puaknya Bani Umayyah. Maka, berlakulah apa yang dikenal dengan sistem nepotis, jauh dari contoh yang diteladankan oleh dua pendahulunya. Akibat kelemahan ini, sebagian umat menjadi resah. Maka, Ustman pun dibunuh dengan cara yang sangat sadis. Sejarah Islam telah mulai berdarah-darah.
Bagaimana Ali? Jamal mengakui bahwa Ali seorang cerdas, hebat, qani (bersahaja) seperti Abu Bakr dan Umar, serta ingin mengembalikan keadaan seperti era kedua pemimpin itu. Namun, lantaran perebutan kekuasaan sesama elite umat, Ali tidak mampu lagi mengendalikan keadaan, apalagi memulihkannya. Ali pun dibunuh oleh bekas pengikutnya kaum Khawarij yang kecewa dengan kepemimpinan Ali yang tertipu oleh Amar ibn Ash, pion Mu'awiyah, dalam Perang Siffin tahun 657.
Itulah di antara alasan mengapa Jamal berpendapat seperti di atas. Jamal membantah keras bahwa Islam adalah agama dan negara, sebagaimana dibela mati-matian oleh sebagian tokoh umat yang lapar kekuasaan. Bagi saya, kekuasaan itu penting, tetapi jangan disejajarkan dengan agama. Sebab, di situlah pangkal malapetaka itu. Agama dijadikan pembenaran terhadap kekuasaan yang tirani sekalipun.

source:fai.uhamka.ac.id

No comments: